Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, July 29, 2017

Polda Sulut Semestinya Pula Mentersangkakan Menteri Susi

DI PERAIRAN MINAHASA, Sulut, 15 kapal asing diledakkan. Terima kasih pada peradaban digital modern karena peristiwa yang terjadi Rabu, 20 Mei 2015, silam ini mudah ditemukan dan disimak lagi dari jagad Internet, salah satunya di situs sindonews.com (https://daerah.sindonews.com/read/1003427/193/15-kapal-asing-diledakkan-di-perairan-minahasa-1432133182).

Saya juga mesti berterima kasih pada seorang ‘’adik ‘’ yang berprofesi pewarta, Chendry Mokoginta, yang dengan baik hati mengirimkan tautan berita itu. Juga, atas ide yang terpantik karena celutukannya ihwal (catatan saya: kacamata kuda) Polda Sulut dalam menilai sebuah peristiwa yang melibatkan pejabat publik atau aparat pemerintahan yang sah: apakah dia penegakan kewenangan atau peristiwa pidana?

Ledak-meledakkan kapal (terutama asing) yang maraup ikan dari perairan Indonesia, terutama yang tak berizin, punya dokumen tapi abal-abal, dan keras kepala tetap menjalankan aksinya, sejak era Presiden Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla memang kerap jadi headline media massa, hingga internasional. Penggagas dan kemudian pengawal utama pelaksanaan ‘’eksekusi bakar kapal’’ ini adalah Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.

Menteri Susi memang ‘’gile bener’’. Di awal-awal program’’tangkap dan bakar kapal ilegal’’ itu, dia tidak hanya dihujani pujian. Terang-terangan maupun di balik punggung dia dihujani caci-maki dan aneka ancaman. Termasuk segala siasat agar Menteri Susi dilengser dari jabatannya.

Kekayaan laut Indonesia yang melimpah dan lama dieksploitasi sesukanya, lengkap dengan segala backing dan konspirasi—uang, politik, kekuasaan, kewenangan, dan sebagainya—, telah membuat nyaman para pemainnya. Langkah Menteri Susi adalah gangguang yang bagai pedang menebas pohon pisang berbuah ranum, yang untunglah didukung penuh (setidaknya) oleh ‘’pengawal laut Indonesia’’: TNI AL.

Tanpa dukungan TNI AL, lengkap dengan kapal-kapal perang dan personil terlatih (tentu atas restu otoritas tertinggi di negeri ini), saya yakin kebijakan Menteri Susi yang sekolahnya cuma sampai SMP—tetapi khatam sebagai pengusaha perikanan, dan belakangan bisnis penerbangan, sukses—bakal sekadar macan ompong. Bisa apa KKP dengan kapal-kapal seadanya (umumnya bertonase dan kecepatan kecil) menghadapi luasnya wilayah laut Indonesia? Jika KKP dibiarkan sendirian di laut Indonesia menghadapi kapal-kapal asing yang lalu lalang, kementerian ini ibarat anak TK ditanding kepiawaian dengan kelas lulusan doktor.

Memangnya kapal asing dari macam-macam negara yang masuk mengaduk laut Indonesia cuma semodel perahu pelang, dengan teknologi baca bintang, kira-kira arah angin, dan duga-duga isi laut? Yang melindungi mereka hanya preman kampung bersenjata golok dan panah wayer? Dan uang yang terlibat dalam bisnis ini cuma senilai investasi warung kopi?

Buat mereka yang waras, Menteri Susi dan jajarannya harus didukung 1.000%. Dia tidak sekadar berupaya menyelamatkan kekayaan laut Indonesia. Pesan utama yang disampaikan kebijakannya ke dunia luas adalah: ‘’bangsa dan negeri ini punya harga diri. Bukan bangsa dan negeri yang bisa seenaknya dimasuki, diaduk-aduk, dan disedot. Anda boleh datang ke sini, bikin apa saja, tetapi pakai aturan dan cara yang benar.’’

Itu sebabnya, barangkali, Menteri Susi belum dijadikan tersangka melanggar Pasal 170 ayat (1) KUHP atau pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP jo pasal 52 KUHP Jo pasal 55, 56 KUHP atau pasal 406 KUHP Jo pasal 52 KUHP jo pasal 55, 56 KUHP seperti yang ditimpakan Polda Sulut kepada Bupati Bolmong, Yasti Soepredjo Mokoagow. Atau, barangkali karena belum satupun pemilik kapal, terutama 15 kapal asing yang diledakkan di perairan Minahasa, Mei 2015 lalu, yang membersitkan di kepala melaporkan pengerusakan barang yang didalangi Menteri Susi ke Polda Sulut.

Demi keadilan dan kesetaraan di depan hukum, patut disarankan pada (minimal) pemilik 15 kapal yang diledakkan di perairan Minahasa itu, agar melaporkan mengalami tindak pidana ke Polda Sulut. Saya kok punya keyakinan, aparat Polda Sulut yang sangat pintar memahami KUHP—sembari meniadakan UU yang lain—bakal bersigegas mengurus kasusnya. Apalagi kalau ada kapal Cina di antara 15 kapal asing yang dikorbankan itu.

Terlebih pula bila masuknya kapal asing itu diimbuhi sebagai ‘’investasi asing’’, tak peduli legal maupun ilegal. Sudah mengantongi izin prinsip, tetapi belum mengurus izin-izin yang lain. Pokoknya bilang investasi asing, masuk, selebihnya: benar-salah, urusan belakangan. Kan ada polisi yang akan mengawal dengan saksama dan tegas perkara ini.

Dan apakah perlu ada aduan terlebih dahulu? Kelihatannya, dengan merujuk pada kutipan yang dipublikasi gemarakyat.id (http://www.gemarakyat.id/waduh-penetapan-tersangka-bupati-bolmong-kapolda-sulut-itu-arahan-langsung-presiden/), Jumat, 28 Juli 2017, polisi mestinya bertindak sebab peristiwanya bukan delik aduan. Kasusnya tidak beda dengan apa yang dilakukan Bupati Yasti di Bolmong terhadap PT Conch.

Saya tidak mengarang, karena situs itu—sebagai disclaimer: jika ini salah, maka yang keliru pasti gemarakyat.id—jelas menuliskan: Kapolda Sulut Irjen Pol Bambang Waskito sebelumnya sudah menegaskan, dalam pertemuan bersama presiden, ada arahan langsung terkait investor. Atas dasar itu, Waskito tak ragu bertindak tegas. Investor yang sudah masuk harus mendapat rasa aman dan nyaman. “Terkait pengrusakan PT Conch, sekalipun sudah ada kesepakatan damai, polisi akan memproses terus. Ini bukan delik aduan,” tegas Waskito.

O, demi rasa aman dan nyaman investor toh? Jika demikian, Pak Kapolda, izinkan dengan rendah hati saya bertanya: tahukah Bapak jika ada investasi (asing), PT MMP, yang sedianya mengoperasikan tambang pasir besi di Pulau Bangka, Minut, Sulut, yang seluruh duitnya terpaksa hangus ke laut karena gugatan beberapa orang? Yang oleh MA, berdasar putusan No. 255 K/TUN/2016, memerintahkan Kementerian ESDM untuk mencabut SK No. 3109 K/30/2014 tentang IUP Operasi Produksi PT MMP.

Di manakah logika dan fakta hukum ‘’rasa aman dan nyaman’’investor dalam kasus  PT MMP? Apakah putusan PTUN Jakarta yang kemudian dikuatkan Pengadilan Tinggi TUN Jakarta dan MA, yang membuat Menteri ESDM mencabut IUP Produksi PT MMP pada 23 Maret 2017, berarti tidak memberi ‘’rasa aman dan nyaman’’ dan melindungi investor?

Pak Kapolda yang terhormat, kapan kira-kira para penentang PT MMP, Ketua PTUN Jakarta, Ketua Pengadilan Tinggi TUN Jakarta, Ketua MA, dan Menteri ESDM akan ditetapkan sebagai tersangka menghalang-halangi investasi di Sulut? Sebab jangankan aman dan nyaman, dengan tindakan seluruh orang itu, investasi mereka justru menguap dalam tempo yang sesingkat-siangkatnya. Demi konsistensi kerja profesional polisi, dan agar dijeratnya Bupati Yasti dan 27 aparat Satpol PP Bolmong dalam kasus PT Conch tidak dimaknai sekadar ‘’unjuk kekuatan dan wewenang’’ polisi —atau lebih buruk lagi karena ego pribadi beberapa petinggi Polda--, mohon Polda Sulut menerapkan standar, praktik, dan tindakan hukum yang tidak berstandar ganda.

Apalagi umum mudah menemukan rujukan-rujukan dan pembanding kinerja kepolisian; dan orang Mongondow—lebih khusus warga Kabupaten Bolmong—bukanlah komunitas kerbau dan pohon kedondong yang bakal diam saja dan cuma bisa melenguh atau doyong didorong angin. Kami tahu, kok, di mana benar dan salahnya PT Conch North Sulawesi Cement dan PT Sulenco Bohusami Cement; sedemikian pula benar dan salahnya Bupati Yasti dan 27 aparat Satpol PP Bolmong. Apalagi pengetahuan itu, untuk sementara, terkonfirmasi lewat temuan Pansus DPRD Bolmong sebagaimana yang dilansir tribunnews.com (http://manado.tribunnews.com/2017/07/29/pansus-dprd-bolmong-temui-banyak-kejanggalan-pt-conch), Sabtu, 29 Juli 2017.

Masyarakat yang kian tahu persis duduk-soal PT Conch pasti punya pendapat dan sikap sendiri yang tak bisa dihalangi aparat kepolisian sekalipun. Tentu Pak Kapolda tahu, bahwa di mana-mana di Bolmong mulai terpasang kain rentang yang meneriakkan, ‘’Bolmong harga mati, Yasti harga diri’’(totabuan.co, Jumat, 28 Juli 2017, http://totabuan.co/2017/07/warga-bolmong-sebar-spanduk-dukungan-untuk-bupati/). Saya kira pernyataan dalam kain rentang ini bukan ancaman, melainkan sikap warga Bolmong umumnya.

Jika sikap itu menjadi massif, bukan tak mungkin PT Conch (dan PT Sulenco) bakal bernasib sama seperti PT MMP. Bukankah selalu ada jalan melawan sesuatu yang tidak pada tempatnya, apalagi itu juga bengkok.

Kearifan Polda Sulut-lah, tentu dengan Kapolda sebagai pucuk tertingginya, yang akan memutuskan: menyelesaikan perkara PT Conch (dan PT Sulenco) dengan Pemda Bolmong dan jajarannya dengan keuntungan yang sama untuk dua pihak; atau dua pihak sama-sama tenggelam. Tiji tibeh. Orang Mongondow, saya yakin, tak bakal sudi sekadar omong kosong pengecut merentang kain lalu mengorbankan ‘’harga mati’’ dan ‘’harga dirinya’’.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AL: Angkatan Laut; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; ESDM: Energi dan Sumber Daya Mineral; Irjen: Inspektur Jenderal; IUP: Izin Usaha Pertambangan; Jo: Juncto; Kapolda: Kepala Kepolisian Daerah; KKP: Kementerian Kelautan dan Perikanan; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana; MA: Mahkamah Agung; MMP: Mikgro Metal Perdana; Pol: Polisi; Polda: Kepolisian Daerah; PP: Pomong Praja; PT: Perseroan Terbatas; PTUN: Pengadilan Tata Usaha Negara;Satpol: Satuan Polisi; SMP: Sekolah  Menengah Pertam; Sulut: Sulawesi Utara; TK: Taman Kanak-kanak; TNI: Tentara Nasional Indonesia; TUN: Tata Usaha Negara; UU: Undang-undang; dan Wapres: Wakil Presiden.

Friday, July 28, 2017

Conch dan ‘’Grap-grap’’ Penegakan Hukum (2)

GENERASI seusia saya—kini berumur di atas 50 tahunan—, yang lahir di punghujung Orla dan tumbuh hingga dewasa di era Orba, akrab dengan sinisme semacam ‘’Ali-Baba’’. Eufemisme ini merujuk pada perilaku ‘’Ali’’ (pribumi) yang dengan koneksi kekuasaan mendapatkan lisensi dan ‘’Baba’’ (pemilik modal) yang menguasai lisensi dan meraup sebanyak mungkin keuntungan. ‘’Ali’’ semata-mata alat (kalau bukan budak) dari ‘’Baba’’.

Sinisme lain yang bahkan masih hidup dan terus dipraktekkan (dibuktikan dari banyaknya tangkap tangan oleh KPK) adalah, ‘’hampir setiap aparat berwenang atau berwajib atau yang punya kuasa memiliki toke (tauke)-nya sendiri’’. Artinya, selalu tidak mengejutkan jika di mana-mana di negeri ini wewenang dan kekuasaan dengan mudah jadi boneka dan dikendalikan oleh mereka yang punya uang bejibun.

Dalam lingkup wewenang jabatannya, Bupati Yasti tunduk dan melaksanakan amanat UU No. 23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam kaitan dengan silang-selisih PT Sulenco-PT Conch-Pemkab Bolmong, ada Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar yang menjadi kewenangan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2, yang antaranya berkaitan dengan penataan ruang serta ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat.

Lepas dari status hubungan PT Sulenco dan PT Conch serta izin-izin subtansial yang harus mereka kantongi dalam urusan pertambangan (ataupun kalau PT Conch bersikukuh masuk kategori industri dalam bentuk investasi PMA), Bupati Bolmong tegas memiliki kewenangan penuh. Apakah, yang paling sederhana, bangunan-bangunannya memiliki IMB? Kalau pun ada, atas nama PT yang manakah IMB yang dikatongi? Apakah pula peruntukan kawasan di mana kompleks pabrik itu dibangun?

Sejauh yang kita ikuti di media massa, peruntukan kawasan di mana PT Conch kini mengkonstruksi kompleks pabrikya adalah untuk pertambangan. Artinya, fasilitas ini melekat dengan tambang—yang celakanya tidak memiliki jaminan legalitas. Sudah begitu, sejumlah bangunan yang ‘’disangkakan’’ dirusak oleh Bupati dan 27 Satpol PP yang sudah menjadi tersangka, konon tidak memiliki IMB.

Lalu di mana tindak pidana yang dilakukan Bupati dan aparatnya? Terlebih, sebelum ‘’penertiban’’ dilakukan, (sekali lagi) sebagaimana info publik, sudah berulang kali Pemda Bolmong memperingatkan PT Conch. Bukankah membangun di atas lahan yang bukan peruntukannya dan tidak mengindahkan ketertiban umum karena tanpa IMB, adalah pelanggaran yang wajib ditindak oleh Bupati?

Kalaupun Bupati melakukan kekeliruan, sebagai sebuah kebijakan, sebelum menjadi tindak pidana, perkaranya mesti terlebih dahulu dibawa ke struktur pemerintahan yang lebih tinggi. Harus diingat, Pasal 7 ayat (1) UU No. 23/2014 menetapkan: Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Daerah. Tidak puas dengan pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Pusat, bawa masalahnya ke PTUN dan jika Pemda keliru serta tindakannya menimbulkan kerugian finansial material, layangan gugatan perdata.

Sudahkah silang-sangkarut PT Sulenco-PT Conch-Pemda Bolmong ini dibawa ke tingkat pemerintahan yang lebih tinggi? Diuji apakah kebijakan Bupati Yasti benar atau keliru, sebelum polisi dengan gagah-berani buru-buru ikut campur?

Kesannya kok Polda Sulut sangat sigap dan mikroskopis melihat peristiwa Senin, 5 Juni 2017 sebagai tindak pidana (yang sebelumnya dilaporkan oleh entah PT Sulenco, PT Conch, atau justru keduanya secara bersama-sama) yang bukan delik aduan, karenanya sekalipun pengadu sudah mencabut aduannya, perkara tetap tancap gas. Maju terus.

Saudara-saudara, luar biasa Polda Sulut kita dan jajarannya. Tapi apa polisi akan sama gesit dan bersikukuhnya memproses PT Sulenco dan PT Conch jika Pemda Bolmong malaporkan berbagai pelanggaran yang terang-benderang mereka lakukan?

Kesemena-menaan PT Sulenco dengan legalitasnya yang tak jelas, PT Conch dengan ulah yang seenak perutnya, bukan hanya melecehkan kewenangan Bupati dan jajarannya dalam soal Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Aparat berwajib dan berwenang yang sedikit saja paham hukum dan perundang-undangan dengan komprehensif, dapat dengan mudah menemukan dua perusahaan ini telah melakukan tindak-pidana tak ringan. Yang paling cemen, misalnya yang berkaitan dengan masalah lingkungan.

Dengan memahami UU No. 23/2014, penetapan Bupati Bolmong sebagai tersangka oleh Polda Sulut, dibanding dianggap sebagai sesuatu yang serius dan menguncang, tampaknya lebih pantas dipandang sebagai lakon lawak semata. Yang pentasnya kian menggelikan bila dikaitkan dengan status yang sama yang ditimpakan pada 27 anggota Satpol PP. Apa aparat Polda Sulut tidak pernah mendengar, mengetahui, dan membaca, bahwa di negeri ini ada UU No. 5/2014 Tentang ASN?

Pasal 23 UU No. 5/2016 (yang terkait dengan isu keikutsertaan mereka dalam kasus PT Conch) jelas-jelas mencantumkan Pegawai ASN wajib: a. setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah; c. melaksanakan kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah yang berwenang; serta e. melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab.

Bupati Yasti Soepredjo Mokoagow adalah pemerintahan yang sah di Bolmong. 27 Satpol PP yang didudukkan sebagai tersangka hanya melaksanakan kebijakan yang dirumuskan oleh Bupati sebagai pejabat pemerintah yang berwenang. Pendeknya, mereka melaksanakan tugas kedinasannya dengan penuh pengabdian. Mentersangkakan mereka adalah lelucon buruk yang menunjukkan betapa menyedihkan kualitas pengetahuan hukum aparat Polda Sulut.

Alih-alih jadi hiburan, humor tak cerdas justru lebih banyak memantik amarah. Asal mencomot Pasal 170 ayat (1) dan ayat (2) ke-1 KUHP jo pasal 52 KUHP Jo pasal 55, 56 KUHP atau pasal 406 KUHP Jo pasal 52 KUHP jo pasal 55, 56 KUHP; dan meluputkan Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51 KUHP, pasti kerjaan badut amatir. Kalaupun 27 anggota Satpol PP terpaksa mengambil tindakan terhadap bangunan tanpa IBM milik PT Conch karena perintah Bupati Yasti yang berkuasa penuh dan punya daya paksa sebagai atasan tertinggi mereka, dan kemudian perkaranya menjadi tindak pidana, Pasal 48 KUHP menjamin: Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.

Pasal 48 KUHP dipertegas dengan Pasal 51 KUHP yang menyatakan: ‘’ (1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. (2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.’’

Dalam kedudukannya sesuai UU No. 23/2014, apa yang dilakukan Bupati Yasti dilindungi oleh Pasal 50 KUHP, bahwa, ‘’Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.’’

Pembaca, belum tentu saya menafsir dengan tepat hukum dan perundangan-undangan di Indonesia, lewat UU, pasal-pasal, dan ayat-ayat yang saling terkait itu. Sama halnya dengan polisi juga tidak selamanya benar. Bukan sedikit contoh langkah dan laku aparat polisi yang berakhir sebagai lelucon dan olok-olok. Sebab alih-alih menegakkan hukum, yang terjadi justru tindakan memanfaatkan dan menelikung hukum demi ego, keserakahan, unjuk kekuatan, dan kepentingan bengkok lainnya di luar kebenaran dan keadilan.

Untuk kasus yang dijeratkan ke Bupati dan 27 anggota Satpol PP Bolmong, saat dikontekskan dengan ghirah nasionalisme, NKRI, dan harga diri bangsa—termasuk dengan slogan ‘’Aku Pancasila’’ yang kini marak—, tidak berlebihan rasanya bila akhirnya ada konklusi: dengan mentersangkakan Bupati Yasti, Polda Sulut justru menahbiskan dia sebagai calon pahlawan penegak nasionalisme dan semangat NKRI. Orang Indonesia, pemimpin di daerah, yang tahu persis dan bangga terhadap harga diri bangsanya; lebih khusus lagi orang dan daerah yang dia pimpin.

Berseberangan dengan itu, kita boleh-boleh saja mencibir jika ada aparat berwenang dan berwajib yang gemar berlaku sebagai antek—termasuk antek asing—yang gampang tunduk dan melacur pada kekuatan tertentu (konspirasi uang, dukungan kekuasaan, atau semata karena tabiat khas megalomania orang tinggi ego yang punya kuasa). Toh tidak sulit mencium dan mengetahui siapa saja dan seperti apa sosok-sosok mereka. Cuma soal kepekaan, kecerdasan, dan keawasan mencermati fakta-fakta dengan saksama.

Akan halnya tindakan Polda Sulut mentersangkakan Bupati Yasti yang kini sudah jadi perhatian nasional, dengan komprehensif memahami hukum dan perundangan-undangan di Indonesia, sekali lagi mari kita mahfumi saja sebagai seolah-olah edukasi hukum dan tindakan penegakannya yang sekadar grap-grap cari perhatian. Bukankah belum ada tindak pidana yang menjerat siapapun yang menganggap ‘’sesuatu yang seolah-olah’’ sebagai sekadar lawakan belaka?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; Bolmong: Bolaang Mongondow; IMB: Izin Mendirikan Bangunan; KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana; Orba: Orde Baru; Orla: Orde Lama; Pemda: Pemerintah Daerah; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; PMA: Penanaman Modal Asing; Polda: Kepolisian Daerah; PP: Pamong Praja; PT: Perseroan Terbatas; PTUN: Pengadilan Tata Usaha Negara; Satpol: Satuan Polisi; Sulut: Sulawesi Utara; dan UU: Undang-undang.

Conch dan ‘’Grap-grap’’ Penegakan Hukum (1)

POLDA Sulut menetapkan Bupati Bolmong, Yasti Soepredjo Mokoagow, sebagai tersangka tindak pidana pengerusakan. Pasal yang disangkakan, menurut Kabid Humas Polda Sulut, Kombes Ibrahim Tompo, sebagaimana yang dikutip tempo.co (https://nasional.tempo.co/read/news/2017/07/26/058894750/bupati-bolmong-jadi-tersangka-perusakan-begini-kasusnya), Rabu, 26 Juli 2016, adalah Pasal 170 KUHP juncto Pasal 52, 55 dan 56 KUHP.

Sumber umum yang lain, manadopostonline.com (http://manadopostonline.com/read/2017/07/26/Bupati-Bolmong-Resmi-Tersangka-Ancaman-Hukum-Lima-Tahun-Penjara/25127), punya versi berbeda. Masih mengutip Kabid Humas Polda Sulut, menurut situs ini, ‘’Bupati Bolmong disangka telah melanggar Pasal 170 ayat (1) KUHP atau pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP jo pasal 52 KUHP Jo pasal 55, 56 KUHP atau pasal 406 KUHP Jo pasal 52 KUHP jo pasal 55, 56 KUHP.’’

Penetapan terhadap Bupati itu melengkapi gerak cepat polisi yang sebelumnya telah mentersangkakan 27 personil Satpol PP Bolmong, sebagai buntut penertiban bangunan tanpa IMB di kompleks pabrik semen yang tengah dikonstruksi PT Conch North Sulawesi Cement di Desa Solog, Lolak, Senin, 5 Juni 2017. Dalam penertiban ini, Bupati yang didampingi sejumlah pejabat di jajaran Pemkab serta beberapa anggota DPRD Bolmong, memang memerintahkan Satpol PP mengambil tindakan terhadap bangunan-bangunan yang diduga didirikan tanpa IMB.

Kembali ke pasal-pasal yang disangkakan, sebagaimana dinyatakan Kombes Tompo, jelas bukan main seriusnya. Pasal 170 ayat (1) KUHP bilang: Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan; sedang ayat (2) ke-1 menyebutkan: Yang bersalah diancam: dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka.

Alternatif yang disangkakan, Pasal 460 KUHP, pasti merujuk pada ayat (1)—mengingat ayat (2) urusannya soal binatang--, yakni: (1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal yang dihubungkan dengan dua sangkaan utama itu, masing-masing Pasal 51, Pasal 55, dan Pasal 56 KUHP kian bikin merinding. Pasal 52 KUHP menyatakan: Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga. Pasal 55 KUHP, terdiri dari dua ayat, menyebutkan: ayat (1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: 1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; 2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan; dan ayat (2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Akan halnya Pasal 56 KUHP, yang juga terdiri dari dua ayat, menjelaskan bahwa, dipidana sebagai pembantu kejahatan, ayat 1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; ayat 2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau ke- terangan untuk melakukan kejahatan.

Tak pelak, penetapan tersangka terhadap Bupati Bolmong itu mengundang pro-kontra. Bahkan beberapa anggota DPR RI-pun ikut angkat suara, antaranya menyoroti tindakan polisi ‘’terburu-buru’’ dan ‘’jadi preseden buruk’’.

Perhatian umum kini memang terfokus pada pro-kontra layak atau tidaknya Bupati Yasti ditersangkakan hingga nyaris mengabaikan akar masalahnya. Sejatinya, perkara yang menyeret Bupati dan 27 anggota Satpol PP Bolmong ini sepele belaka. Sumber-sumber publik—yang tidak pernah diperdebatkan oleh siapapun—menyebut kehadiran PT Conch di Bolmong terkait dengan PT Sulenco Bohusami Cement. Yang satu adalah investor yang kemudian membangun pabrik semen, yang lain adalah pemilik konsesi pertambangan kapur (sebagai bahan utama semen) di Desa Solog.

Galib dipahami—dan demikianlah aturannya—, PT Sulenco yang masuk kategori usaha tambang, mesti memiliki izin: IUP Eksplorasi dan IUP Produksi. Faktanya (sekali lagi, berdasar sumber publik yang rujukannya berserak di Internet), perusahaan ini ternyata ‘’hanya pernah’’ punya izin. Dengan kata lain, dokumen yang dikantongi sudah kedaluarsa.

Walau begitu, PT Sulenco jalan terus dengan gagah berani mengandeng—pemilik PT Sulenco selalu menyebut sebagai—investor asal Cina, PT Conch, untuk mengelola cebakan kapur di atas lahan yang dikuasai. Namun, hingga pening menelisik, akibat simpang-siur lalu-lalang informasi, hubungan antara dua perusahaan ini sama kaburnya dengan penglihatan penderita katarak stadium kritis.

Manakah yang benar? PT Sulenco adalah pemilik konsesi dan izin IUP Eksplorasi hingga IUP Produksi, sedang PT Conch hanya menjadi mitra pengolah? PT Sulenco adalah pemilik konsesi dan izin IUP Eksplorasi hingga IUP Produksi, lalu Anhui Conch Cement Company Ltd masuk berinvestasi, mendirikan joint venture PT Conch? Atau PT Sulenco adalah pemilik konsesi dan izin IUP Eksplorasi hingga IUP Produksi; dan PT Conch menjadi investor sekaligus operator dari penambangan, pengolahan, hingga distribusi dan penjualan produksinya?

Jawaban terhadap tiga pertanyaan itu terkait erat dengan masuk akal-tidaknya tindakan Polda Sulut. Jika PT Conch hanya mitra pengolah, maka pendirian kompleks pabrik semen di Desa Solog bukanlah masalah,  sepanjang: perusahaan ini memenuhi seluruh izin dan kepatuhannya, termasuk membangun fasilitasnya di atas kawasan peruntukan industri.

Bila PT Conch adalah hasil joint venture PT Sulenco dan Anhui Conch, bagaimana dengan perizinan dasarnya? Dapatkah IUP Eksplorasi dan IPU Produksi dipindahtangankan? Status perusahannya adalah investasi dalam negeri (mayoritas Indonesia) atau PMA (mayoritas asing)? Jika PT Conch adalah sekadar investor sekaligus operator, maka seharusnya yang berada di depan (dalam segala urusan) adalah PT Sulenco, yang sejauh ini kita tahu bersama tidak mengantongi perizinan sebagaimana mestinya.

Polisi serta aparat berwajib dan berwenang lainnya yang cermat dan tahu persis tugas, kewajiban, dan wewenangnya di negeri ini, semestinya terlebih dahulu menelisik hal paling substansial itu. Cuma aparat bebal dengan mental ‘’orang jajahan’’ yang serta-merta tunduk ditakut-takuti kata ‘’investasi asing’’. Mau asing, mau lokal, sepanjang melanggar UU dan turunannya, seharusnya ditindak dengan serta merta. Bukankah Indonesia adalah negeri berdaulat? Bukankah pula kewajiban setiap warga negara, siapapun dia, bangga dan menegakkan harga diri negeri ini?

Mudah-mudahan rumor yang beredar sejak Senin, 5 Juni 2017, bahwa sudah ada gudang Handak di kompleks pabrik semen yang sedang dikonstruksi oleh PT Conch di Desa Solog, cuma sekadar gosip orang kurang kerjaan. Sebab jika bisik-bisik ini benar, dan otoritas tunggal pemberi izin Handak di negeri ini hanyalah Polri, keberadaan gudang yang ‘’konon’’ sudah terisi itu menimbulkan pertanyaan sangat serius. Perusahaan mana yang mengantongi izinnya? PT Sulenco atau PT Conch?

Konsekwensi PT Sulenco yang mengantongi izin Handak artinya dia punya IUP Produksi—yang sejauh ini tidak pernah mampu ditunjukkan keabsahannya. Galibnya operasi tambang yang mengambil batuan, penambangan kapur memang membutuhkan bahan peledak dan peledakan. Sebaliknya, kalau izinnya dikantongi PT Conch, buat apa perusahaan yang ‘’cuma’’ pabrik semen butuh bahan peledak dan peledakan?

Taruh kata kerja sama dengan PT Sulenco menempatkan PT Conch menangani hulu sampai hilir, dari penambangan kapur hingga distribusi semen yang diproduksi, dan karenanya dalam operasinya membutuhkan bahan peledak dan peledakan, maka pertanyaannya: IUP Produksi mana yang akan mereka tambang?

Hello, Polda Sulut, adakah jawaban yang memuaskan dari sisi edukasi dan penegakan hukum terhadap pertanyaan-pertanyaan yang bagai kucing mengejar ekornya sendiri itu? Atau haruskah kami, seluruh warga Mongondow, menebak-nebak dan menduga-duga saja ‘’bau tak sedap’’ yang sekarang mengotori atmosfir sosial-politik Bolmong memang berasal dari kongkalingkong dengan sumbu utama PT Conch?

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; Handak: Bahan Peledak; Humas: Hubungan Masyarakat; IMB: Izin Mendirikan Bangunan; IUP: Izin Usaha Pertambangan; Jo: Juncto; Kabid: Kepala Bidang; Kombes: Komisaris Besar; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana; Pemda: Pemerintah Daerah; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; PMA: Penanaman Modal Asing; Polda: Kepolisian Daerah; PP: Pamong Praja; RI: Republik Indonesia; Satpol: Satuan Polisi; Sulut: Sulawesi Utara; dan UU: Undang-undang.