HINGGA
Selasa, 5 Desember 2017, Ketua DPRD Bolmong belum
menandatangani APBD 2018. Padahal, pasal 312, ayat (1), UU No. 23/2014 Tentang Pemerintahan
Daerah mengamanatkan: ‘’Kepala daerah dan DPRD wajib menyetujui bersama
rancangan Perda tentang APBD paling lambat 1 (satu) bulan sebelum dimulainya
tahun anggaran setiap tahun.’’ Apabila dua pihak yang berkewajiban ini tidak
mencapai persetujuan, ada sanksi yang otomatis dijatuhkan sebagaimana yang ditetapkan
dalam ayat (2) dan (3).
Faktanya, merujuk unggahan totabuan.co, Jumat, 1 Desember 2017, Ada Apa, Ketua DPRD Bolmong Tidak Mau Tanda Tangan
Dokumen APBD (http://totabuan.co/2017/12/ada-apa-ketua-dprd-bolmong-tidak-mau-tanda-tangan-dokumen-apbd/),
melalui proses yang sebagaimana mestinya, DPRD sudah membahas RAPBD 2018
menjadi APBD. Hanya saja, hingga batas waktu yang ditetapkan UU, Ketua DPRD
Bolmong menolak menandatangani dokumennya dengan alasan yang hanya dia seorang
yang tahu.
Di lain pihak, dalam pemberitaannya, dengan mengutip seorang sumber, totabuan.co membeber penolakan Ketua
DPRD Bolmong itu karena Bupati dan jajarannya enggan memenuhi permintaannya berkenaan
dengan pengadaan mobnas baru untuk pimpinan dewan pada 2018. Urusan ‘’mobil
yang terhormat’’ ini secara lebih tegas diungkap situs berita Kronik Totabuan, Jumat, 1 Desember 2017,
Diduga Permintaan Mobnas Ditolak, Welty
Tolak Teken APBD 2018 (https://kroniktotabuan.com/bolmong/diduga-permintaan-mobnas-ditolak-welty-tolak-teken-apbd-2018),
bahkan dengan mengutip tiga anggota DPRD Bolmong, masing-masing Mohammad
Syahrudin Mokoagow, Masri Masenge dan Yusra Alhabsyie.
Membaca lalu-lalang informasi Ketua DPRD Bolmong dan ‘’mobnas
harapannya’’ di ruang publik (termasuk pula media sosial), mulanya saya
berharap isu ini sekadar keriuhan bumbu dinamika politik biasa. Masak sih seorang pimpinan dewan mengorbankan
kepentingan orang banyak (bukan hanya Bupati dan jajaran Pemkab atau DPRD
Bolmong, tetapi seluruh masyarakat yang hajat-hidupnya pasti bakal terganggu)
hanya karena rakus ingin mencicipi mobnas baru?
Akal sehat dan adab saya juga menolak percaya, kendati Kronik Totabuan telah pula menyiarkan
konfirmasi dari Sekda Bolmong, Tahlis Galang, termasuk bahwa, ‘’Berdasarkan
Renstra Setwan 2017-2022, kendaraan roda empat nanti akan dianggarkan pada 2019
kepada pimpina DPRD yang terpilih berdasarkan hasil Pemilu Legislatif Tahun
2019. Kalau tahun depan tidak ada.’’
Namun, publikasi totabuan.co,
Sabtu, 2 Desember 2017, Ini Bantahan
Bupati Bolmong Soal Pernyataan Ketua DPRD (http://totabuan.co/2017/12/ini-bantahan-bupati-bolmong-soal-pernyataan-ketua-dprd/),
memapas tuntas karaguan saya. Mengutip pernyataan Bupati Yasti Soepredjo
Mokoagow dari rilis resmi Sekretariat Daerah Bolmong, pemberitaan ini memapar fakta
Ketua DPRD meminta mobnas—tanpa tedeng aling-aling diungkap jenisnya adalah
Toyota Alphard—benar adanya. Kebenaran ini kian tegas sebab alih-alih melawan
apa yang dikatakan Bupati, masih di totabuan.co,
Minggu, 3 Desember 2017, Ketua DPRD
Bolmong Beber Kinerja Komisi Satu (http://totabuan.co/2017/12/ketua-dprd-bolmong-beber-kinerja-komisi-satu/),
Ketua DPRD Bolmong justru ‘’meracau’’ dengan mempersoalkan kinerja koleganya di
Komisi I. Kalau alat kelengkapan dewan tidak bekerja benar dan baru
dipersoalkan setelah RAPBD Bolmong 2018 selesai di paripurnakan, lalu selama
ini Ketua DPRD ngapain saja? Cuma asyik
tebar pesona dan nonton tayangan syur
di telepon genggam?
Ya, apa boleh buat, jangan tersinggung jika saya menyimpul bahwa penolakan
penandatanganan dokumen APBD Bolmong 2018 memang cuma perkara ‘’tai idong’’:
urusan keinginan bergaya-gaya dengan Toyota Alphard. Benar-benar mental dan
kelakuan hillbilly yang mangkage dan tak kuat menahan syawat golojo karena mendadak menduduki kursi
empuk kekuasaan dan punya akses terhadap fasilitas—pula uang.
Tentang golojo, saya teringat
pada nasihat orang-orang tua Mogondow, ‘’Na’-ai
mo-tura-tura’ na’-kalakuang i bolai (Jangan berlaku rakus seperti monyet).’’
Binatang monyet ini, dalam khasanah fabel Mongondow, kerap digambarkan sangat
pintar, sekaligus licik dan—dalam beberapa kasus—mewakili laku golojo derajat tinggi. Pada
kenyataannya, ketika melihat monyet menggengam pisang di kedua tangannya,
merangkum pula pisang dengan kedua kakinya, sembari mulut mengunyah dan pipi
menyimpan pisang yang lain, seketika membawa kita pada konklusi: kalau binatang
ini tidak sedang sangat lapar, maka dia mustahak super rakus. Padahal, barangkali demikianlah hukum dan sifat
alamiah monyet dan adabnya.
Memantik pula ingatan di kepala peringatan para bijak bestari Mongondow
dari zaman lama yang bilang, ‘’Aka
bobutaan yo tatap bi’ bobutaan.’’ Kendati bukan ujaran kebencian atau
provokasi, saya tidak akan menyertakan terjemahan bahasa Mongondow untuk
kalimat ini. Biarlah hanya mereka yang benar-benar Mongondow yang mampu
memahami dan menangkap esensinya. Di mana bumi dipijak, di situ langit
dijunjung.
Tersebab sedang membahas Ketua DPRD dan APBD Bolmong 2018, sebelum
nasihat tentang bolai dan peringatan bobutaan dikonotasikan dengan
sosok/individu tertentu, saya men-disclosure:
sebagai orang Mongondow, tidak ada satupun larangan dan pengharaman sesuai
hukum formal, apalagi adab, adat, budaya, dan tradisi Mongondow, yang boleh
menghalangi saya menegok, mengingat, dan mentakzimi nasihat, kearifan, dan
kebijaksanaan warisan leluhur saya.
Akan halnya Ketua DPRD dan mobnas impiannya, menurut hemat saya, karena
perkaranya sekadar ‘’ecek-ecek’’ orang yang gegar dan gagap mendadak penting,
sepatutnya seluruh orang Mongondow, khususnya warga Bolmong, menaruh belas
kasih. Bukankah sungguh menyedihkan jika daerah yang katanya kaya (terutama
SDA-nya) tak mampu sekadar menyediakan Toyota Alphard untuk orang sepenting
Ketua DPRD? Terlebih, Bupati yang masa jabatannya baru dibilang hitungan bulan
sudah wara-wiri dengan Toyota Alphard mengkilap (satu mobil setahu saya milik
pribadi Yasti Seopredjo Mokoagow; satu lagi mobnas yang sudah dianggarkan dari
zaman Bupati Salihi Mokodongan).
Masak sih dengan jumlah
penduduk mencapai 233.189 jiwa sesuai statistik resmi 2015 (http://sulut.bps.go.id/new/backend2/pdf_publikasi/Provinsi-Sulawesi-Utara-Dalam-Angka-2016.pdf),
masyarakat Bolmong tak mampu menyisihkan recehan, setidaknya koin yang dikais
dari mana-mana di dalam setiap rumah penduduk, senilai Rp 2.500-3.000 per jiwa,
dikumpulkan sebagai modal membeli Toyota Alphard untuk Ketua DPRD? Kalau
sumbangan koin warga Bolmong belum cukup, demi harga diri seluruh Mongondow,
saya yakin warga KK (119.427 jiwa), Bomut (76.331 jiwa), Bolsel (62.222 jiwa),
dan Boltim (68.692 jiwa), dengan sukarela bersedia ambil bagian.
Anggap saja ‘’gerakan koin untuk Toyota Alphard Ketua DPRD Bolmong’’ ini
adalah implementasi nilai luhur ‘’momosad’’, yang tentu sama sekali tidak
dikenal—apalagi dimengerti—oleh politikus dan elit dengan mentalitas modondia dan lapar segala-galanya.
Saya pribadi berkomitmen menyumbangkan koin-koin Rp 1.000 di ‘’celengan
babi’’ saya yang nilainya sudah mencapai ratusan ribu rupiah. Komitmen ini saya
tetapkan dengan rasa malu yang melimpah sebab proses hajat hidup umum di
Bolmong, APBD 2018, ternyata dihambat ketidaktahumaluan elit yang mestinya
menjadi contoh puncak etika, norma, dan adab seorang pejabat publik.
Mari dengan takzim kita, segenap warga, bergerak mengkontribusikan
sedikit rezeki, koin-koin yang biasanya terselip dan menggeletak begitu saja di
hampir semua rumah di seantero Mongondow, untuk satu Toyota Alphard buat Ketua
DPRD Bolmong. Mungkin, dari mengkilapnya Toyota Alphard hasil koin yang kita
kumpulkan, dia bisa berkaca dan belajar ihwal tahu diri dan rasa malu.***
Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolmut:
Bolaang Mongondow Utara; Bolsel:
Bolaang Mongondow Selatan; Boltim:
Bolaang Mongondow Timur; KK: Kota
Kotamobagu; Mobnas: Mobil Dinas; Pemilu: Pemilihan Umum; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; RAPBD: Rancangan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah; Renstra: Rencana
Strategis; SDA: Sumber Daya Alam; Sekda: Sekretaris Daerah; Setwan: Sekretariat Dewan; dan UU: Undang-undang.