Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, May 18, 2014

Dagelan Picisan Tiga Anggota KPU Bolmong

KPU telah menetapkan Caleg terpilih DPR Bolmong 2014-2019 di pleno yang dilaksanakan Senin-Selasa, 12-13 Mei 2014. Penetapan yang dilakukan KPU Bolmong ini termasuk untuk Caleg PG Dapil 5 dan 6, Robby Giroth (di artikel PG yang Linglung dan KPU Goblok saya menulis Robbi Giroth) dan I Ketut Sukadi, yang oleh partainya justru diminta dianulir.

Permintaan PG agar dua politisi terpilih itu tak ditetapkan membuat pleno molor dan jadi sorotan umum. Terlebih dasar yang digunakan tidaklah sejalan dengan aturan dan ketatalaksanaan Pemilu, khususnya yang tercantum dalam Peraturan KPU Nomor 29 Tahun 2013 Tentang Penetapan Hasil Pemilian Umum, Perolehan Kursi, Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih Dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Peraturan itu, khususnya bagi KPU sebagai pelaksana Pemilu, adalah panduan yang wajib dipatuhi. Sebagai ‘’petunjuk yang harus dikhimati’’, dia sederhana dan relatif terperinci. Membaca pasal demi pasal dan ayat per ayat, awam sekali pun dengan segera memahami peraturan ini tak memerlukan tafsir, apalagi improvisasi.

Mengulang kembali apa yang sudah saya tuliskan di blog ini, Peraturan KPU No 29/2013, Pasal 50, Ayat (1) menjelaskan, ‘’Penggantian calon terpilih Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan, apabila calon terpilih: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; c. tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota; d. terbukti melakukan tindak pidana Pemilu berupa politik uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.’’ Dan Ayat (2), ‘’Penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan bukti surat keterangan.’’

Dari pemberitaan media, masyarakat mengetahui Robby Giroth dan I Ketut Sukadi sehal wal afiat; tidak mengundurkan diri; tidak pernah dinyatakan tak lagi memenuhi syarat menjadi anggota DPR (Pasal 51, Ayat (4) Peraturan KPU menyatakan klausal ini sah bila disertai Keputusan KPU); dan tidak pula tersangkut tindak pidana Pemilu. Andai pun dua Caleg ini tengah diperkarakan karena tindak pidana Pemilu, mereka dapat dianulir jika sudah terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Bahwa di internal partainya dua kader itu melakukan pelanggaran etika seperti yang berulang kali disiarkan media dengan mengutip Sekretaris PG Bolmong, Widi Mokoginta, sepanjang tidak memenuhi Ayat (2) b dan c Peraturan KPU No 29/2013, keterpilihan mereka harus ditetapkan. Memaksakan perubahan dengan kader lain sebelum anggota DPR Bolmong terpilih ditetapkan, dengan menggunakan surat pernyataan keduanya siap diganti lewat PAW sebagaimana penjelasan Ketua KPU Bolmong, Fahmi Gobel, di totabuanews.com (http://totabuanews.com/2014/05/didepak-golkar-robbi-giroth-dan-ketut-sukadi-sakti/), Rabu, 14 Mei 2014, justru memantik curiga.

Ada apa di PG Bolmong? Rumor yang mampir di kuping saya mewartakan, motif penganuliran Robby Giroth dan I Ketut Sukadi kental dilatari duit berjumlah besar. Mereka harus disingkirkan karena penggantinya, yang kebelet ingin duduk di DPR, sudah menyiapkan ‘’setoran’’ ke sejumlah elit PG Bolmong. Bisik-bisik ini tentu harus dimaknai sekadar kabar angin belaka. Walau, faktanya dasar yang digunakan PG memelorotkan kadernya sendiri memang amat sumir.

Politisi waras tak akan menolak persepsi bahwa partai yang menuduh kader terpilihnya melanggar etika internal, justru sama dengan mempertontonkan aib organisasi. Artinya, pengurus dan elit-elit partai gagal menjalankan fungsi membina dan meluruskan kader terpilihnya. Bukankah partai mencantumkan seseorang sebagai Caleg setelah melewati seleksi ketat? Lolosnya Caleg yang dengan mudah melanggar etika internal, terlebih dengan status incumbent, menunjukkan derajat gawatnya kebobrokan manajemen partai.

Di tengah kelindan ulah PG yang ‘’mengganggu’’ pleno penetapan Caleg terpilih DPR Bolmong, tiga anggota KPU yang mestinya netral, krebidel, dan berintegritas mengawal seluruh proses Pemilu, berulah bagai ‘’musang menjaga kandang ayam’’. Deandels Sombowadile, Isnaidin Mamonto, dan Lilik Mahmuda bersikukuh mengakomodasi permintaan PG dengan tanpa malu-malu memanipulasi Peraturan KPU No 29/2013.

Saya mengira dagelan tiga anggota KPU Bolmong itu berakhir dengan ditetapkannya anggota DPR Bolmong 2014-2019. Ternyata, sebagaimana publikasi Kontra Online (http://kontraonline.com/2014/05/senin-tiga-anggota-kpud-bolmong-menghadap-ke-kpu-sulut/), Sabtu, 18 Mei 2014, kebebalan mereka masih berlanjut dengan aneka kilah.

Mengutip Deandels Sombowadile, Kontra Online menulis, karena ada keberatan dari PG, anggota KPU Bolmong melakukan voting dengan hasil 2 (menolak penggantian Caleg terpilih)-3 (mendukung). Hasil pemungutan suara ini, papar Kontra Online, ‘’Ternyata ini dimentahkan Ketua KPU Fahmi Gobel dengan tetap memaksakan kehendaknya, yakni menetapkan dua Caleg terpilih, I Ketut Sukadi dan Robby Giroth.’’

Bila klaim Deandels tentang voting benar dilakukan, saya patut mempertanyakan proses seleksi terhadap lima anggota KPU Bolmong saat ini. Faktor apa yang membuat orang-orang yang sangat tidak layak dipilih ini lolos hingga dikukuhkan sebagai komisioner?

KPU adalah penyelenggara Pemilu dengan struktur bertingkat: Dari pusat ke daerah hingga ke level terbawah, TPS. Dalam struktur seperti itu, posisi KPU Bolmong sepenuhnya adalah pelaksana yang menjalankan kewajiban dan tanggungjawabnya dengan hitam-putih, benar-salah, tepat-tidak tepat, atau pada tempatnya-tidak pada tempatnya. Tidak ada ruang tafsir-menafsir dengan pemungutan suara, karena seluruh tetek-bengek tanggungjawab dan kewajibannya telah tertuang lengkap di UU dan turunannya hingga ke peraturan dan petunjuk teknis yang dikeluarkan KPU Pusat.

Dalam proses pelaksanaan Pemilu, jika ada keraguan di tingkat TPS, yang harus dilakukan adalah berkonsultasi ke pelaksana di tingkat di atasnya, dan seterusnya. Dengan demikian, masalah yang dihadapi KPU Bolmong berkenaan permintaan PG menganulir penetapan dua Caleg terpilihnya, harus dikonsultasikan ke KPU Sulut, bahkan KPU Pusat; bukan mengarang-ngarang voting yang landasannya entah dipetik dari pohon pinang siapa.

Saya kira, tiga anggota KPU Bolmong yang makin tampak seperti Pinokio yang berdusta itu, memang mesti disingkirkan dari lembaga ini. Alih-alih berpihak pada kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai penyelenggara Pemilu yang layak dipercaya, mereka justru menunjukkan laku yang tak lebih dari antek Parpol tertentu, dengan cara yang kian hari kian bodoh dan menggelikan. 

Dusta yang kurang pikir dan mengada-ada, terutama bagi pejabat publik dan penyelenggara negara, sama belaka dengan mengumbar kemaluan di tengah keramaian pasar.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Caleg: Calon Legislatif; Dapil: Daerah Pemilihan; DPD: Dewan Perwakilan Daerah; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; KPU: Komisi Pemilihan Umum; Pemilu: Pemilihan Umum; PG: Partai Golkar; Sulut: Sulawesi Utara; TPS: Tempat Pemungutan Suara; dan UU: Undang-undang.

Saturday, May 17, 2014

Mutasi Kentut Diknas Bolmong

GERAKAN mahasiswa, LSM, dan Ormas di Bolmong Raya, terutama yang kerap bikin aksi dengan hasil nol besar, mesti belajar pada para orangtua murid SDN 1 dan 2 Imandi, Kecamatan Dumoga Timur, serta –belakangan-- SDN 2 Poopo Barat, Kecamatan Passi Timur. Gerakan mereka bukan hanya menganulir kebijakan Bupati, Baperjakat, dan Diknas, tetapi juga sukses menunjukkan betapa karut-marutnya tata laksana pemerintahan di Kabupaten Bolmong.

Merujuk totabuan.co (http://totabuan.co/2014/05/ribuan-pns-di-kabupaten-bolmong-diambil-sumpah-dan-janji/), guncangan di dunia pendidikan Bolmong yang kini menjadi efek berantai, bermula dari pengambilan sumpah dan janji ribuan PNS yang dilaksanakan di Gedung Rahmadina Jaya, Lolak, Rabu, 7 Mei 2014. Pembacaan sumpah dan janji berkaitan dengan perubahan jabatan di lingkungan Pemkab Bolmong ini, dipimpin Sekda yang juga Ketua Baperjakat, Farid Asimin.

Di antara para PNS yang mengikuti upacara di Gedung Rahmadina Jaya terdapat dua guru yang ditunjuk menduduki jabatan baru, masing-masing Kepsek SDN 1 dan SDN 2 Imandi. Namun, kebijakan Pemkab Bolmong itu ternyata ditolak para orangtua murid, yang kemudian menutup akses penggunaan fasilitas sekolah. Tiga hari proses belajar-mengajar terhenti dan baru dimulai ketika Kepsek lama dikembalikan ke jabatannya.

Mengutip Kadiknas Bolmong, Mariani Masagu, totabuan.co (http://totabuan.co/2014/05/dua-jabatan-kepala-sekolah-dasar-imandi-terpaksa-dikembalikan/), Rabu, 14 Mei 2014, menulis, aktivitas belajar di SDN 1 dan 2 Imandi harus segera dilanjutkan karena tak lama lagi siswa kelas 6 akan menghadapi UN. Akan halnya nasib dua Kepsek baru yang hanya menduduki jabatan selama beberapa hari, dikembalikan ke tempat semula. Mariani beralasan, ada miskomunikasi antara Diknas dan Baperjakat.

Kilahan Kadiknas Bolmong mencengangkan saya. Alasan miskomunikasi itu nilainya sama dengan kentut. Omongan ‘’asal malontok’’ yang jauh dari menggunakan otak, apalagi cerdas dan dapat dipertanggungjawabkan.

Apa pertimbangan Baperjakat mendudukkan dia memimpin SKPD yang punya peran strategis dan vital? Pertanyaan yang lebih tepat: Baperjakat di Pemkab Bolmong ini masih berisi manusia, PNS profesional yang pantas menduduki jabatannya atau cuma sekumpulan kerbau? Setiap kali ada perubahan di jajaran Pemkab Bolmong, yang mestinya sudah melewati kajian saksama di Baperjakat, setidaknya sejak kabupaten ini dipimpin Bupati Salihi Mokodongan-Wabup Yani Tuuk, terbukti cuma menghasilkan para badut bingung atau ‘’orang gila dan norak’’ yang duduk di posisi-posisi penting.

Memahami (juga memahfumi) keterbatasan Bupati Salihi Mokongan, semestinya SKPD-SKPD, Baperjakat, dan Sekda menjadi benteng akal sehat serta kewarasan pemerintahan di Bolmong. Sebagai PNS yang takaran tertingginya adalah integritas, profesionalisme, dan kompetensi, mereka bertanggungjawab sepenuhnya terhadap ketatalaksanaan pemerintahan. Bupati dan Wabup datang dan pergi setiap lima tahun; tetapi PNS terus melaksanakan kewajiban dan tanggungjawabnya hingga pensiun.

Menginjak tahun ketiga pemerintahan Bupati Salihi Mokodongan-Wabup Yani Tuuk, tak perlu diperdebatkan, kualitas para birokrat yang dipilih menduduki posisi-posisi kunci memang --maafkan Pembaca, tapi saya harus menuliskan:-- tahi sapi! Termasuk Kepala BKD yang sekadar kacung kampret atau malah kampret sendirinya.

Yang paling celaka, tampaknya semua pihak, termasuk DPR dan aparat berwenang (terutama polisi dan jaksa), bahu-membahu dan saling menopang agar praktek busuk dan tak masuk akal di Pemkab Bolmong dijalankan tanpa halangan. Buru-buru mempersoalkan dan mengusut ihwal miskomunikasi penunjukkan Kepsek yang berlaku hanya beberapa hari; sekadar contoh, penyelewengan milyaran rupiah dana APBD yang beberapa waktu lalu jadi bom isu, kini mendadak surut dan senyap seolah-olah cuma rumor tak mendasar.

Masyarakat, yang sebelumnya menahan diri (atau tak peduli), mulai terusik tingkah dan tindak ‘’semau gue’’ Pemkab Bolmong dan jajarannya. Maka terjadilah ‘’pemberontakan’’ di SDN 1 dan 2 Imandi, lalu disusul SDN 2 Poopo dan SMA Negeri 1 Sangtombolang, Kecamatan Sangtombolang. Sekali lagi, menukil totabuan.co (http://totabuan.co/2014/05/protes-kepsek-diganti-dua-sekolah-di-bolmong-kembali-disegel/), Jumat, 16 Mei 2014, penyegelan SDN 2 Poopo Barat dan SMA Negeri 1 Sangtombolang, karena penolakan terhadap penggantian Kepseknya.

Berbeda dengan kasus SDN 1 dan 2 Imandi yang terjadi karena miskomunikasi, menanggapi penggantian Kepsek di SDN 2 Poopo Barat, Kadiknas Bolmong justru mengaku tidak tahu. Kepada lintasbmr.com (http://lintasbmr.com/siswa-sdn-2-poopo-tolak-kepsek-baru/), Mariani menjelaskan, setahu dia rolling yang dilakukan untuk Kepsek bukan penggantian, melainkan pengisian untuk yang kosong dan pendefinitifan bagi yang berstatus pelaksana tugas.

Membaca kilahan Kadiknas Bolmong itu, saya ‘’mati pikiran’’ mesti menyerapahi kadal yang mana lagi. SDN 1 dan 2 Imandi punya Kepsek, demikian pula dengan SDN 2 Poopo Barat dan SMA Negeri 1 Sangtombolang. Bila keempatnya berstatus pelaksana tugas, mengikuti logika dan kejujuran pernyataan Mariani Masagu, seharusnya mereka didefinitifkan. Kalau kemudian diganti, dusta jenis apa lagi ini? Atau jangan-jangan di jajaran Pemkab Bolmong sudah lalu-lalang tuyul khusus penggantian jabatan yang leluasa mengatur posisi mana yang diduduki siapa tanpa sepengetahuan Kepala SKPD, BKD, Baperjakat, dan Bupati?

Saya bersyak pula, belajar dari gerakan di empat sekolah itu, tidak tertutup kemungkinan ada perlawanan yang bakal menyusul terhadap rolling yang dilakukan Pemkab Bolmong. Para birokrat yang kehilangan jabatan berhak mencari tahu, terlebih yang di-non job-kan, apakah mereka dicopot berdasarkan telaah komprehensif Baperjakat atas sepengetahuan Kepala SKPD dan Bupati, atau sebab campur tangan setang belang.

Bila perlu, proses pencari-tahuan itu mesti hiruk-pikuk. Bukankah hantu dan sejenisnya selalu tak nyaman dengan keriuhan?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Baperjakat: Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan; Bolmong: Bolaang Mongondow; Diknas: Dinas Pendidikan Nasional; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; Kepsek: Kepala Sekolah; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; Ormas: Organisasi Kemasyarakatan; SDN: Sekolah Dasar Negeri; Sekda: Sekretaris Daerah; SKPD: Satuan Kerja Perangkat Daerah; SMA: Sekolah Menengah Atas; dan Wabup: Wakil Bupati.

Thursday, May 15, 2014

PG yang Linglung dan KPU Goblok

PLENO Penetapan Caleg Terpilih oleh KPU Kabupaten Bolmong di BPU Lobong, Senin (13 Mei 2014) yang dilanjutkan Selasa (14 Mei 2014), dari kejauhan saya ikuti dengan bingung. Terlebih yang menjadi isu utama (dan membuat pleno berlarut-larut) adalah permintaan PG agar KPU tidak menetapkan dua Calegnya yang meraih suara terbanyak sebagai anggota DPR Bolmong.

PG Bolmong tampaknya ingin mengulang sejarah Pemilu 2009, yang ketika itu sukses menggagalkan pelantikan salah seorang Caleg terpilihnya. Belakangan, Caleg yang dijegal itu justru berkibar di partai lain, bahkan menjadi salah satu politisi yang memegang posisi publik signifikan di Bolmong Raya.

Tapi apa duduk-soal berkaitan dengan permintaan supaya Caleg PG Dapil 5 dan 6, Robbi Giroth dan I Ketut Sukadi, tak ditetapkan sebagai anggota DPR Bolmong 2014-2019? Apakah urusannya semata terkait dengan PD2LT yang sifatnya internal PG atau yang lebih gawat karena dua Caleg ini melakukan pelanggaran UU dan turunannya?

Jauh sebelum pleno KPU, di Kontra Online (http://kontraonline.com/2014/04/caleg-pg-peraih-suara-terbanyak-terancam-tak-dilantik/), Kamis (24 April 2014), saya membaca pernyataan Sekretaris PG Bolmong, Widi Mokoginta, tentang sanksi yang bakal dijatuhkan pada Caleg yang tidak sejalan dengan kebijakan partai. Menurut Widi, indikator yang digunakan adalah PD2LT.

Penggunaan PD2LT itu kian jelas setelah saya menyimak lintasbmr.com (http://lintasbmr.com/kata-widi-mokoginta-soal-caleg-pg-yang-dinilai-bermasalah/), Kamis (15 Mei 2014), yang juga mengutip Widi Mokoginta. Walau, situs berita ini juga tidak secara tegas menyatakan PG menganulir Robbi Giroth dan I Ketut Sukadi karena keduanya melanggar etika internal. Pokoknya, sesuai dengan permintaan PG, lengkap dengan surat resmi partai ke KPU Bolmong, dua Caleg ini tidak boleh ditetapkan sebagai anggota DPR terpilih.

Permintaan PG itu didukung komisioner KPU Bolmong, Isnaidin Mamonto, Lili Mahmuda, dan Deadels Sombowadile, yang sempat menolak menanda-tangani hasil pleno. Mengutip Isnaidin, Rabu (14 Mei 2014), totabuan.co (http://totabuan.co/2014/05/berita-acara-pleno-penetapan-caleg-terpilih-bolmong-pakai-catatan/) menulis, dasar yang digunakan para komisioner yang mengakomodasi permintaan PG adalah pasal 50 dan 53 Peraturan KPU Nomor 29 Tahun 2013 Tentang Penetapan Hasil Pemilian Umum, Perolehan Kursi, Calon Terpilih dan Penggantian Calon Terpilih Dalam Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Mengikuti Pemilu, mencalonkan kader sebagai anggota DPR, Bupati, Walikota, Gubernur, bahkan Presiden, adalah hak Parpol. Demikian pula dengan penggantian kader yang terpilih (khususnya) sebagai anggota DPR. Namun penerapan hak ini juga tidak dengan sesuka hati, sebab UU dan turunannya mengatur pula pra syarat, syarat, dan tata caranya. Dengan memahami PG adalah partai tua yang khatam seluk-beluk aturan, etika, dan kepantasan politik, apa yang terjadi selama pleno Penetapan Caleg Terpilih KPU Bolmong adalah pertontonan kelinglungan pengurusnya.

Mari kita gunakan standar yang sama sebagai penakar, yaitu Peraturan KPU No. 29/2013. Pasal 41, Ayat (1) menyatakan:  Penetapan calon terpilih anggota DPRD Kabupaten/Kota didasarkan atas perolehan kursi Partai Politik dan Suara Sah nama calon yang tercantum dalam DCT Anggota DPRD Kabupaten/Kota di setiap daerah pemilihan. Serta Ayat (2), Penetapan calon terpilih Anggota DPRD Kabupaten/Kota di setiap daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan atas peringkat Suara Sah terbanyak  pertama, kedua, ketiga dan seterusnya yang diperoleh setiap calon Anggota DPRD Kabupaten/Kota sesuai perolehan kursi Partai Politik pada daerah pemilihan yang bersangkutan.

Sebagai satu kesatuan utuh, Peraturan KPU itu harus rujuk komprehensif. Di Pasal 44, Ayat (1) diatur siapa saja yang hadir di penetapan calon terpilih DPRD Kabupaten/Kota dan Ayat (2) tentang keberatan yang diajukan saksi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan undangan lain, yang harus dilakukan melalui Panwaslu Kabupaten/Kota. Syaratnya, pengajuan keberatan dapat dilakukan bila calon terpilih tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Lebih penting lagi, sebagaimana yang diatur Ayat (4), pernyataan keberatan tak boleh menghalangi proses penetapan calon terpilih.

Apa yang dilakukan PG Bolmong adalah menghalangi proses yang seharusnya dilaksanakan oleh KPU, yang sesungguhnya tergolong tindak pidana Pemilu. Terlebih bukti-bukti yang diajukan sama sekali tidak relevan dengan syarat sebagaimana yang dicantumkan di Peraturan KPU No 29/2013. Informasi valid yang saya terima menunjukkan, permintaan PG didasarkan pada surat kesediaan PAW dari dua Caleg yang dipersoalkan itu.

Tak mengada-ada bila kita patut menduga, tiga anggota KPU yang mati-matian mengakomodasi permintaan tidak menetapkan dua Caleg terpilih itu, tak netral dan ‘’main mata’’ dengan PG Bolmong. Janji apa yang mereka terima? Berapa harga ketidak-netralan itu? Paling buruk lagi, pantaskah mereka menjadi anggota KPU sementara aturan yang terang-benderang, tak perlu penjelasan dan tafsir, dengan sengaja tampak diupayakan ditelikung?

Pasal 50 yang dijadikan alasan, setidaknya dari pernyataan anggota KPU, Isnaidin Mamonto, terdiri dari dua ayat. Masing-masing, Ayat (1), Penggantian calon terpilih Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilakukan, apabila calon terpilih: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; c. tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota; d. terbukti melakukan tindak pidana Pemilu berupa politik uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan Ayat (2), Penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan bukti surat keterangan.

Sedang Pasal 53, yang juga terdiri dari dua ayat, menyebutkan: Ayat (1)Bagi calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan dengan Keputusan KPU, KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf b, maka keputusan penetapan yang bersangkutan batal demi hukum; serta Ayat (2), KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagai pengganti calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Keputusan KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota.

Mengedepankan Pasal 50 dan 53 saja tanpa merujuk Pasal 51 dan 52 adalah perbuatan semena-mena dan jahat. Pasal 51 yang terdiri dari lima ayat mengatur dengan tegas syarat-syarat seorang Caleg terpilih tak dapat ditetapkan menjadi Anggora DPR; dan karenanya boleh diganti. Akan halnya Pasal 52 yang terdiri dari enam ayat, menjelaskan batas waktu, proses, dan tata cara penggantian Caleg terpilih.

Di bagian manakah pasal demi pasal, ayat ke ayat di Peraturan KPU No 29/2013 yang sulit dimengerti tiga anggota KPU yang sempat membuat pleno penetapan Caleg terpilih DPR Bolmong molor hingga dua hari? Apapun alasannya, sebab ada agenda bengkok tersembunyi atau semata memang terlampau goblok memahami hal sederhana, KPU Sulut wajib memeriksa tiga anggota KPU Bolmong itu. Lebih baik lagi bila ketiganya dicopot dan diganti dengan orang lain yang lebih kompeten serta –terutama— independen dan netral.

Kekonyolan selama pleno penetapan Caleg terpilih yang dipertontonkan, diliput dan ditulis media, sudah cukup membuat kita patut was-was terhadap komitmen mereka menjadi penyelenggara demokrasi yang adil dan bermartabat. Terlebih KPU Bolmong saat ini masih akan mengurusi Pilpres dan Pilkada 2016 mendatang.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; BPU: Balai Pertemuan Umum; Caleg: Calon Legislatif; DCT: Daftar Calon Tetap; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; KPU: Komisi Pemilihan Umum; Parpol: Partai Politik; PAW: Pergantian Antar Waktu; PD2LT: Profesional, Dedikasi, Disiplin, Loyalitas, dan Tidak Tercela; Pemilu: Pemilihan Umum; PG: Partai Golkar; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; dan Pilpres: Pemilihan Presiden.

Tuesday, May 6, 2014

Satpol PP atau Pasukan Laksamana Jenderal Aladeen?

FOTO yang menyertai berita penangkapan 10 siswa salah satu SMK di KK oleh Satpol PP, yang dirilis Kontra Online (http://kontraonline.com/2014/05/santai-hirup-ehabond-10-siswa-smk-dibekuk-pol-pp/) dan totabuan. co (http://totabuan.co/2014/05/hirup-ehabond-10-pelajar-smk-diamankan-pol-pp/), Senin, 5 Mei 2014,  agak membingungkan saya. Aparat yang disebut Satpol PP KK tampak mengenakan seragam biru gelap, mirip uniform lapangan Brimob atau Dokpol.

Masing-masing ditajuki Santai Hidup Ehabond, 10 Siswa SMK Dibekuk Pol-PP dan Hirup Ehabond, 10 Pelajar SMK Diamankan Pol PP, dua berita ini mengungkap fakta peristiwanya tanpa menyisakan keraguan. Dengan kata lain, aparat berpakaian biru gelap yang memergoki siswa-siswa pembolos dan penghidu bahan perekat itu pasti bukan dari salah satu satuan elit Kepolisian RI. Apa kata dunia bila Brimob ikut-ikut merazia sekadar murid yang ngacir dari sekolahnya?

Tapi kalau Satpol PP, kok seragamnya begitu? Berdasar Permendagri Nomor 19 Tahun 2013, tertanggal 11 Februari 2013, Tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan Operasional Satuan Polisi Pamong Praja, ada lima jenis pakaian untuk Satpol PP: PDH, PDL, PDU, PDPP, dan PDTI. Sepesifikasinya disebutkan berwarna khaki tua kehijau-hijauan, jenis bahan driil atau 100% katun (cotton), dengan kode warna EMD-1910 Satuan Polisi Pamong Praja.

Demi menghindari duga-duga yang beranak-pinak keliru, saya mengontak beberapa kawan, termasuk para pewarta yang sehari-hari bertugas di KK. Mereka membenarkan aparat yang mejeng di foto publikasi Kontra Online dan totabuan.co adalah Satpol PP. Salah seorang wartawan, entah sekadar bercanda atau benar-benar serius, menjelaskan seragam biru tua itu dikenakan anggota Satpol PP KK yang  bertugas di bagian operasi. ‘’Dorang itu noh depe pasukan pemukul.’’

Kawan yang lain punya cerita yang lebih lengkap, jauh ke belakang di era kepemimpinan Ny Marlina Moha-Siahaan sebagai Bupati Bolmong. Ketika itu, entah mendapat ilham dan wangsit dari situs wingit mana, Satpol PP mendadak diberi seragam yang identik dengan Brimop serta mengenakan baret biru khas PM. Akibat menggunakan sesuatu yang bukan hak, di salah satu upacara peringatan hari besar nasional, Komandan PM menegur keras dan meminta Satpol PP yang mengenakan segera mencopot baret biru itu.

Lagi-lagi, entah fakta atau cuma bumbu cerita, tercetus saat itu tokoh ajaib per-Satpol PP-an di Bolmong saat ini, Linda Lahamesang, sudah wara-wiri dan punya peran signifikan. Badut ini lagi? Kepala Satpol PP Bolmong yang Jumat, 25 April 2014, saya cemooh (Ironi Don Quixote dan Sancho Panza di Bolmong) karena mengiringi sidak Bupati Salihi Mokodongan dengan mengenakan pakaian lapangan bermotif loreng Kopasus.

Setelah mengunggah tulisan yang menyoroti sepak-terjang dan ‘’keajaiban’’ ulah Linda Lahamesang itu, saya menerima sejumlah komentar dan foto lagak-lakunya sebagai Kepala Satpol PP. Bagaimana dia dengan sesuka hati berdandan mirip sosok tiran dari Republik Wadiya, Laksamana Jenderal Aladeen, yang diperankan komedian Sacha Baron Cohen di film The Dictator (2012). Bahkan, dalam banyak takaran, kadar kegilaan Linda tanpaknya lebih hebat dari Aladeen. Karenanya dia barangkali pantas menyandang Laksamana Komodor Jenderal atau apapun gelar yang tepat menggambarkan skala gangguan kejiwaannya.

Tapi mungkinkah kegilaan menular? Saya tidak punya pengetahuan memadai ihwal ilmu jiwa, tetapi yang saya tahu –di banyak kasus-- histeria mudah menular. Contohnya, kerasukan berombongan yang kerap terjadi di negeri ini, oleh beberapa pakar kejiwaan didiagnosis sebagai histeria massal dan bukan akibat kerasukan setan belang iseng. Tapi demi keamanan lahir-bathin, dalam urusan histeria ini, saya memilih netral. Yang melibatkan psikiater berarti ilmiah dan masuk akal; sedang yang memerlukan campur tangan doa dan jampi-jampi mari kita limpahkan ke tangan Pak Ustadz dan dukun.

Di manakah konteks Satpol PP KK yang berseragam di luar legalitasnya itu diletakkan? Menurut saya perkaranya tidaklah rumit. Para Kepala Daerah di empat Kabupaten/Kota di Bolmong Raya memang belum memberikan perhatian memadai (atau justru mengabaikan) penegakkan aturan dan disiplin di kalangan PNS. Faktornya bisa bermacam-macam. Karena menerima warisan praktek yang sudah berurat-berakar (dugaan saya Satpol PP KK adalah salah satunya); alpa mengikuti UU baru dan turunannya; atau karena bawahan memang sengaja berlaku ‘’semau gue’’ seperti kasus Kepala Satpol PP Bolmong.

Dua faktor pertama mudah diubah. Tidak demikian dengan faktor ketiga yang memerlukan lebih dari sekadar pendisiplinan dalam bentuk peringatan resmi dan evaluasi kondite. PNS di eselon tertentu, yang alih-alih jadi contoh baik justru memelopori pengerusakan aturan dan disiplin, sebaiknya dicopot dan dididik ulang hingga kewarasannya kembali. Bila perlu wajib menjalani terapi di RS Ratumbuysang.

Kembali pada seragam Satpol PP KK, saya berharap Walikota, Tatong Bara, dan Wawali, Jainuddin Damopolii, segera mengambil langkah tegas menertibkan pelanggaran itu. Mumpung pasangan ini baru beberapa bulan menduduki jabatannya. Terlebih Satpol PP adalah garda depan penegakan aturan dan disiplin birokrasi serta aspek-aspek lain yang berada di lingkup Pemkot (termasuk Perda).

Selain seragam sesuka tafsir sendiri, yang cukup mengganggu dari pemberitaan dan foto razia Satpol PP KK di Kontra Online dan totabuan.co adalah ‘’pembinaan’’ (jalan jongkok) terhadap 10 pelajar yang kepergok bolos dan ber-ehabond itu. Batok Kepala Satpol PP dan angota-anggotanya yang melakukan ‘’pembinaan’’ itu pantas di tempeleng. Apa hak mereka? Di manakah terdapat aturan yang membolehkan Satpol PP ‘’membina’’ pelajar yang bolos dan menghirup ehabond dengan cara seperti itu?

‘’Pembinaan’’ itu boleh dibilang bentuk kesewenang-wenangan keterlaluan dari aparat yang merasa dirinya polisi sekaligus jaksa dan hakim. Mengamankan pelajar yang ketahuan berleha-leha di luar sekolah saat jam belajar barangkali diatur di Perda KK. Atau minimal Perda yang mengatur ketertiban dan kenyamanan umum. Tapi melakukan ‘’pembinaan’’, kalau yang terkena razia masyarakat umum, tugasnya –setahu saya—ada di lingkup dinas atau bagian yang mengurusi Kesra. Akan halnya anak sekolah, menjadi yuridiksi institusi tempat mereka belajar atau Dinas Pendidikan.

Dengan tetap menghormati dan mengapresiasi dedikasi Satpol PP KK pada kewajiban dan tugas yang mereka emban, konklusi saya adalah: Satuan ini perlu sungguh-sungguh ditertibkan dan dididik kembali. Setidaknya agar mereka paham Satpol PP bukanlah alat tiran seperti pasukan Laksamana Jenderal Aladeen atau tentara komik Jenderal Naga Bonar (1987) yang boleh berlaku sesukanya, sesuai selera dan menu sarapan komandannya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Brimob: Brigade Mobil; Dokpol: kedokteran Kepolisian; Kesra: Kesejahteraan Rakyat; KK: Kota Kotamobagu; Kopasus: Komando Pasukan Khusus; Perda: Peraturan Daerah; PDH: Pakaian Dinas Harian; PDL: Pakaian Dinas Lapangan; PDPP: Pakaian Dinas Petugas Pataka; PDPTI: Pakaian Dinas Petugas Tindak Internal; PDU: Pakaian Dinas Upacara; Permendagri: Peraturan Menteri Dalam Negeri; PM: Polisi Militer; PNS: Pegawai Negeri Sipil; PP: Pamong Praja; RS: Rumah Sakit; Satpol: Satuan Polisi; Sidak: Inspeksi Mendadak; SMK: Sekolah Menengah Kejuruan; PP: Polisi Pamong; dan Wawali: Wakil Walikota.