Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, July 7, 2011

Demonstrasi dan Langit Setinggi Lemparan Tomat

KERIUHAN bermain Uno –sejenis permainan kartu—bersama anak-anak, Rabu malam (6 Juli 2011) berulang kali berhenti karena diintrupsi beberapa pesan pendek yang  masuk ke telepon genggam saya. Di antara banyak pesan pendek itu, beberapa yang berkaitan dengan pelantikan Bupati-Wakil Bupati (Wabup) Bolaang Mongondow (Bolmong) 2011-2016 yang harus direspons dengan hati-hati.

Salah satu pesan pendek itu berbunyi: ‘’Penguluran-nguluran pelantikan Bupati-Wabup terpilih yang sudah lima kali terjadi adalah bukti Gubernur Sulut dengan sengaja mengabaikan warga Bolmong. Apalagi alasannya karena Gubernur sedang ada acara di luar negeri.’’ Tak lama kemudian, disambung dengan, ‘’Warga Bolmong akan menggelar demo mempertanyakan masalah ini.’’

Waduh, saya yang kebetulan pernah sekali-dua ikut demonstrasi di masa kuliah (ketika itu masih zaman reformasi), kini mudah terkaget-kaget dengan kebiasaan demo yang semudah jamur tumbuh di musim hujan. Masalah apa saja, terutama politik dan sosial, dituntut –juga dijawab—dengan demonstrasi. Mungkin karena demo kian mudah dilakukan, terlebih aparat keamanan juga semakin lembek menanggapi tersebab macam-macam ‘’ancaman’’, terutama tuduhan melanggara hak asasi manusia (HAM).

Padahal tak sedikit demo yang dilakukan kelompok-kelompok tertentu di Mongondow didasarkan pada alasan yang tak masuk akal, bahkan jelas-jelas dapat dikategorikan ‘’mengurusi urusan dan rumah tangga pihak lain’’. Pihak berwenang, khususnya kepolisian, semestinya menindak jenis demo seperti ini sebab dia bukanlah saluran aspirasi, tapi gangguan terhadap ketertiban dan keamanan umum.

Di Harian Tribun Manado, Kamis (7 Juli 2011), halaman Kotamobagu-Totabuan, dipublikasi berita Lempar Batu Paris Superstore: Polisi Tangkap 10 Pendemo. Menurut yang saya baca, demo yang digelar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) ini antaranya menuntut menejemen Paris Superstore membuat serikat pekerja dan membayar kelebihan jam kerja (lembur) karyawannya. Demi menunjukkan keseriusan tuntutannya, para pendemo melempari Paris Superstore dengan tomat, lalu kemudian (menurut keterangan polisi) batu.

Menurut pendapat saya polisi bertindak terlampau lembek menangani para pendemo itu, yang hanya ‘’diundang’’ ke Polres Bolmong, diajak berdialog, dan diminta membuat pernyataan tertulis agar tidak berbuat anarki dan menjaga keamanan bersama pihak aparat. Harusnya mereka dihukum dengan cara yang lebih serius, misalnya dengan mengenakan Peraturan Daerah (Perda) Kebersihan, di mana pelanggar dijerat dengan sanksi tertentu (dalam bentuk uang) atau kurungan. Rumput liar harus dicabut hingga akar sedini mungkin sebelum beranak-pinak dan jadi hama yang bikin pening.

LMND dan anggota-anggotanya di wilayah Mongondow khususnya tentu bakal meradang membaca pernyataan saya bahwa aksi mereka liar belaka. Untuk itu argumen saya: Pertama, adakah di antara para pendemo yang menjadi karyawan Paris Superstore? Kalau ada, apakah dia mahasiswa yang kuliah sambil bekerja?

Kedua, membuat serikat kerja adalah hak para pekerja, diinisiasi dan diurus oleh para pekerja. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan sekelompok mahasiswa yang barangkali kurang kerjaan. Alangkah lucunya bila sekelompok karyawan Paris Superstore mengusung spanduk dan berkoar-koar (misalnya) di depan Universitas Dumoga Kotamobagu (UDK), menuntut agar universitas mendirikan organisasi mahasiswa.

Ketiga, kelebihan upah atau upah lembur adalah pula urusan antara perusahaan dan karyawannnya, yang bila terjadi ketidak-sepakatan harus dibawa ke panitia –kemudian pengadilan-- penyelesaian perselisihan perusahaan-karyawan (buruh). Kalau pun ada pihak yang bersimpati dan ingin membantu, itu dilakukan lewat proses pembelajaran, pendampingan dan advokasi yang sifatnya tidak ikut campur.

Tiga argumen itu memperlihatkan bahwa tak ada alasan kokoh dan masuk akal LMND menggelar demo, kecuali mereka ‘’gatal’’, kurang kerjaan, dan tak paham mekanisme perjanjan (atau kontrak kerja) antara perusahaan dan karyawannya. Mereka tidak pula menghormati pranata hukum dan peraturan berkaitan dengan perusahaan dan karyawannya, yang berada di bawah juridiksi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans).

Tulisan ini tidak bermaksud membela pemilik dan menejemen Paris Superstore, yang juga sangat pantas dikritik sebab pembangunannya tidak mengindahkan (terutama) tata lalu lintas di pusat Kota Kotamobagu. Anehnya, Pemerintah Kota (Pemkot) juga sepertinya tak berdaya meluruskan, semisal dengan mensyaratkan setiap bangunan komersil yang berpotensi menjadi tujuan orang banyak harus dibangun dengan jarak tertentu dari bahu jalan, menyediakan lahan parkir yang cukup, serta jalur hijau sebagai kawasan pendukung.

Bahkan bila ditelisik lebih jauh, kondisi yang sama dengan Paris Superstore terserak di mana-mana di Kota Kotamobagu (KK). Karena itu pula tampaknya percuma ada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Tata Kota (apakah sudah ada lembaga ini di KK?), hingga Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Di saat Pemkot asyik dengan mimpi menata kota, bersamaan pula kita melihat dari hari ke hari bangunan-bangunan yang bertumbuhan didirikan dengan mengabaikan aspek paling dasar perencanaan kota.

Mendemo Paris Superstore karena bangunannya mengganggu kenyamanan lalu lintas pusat kota Kotamobagu, saya kira masih masuk akal sebagai bentuk konsern mahasiswa terhadap penataan kota. Kalau pun itu yang dilakukan, maka yang pantas didemo adalah Pemkot dan DPR KK, bukan pemilik dan menejemen Paris Superstore yang hanya hilir dari seluruh proses panjang. Muara dari proses yang melibatkan aspek administrasi dan teknis perizinan ini adalah Pemkot.

Jadi, adik-adik, sebaiknya kalau Anda-Anda benar mahasiswa, kembalilah ke kampus dan tekun belajar agar bisa menunjukkan kualitas kecerdasan memadai sebelum melakukan sesuatu yang justru lebih terlihat konyol ketimbang heroik. Demo saja masih keliru, apalagi hal lain yang lebih dari sekedar koar-koar, mengusung spanduk, melempar tomat, lalu batu.

Bukankah sungguh bikin malu bila langit pengetahuan Anda (yang katanya mahasiswa) akhirnya hanya diukur dari seberapa tinggi tomat atau batu yang dilemparkan?***