Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, December 31, 2017

Bikin Musuh Cara ‘’Jadi Kotamobagu’’

SANTAP siang saya bersama sejumlah kerabat dan karib, Jumat, 29 Desember 2017, berlanjut dengan percakapan ringan penuh lelucon. Salah satunya adalah fragmen-fragmen lucu (boleh juga disebut dungu) saat KPU KK melakukan verfak balon independen Pilwako 2018, Jainuddin Damopolii-Suharjo Makalalag.

Kata cerita, tersebutlah saat didatangi Tim Verfak, ada seorang ustadz di Kotabangon yang kendati tetap dengan santun, terang-terangan menyemburkan kekesalan sebab KTP dan tanda tangannya dicatut. Kisah tak jauh beda muncul di Motoboi Kecil dari seorang ibu yang ‘’kebetulan’’ bekerja sebagai tenaga kebersihan harian lepas di Pemkot KK. Mengetahui KTP-nya digunakan untuk dokumen dukungan bakal calon independen, dengan tanda tangan yang dipalsu, sang ibu kontan naik pitam: ‘’Babarani dorang heh! Ba tanda tangan yang bukan dorang pe tanda tangan.’’

Kami, majelis makan siang yang bersantap terlambat—jauh setelah sholat Jumat selesai—terkial-kial membayangkan dialog ‘’kaki menendang tengkuk’’ antara Tim Verfak KPU KK dan orang-orang yang KTP serta tanda tangannya dicatut dan dimanipulasi itu. Kontestasi politik praktis memang bukanlah lomba baca Al Qur’an yang haram tercemar muslihat; tetapi curang dengan cara yang malas dan bodoh jelas adalah komedi berimplikasi pidana.

Teruntuk dua warga KK (dan anggota masyarakat lain) yang identitasnya dicatut dan tanda tangannya dipalsukan, saya menyarankan: jangan takut dan segan mengambil langkah hukum. Pencatutan dan pemalsuan itu bukan sekadar tindak pidana (umum dan Pemilu), tetapi secara substansial adalah pelecehan terhadap salah satu hak hakiki Anda sebagai warga negara.

Perut kenyang, hati gembira. Usai saling sahut dan berbagi cerita, saya—bersama anak bungsu—bermobil bersama dua kawan sebab ada sedikit urusan yang mesti dibereskan di Kobo Besar. Karena kebetulan melewati Kantor KPU KK yang sedang menggelar pleno verfak; juga sebab—terus-terang—penasaran dengan ‘’iklan klaim’’ ada 1.000 pendukung balon Jainuddin-Suharjo yang bakal show of force dukungannya, saya meminta kawan yang menyetir agar mampir sejenak-dua di Kantor KPU.

Beberapa saat setiba di halaman Kantor KPU KK, pleno di-skorsing. Saya yang berada di halaman kemudian disambangi beberapa karib dan kenalan, juga ber-hai-hai dengan komisioner KPU dan anggota Panwaslu yang memang bukan sosok-sosok asing buat saya. Bahkan salah seorang komisioner, Amir Halatan, sempat bertukar cerita dan lelucon bersama saya; Kabag Ops Polres Bolmong, Kompol Effendy Tubagus; dan beberapa orang yang kebetulan berada di pelataran Kantor KPU KK.

Tak dinyana, Sabtu pagi, 30 Desember 2019, akun fb ‘’Jadi Kotamobagu’’ mengunggah foto di momen bincang-bincang di halaman Kantor KPU KK itu, lengkap dengan komentar sinis menyindir kehadiran beberapa orang, termasuk saya yang di-framing seolah-olah sungguh peduli terhadap balon independen (yang—lagi-lagi—diklaim) fenomenal, Jainuddin-Suharjo. Ketika unggahan—dan komentar-komentar yang mengikutinya—itu diperlihatkan, reaksi pertama saya adalah takjub terhadap kebodohan pengelolanya.

Bila ‘’Jadi Kotamobagu’’ adalah media kampanye mendukung Jainuddin-Suharjo (baik resmi dan disetujui pasangan ini maupun sekadar inisiatif para pendukung mereka), sejatinya dia adalah wahana untuk menarik sebanyak mungkin simpati dan pemihakan. Sinisme, sindiran, apalagi framing seolah-olah pujian yang sebenarnya mengandung makna mengecilkan, tak dapat persepsi lain kecuali provokasi permusuhan yang terang-terang, Tegasnya, buat saya, unggahan akun ‘’Jadi Kotamobagu’’ itu adalah pernyataan separasi terang-terangan: kami adalah kami, kalian adalah kalian yang di manapun dan kapanpun harus dipandang dengan kecurigaan politik derajat gawat.

Baiklah! Secara pribadi saya bersimpati dan berempati terhadap Jainuddin Damopolii. Hubungan kami sangat baik, hingga dalam dua tahun terakhir, setiap kali bersua, saya tidak sungkan (apalagi takut) secara terbuka menyatakan dukungan terhadap niatnya menjadi salah satu kontestan Walikota KK di Pilwako 2018. Tapi setelah ungahan akun ‘’Jadi Kotamobagu’’ (yang tampaknya memang adalah salah satu alat komunikasi resminya) itu, saya mesti menghaturkan maaf, bahwa: Sekalipun saya tetap mendukung pencalonannya sebagai Walikota KK; namun sejak hari ini dan seterusnya saya pasti akan memilih pasangan Tatong Bara-Nayodo Kurniawan.

Jainuddin mungkin adalah pribadi yang matang, santun, meng-orang tua, dan tahu persis bagaimana mesti bermasyarakat. Namun, dalam konteks Pilwako KK dan akun fb ‘’jadi Kotamobagu’’ sebagai salah satu alat politiknya, dia keliru memilih pendukung seiring. Saya—dan siapapun orang Mongondow di KK yang cukup waras politik—tidak mungkin duduk satu meja dengan para kodok berusia muda (atau tua sekalipun tetapi cuma punya otak datar), yang enteng dan tanpa hormat mengomentari sesiapa yang dianggap atau dicurigai tak berada dalam kelompok yang sama dengan sinisme ‘’simpit’’.

Manusia dengan otak dan laku kodok—membangun tempurung dan mendekam di dalamnya sembari berilusi inilah dunia sesungguhnya—mutlak mesti hormati karena menjadi cermin yang menjaga kewarasan dan keawasan orang-orang yang sadar dan tahu diri. Itu sebabnya, saya sama sekali tidak tersinggung di-framing sebagai ‘’pihak sebelah’’ yang hadir Kantor KPU KK saat pleno verfak ‘’sebagai mata-mata’’, ‘’simpit’’, serta macam-macam sinisme dan pengecilan lainnya. Apalagi berulang kali di blog ini saya telah men-disclosure, memangnya siapa saya? Saya hanya salah seorang dari ratusan ribu orang Mongondow yang lahir dan besar di Kotamobagu, yang sedapat mungkin punya perhatian dan keterlibatan terhadap kewajiban, hak, dan hajat publik.

Pilwako adalah kewajiban, hak, dan hajat umum. Siapapun yang terpilih sebagai Walikota-Wawali KK di Pilwako 2018 nanti, pasti bukan sosok paling ideal, apalagi setara malaikat. Karena Pilwako adalah konstestasi politik, pendukung para kandidat pun bakal tak bisa dicegah akan saling menjegal, menjatuhkan, merendahkan, bahkan menghina. Tapi yang seperti itu adalah ahlak para pengecut pandir dan nir kreativitas; bukan ahlak saya dan (barangkali) sedikit orang yang menyadari betul, di atas politik ada pikiran, cita-cita, dan praktek yang semestinya luhur.

Olehnya saya menolak bersentuhan, apalagi berhubungan dan kemudian diasosiasikan dengan sosok-sosok dan kelompok politik murahan. Memang tidak berarti selama ini, di tengah dinamika politik BMR, saya telah berasosiasi dengan tokoh-tokoh publik dan politik yang 100% lurus atau kelompok yang dijamin tak terbantahkan berperilaku etis dan cerdas; tetapi setidaknya saya tahu persis saya masih berada di lingkaran mereka yang tahu atau dapat diberitahu mana yang cukup dan yang melewati batas.

Dengan menghatur maaf yang sangat, saya berterima kasih pada akun ‘’Jadi Kotamobagu’’. Sinisme dan framing mengecilkan yang diunggah itu sesungguhnya telah menyelamatkan saya dari kekeliruan semata karena simpati, empati, dan belas kasih. Juga membebaskan saya untuk turut menggunakan hak ‘’orang simpit’’ demi terpilihnya Tatong Bara-Nayado Kurniawan sebagai Walikota-Wawali KK di Pilwako 2018.

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Balon: Bakal Calon; BMR: Bolaang Mongondow Raya; fb: Facebook; Kabag Ops: Kepala Bagian Operasional; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; KTP: Kartu Tanda Penduduk; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); Verfak: Verifikasi Faktual; dan Wawali: Wakil Walikota.