Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, December 17, 2017

Pilwako KK 2018: Sekutu untuk Menang atau Kawan ‘’Lempar Handuk’’?

TAHAPAN Pilwako KK 2018 telah bergulir beberapa pekan terkahir, dimulai dengan pendaftaran calon independen Walikota-Wawali penghujung November 2017, dilanjutkan dengan verifikasi dan proses ikutannya.

Orang banyak tidak terkejut ketika Jainuddin Damopolii (yang masih menduduki jabatan Wawali 2013-2018) mengajukan diri sebagai bacalon Walikota 2018-2023 dari jalur independen. Kendati dia adalah Ketua DPD PAN KK, Jainuddin mesti realistis dengan kehendaknya menjadi pesaing Walikota saat ini—yang berasal dari partai yang sama dan bahkan menjabat sebagai Ketua Bappilu Nasional.

Mendaftar sebagai calon independen adalah tindakan realistis yang diambil Jainuddin. Yang kemudian mengagetkan adalah pasangan yang dia gandeng, Suharjo Makalalag. Apa dan bagaimana kalkulasi komprehensif pilihan terhadap Suharjo, tentu adalah strategi dan taktik yang tak perlu diumbar ke tengah umum. Sekalipun ada ‘’drama’’ sebab (konon) sejatinya keputusan itu diambil di detik-detik terakhir setelah mengeleminasi kandidat lain, Nasrun Koto, yang sebelumnya justru sudah matang dielus-elus.

Saya tak hendak mempertanyakan pilihan Jainuddin terhadap Suharjo (alasan utamanya: saya mutlak tak punya hak untuk itu). Paling-paling, sebagai penonton (walau lahir dan besar di KK, KTP saya saat ini beralamat di daerah lain), saya hanya boleh mengeleng-ngeleng dan bergumam, ‘’Ini pilihan untuk menang atau ‘lempar handuk’ dengan cara yang tampak elegan?’’

Politik, bagaimanapun, adalah arena yang kejam, apalagi di kompetisi perebutan jabatan elit semacam Walikota dan Wawali. Segala macam ihwal publik dan personal seorang bacalon, kemudian calon, akan digali habis-habisan dan disajikan ke depan umum. Sekadar sebagai ujian terhadap kompetensi dan integritasnya; sarana menyakinkan konstituen; hingga senjata untuk melemahkan yang dengan mudah dan empuk digunakan oleh para pesaing.

Suharjo Makalalag yang saya kenal (cukup dekat) adalah orang pintar yang baik. Tapi itu saja tidak cukup. Sejujurnya, kredibilitas publiknya tidaklah terlampau mengkilap sejak meledaknya kasus TPAPD Kabupaten Bolmong yang hingga kini sudah menyeret banyak nama ke LP. Sebagai ASN, UU baru dan turunannya juga tidak berhenti hanya sampai pada hukuman badan yang sudah dia jalani. Maka itu, lepas dari majunya dia sebagai bacalon Wawali KK 2018-2023, saya tidak akan terkejut bila dalam satu-dua pekan ke depan anak-pinak kasus TPAPD masih tetap menyerempet Suharjo.

Dengan memahami peta politik lokal, sejak lama saya meyakini, siapapun dan berapapun bacalon (dan calon) Walikota yang maju, Pilwako KK 2018 adalah kepiawaian strategi dan taktik memilih pendamping. Fakta politik saat ini menunjukkan: sudah ada satu bacalon Walikota dari jalur independen; satu bacalon dari Parpol, petahana Tatong Bara (yang sejauh ini sudah pasti mendapat mandat dari PAN, Hanura, dan PKB), serta kemungkinan bacalon Djelantik Mokodompit yang mengharapkan dukungan dari PG dan—tambahan—kemungkinan PD.

Jainuddin menggandeng Suharjo. Tatong Bara sudah pasti disandingkan dengan Nayodo Kurniawan. Akan halnya Djelantik Mokodompit, dari publikasi totabuan.co, Sabtu, 16 Desember 2017, Kader Golkar Masih Jagokan Djelantik di Pilkada Kotamobagu (http://totabuan.co/2017/12/kader-golkar-masih-jagokan-djelantik-di-pilkada-kotamobagu/), mempertimbangkan tiga nama: Nasrun Gilalom, Ishak Sugeha, dan Nasrun Koto.

Tiga pasang bacalon (lalu calon) Walikota-Wawali Pilwako KK 2018 adalah ideal, dengan catatan PG telah dengan saksama memperhitungkan potensi kemenangan kandidat yang mereka usung. Di antara empat kabupaten dan satu kota di BMR, saat ini tak ada satupun yang dipimpin oleh kader PG. Ini ironi yang menyakitkan, mengingat cukup lama partai ini berjaya di daerah ini, setidaknya saat belum dimekarkan—dan hingga terbentuknya KK.

Peluang terbaik PG di BMR di 2018 ada di KK dan Bolmut. Kita lihat—jika akhirnya direstui dan didukung partainya—apakah kandidat yang sekarang digadang untuk dua daerah ini, Djelantik Mokodompit dan Karel Bangko, berhasil menggandeng sekutu ideal yang mendukung kemenangan atau justru hanya mendapatkan kawan untuk gagal bersama?

PG, partai tua yang kenyang asam-garam politik Indonesia pada akhirnya tak akan gegabah: ketimbang kalah sendirian, adalah lebih baik menang sekalipun harus dibagi beramai-ramai.

Kembali ke Pilwako KK, tiga nama yang diopinikan (terutama oleh media)—Tatong Bara, Jainuddin Damopolii, dan Djelantik Mokodompit—boleh dikata punya keunggulan, kelemahan, keterkenalan, dan penerimaan yang hampir sama di tengah masyarakat KK. Lucunya, ketiganya juga terikat pada satu jejak yang sama: Tatong pernah menjadi Wawali dari Djelantik, sementara Jainuddin saat ini adalah Wawali dari Tatong.

Sekadar sebagai utak-atik, duga-duga, dan humor politik, Pilwako KK sebenarnya sudah selesai jika Tatong kembali dipasangkan dengan Jainuddin; atau bila ingin ‘’pertandingan’’ yang seru, dengan telah pastinya Tatong padu dengan Nayodo; selayaknya Djelantik (yang punya harapan tinggi tetap diusung PG, terlebih dia adalah Ketua DPD II KK) disanding dengan Jainuddin. Soalnya adalah: sungguh sulit menarik garis kompromi di antara para politikus keras kepala dengan tak ada satupun di antaranya bersedia mengalah.

Dengan majunya tiga elit itu sendiri-sendiri sebagai bacalon Walikota, diperhitungkan dengan pasangan yang mereka gandeng, sejujurnya secara subyektif saya menilai Tatong berada jauh di depan pesaing-pesaingnya. Di antara sangat banyak tokoh—terutama yang berusia muda—di KK, Nayodo punya catatan publik yang paling terpapar dan tertakar. Tiga kali menjadi anggota KPU, dengan dua kali sebagai ketua di KK, dia bukan hanya sukses turut mengawal semua proses politik formal di kota ini (setidak lebih 10 tahun terakhir), tetapi juga membawa lembaga yang dia pimpin diakui sebagai salah satu yang terbaik di negeri ini.

Pendeknya, tanpa perlu menderet satu per satu capaiannya (toh mudah di telisik di jagad Internet), KPU KK di bawah kepemimpinan Nayodo adalah lembaga yang punya integritas dan kredibilitas dua jempol. Sekalipun sistim dan mekanisme di KPU telah tertata ketat, buat saya, tetap saja hanya sosok yang kredibel dan berintegritas yang mampu mengimplementasikan menjadi praktek dan fakta solid.

Sebagai ‘’sekolah’’ memahami berbagai aspek manajemen birokrasi dan pengelolaan politik, KPU meluluskan Nayodo dengan suma cum laude. Dia meninggalkan KPU KK dan masuk politik praktis sebagai bacalon Wawali dengan predikat ‘’with highest honor’’.

Di lain pihak, secara sosial-kemasyarakatan, saya juga tidak menemukan ‘’sesuatu keberatan berarti’’ berkenaan dengan sosok pribadinya. Kendati bukan pribadi yang doyan tampil di mana saja dan kapan saja, secara relatif Nayado—yang saya tahu—diterima dengan baik di semua strata sosial-kemasyarakatan (dan budaya) di Bolmong, terlebih di KK.

Karena itu, di tahap Pilwako KK 2018 saat ini (per Desember 2017), tantangan bagi bacalon Walikota pesaing Tatong adalah: membuktikan bahwa bacalon Wawali yang mereka pilih minimal sama atau jauh lebih baik dari Nayodo. Menggandeng yang kualitas krebilitas dan integritasnya lebih rendah, sama artinya dengan membuat Pilwako KK 2018 sekadar ‘’pura-pura kompetisi’’ atau ‘’kompetisi pura-pura’’. Hanya membuang-buang energi orang banyak dan biaya dari uang pajak rakyat.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; Bacalon: Bakal Calon; Bappilu: Badan Pemenangan Pemilu; BMR: Bolaang Mongondow Raya; DPD: Dewan Pengurus Daerah; Hanura: Hati Nurani Rakyat; LP: Lembaga Pemasyarakatan; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; KTP: Kartu Tanda Penduduk; PAN: Partai Amanat Nasional; PD: Partai Demokrat; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; PG: Partai Golkar; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); PKB: Partai Kebangkitan Bangsa; TPAPD: Tunjangan Pendapatan Aparatur Pemerintahan Desa; UU: Undang-undang; dan Wawali: Wakil Walikota.