Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, December 31, 2017

Memverifikasi Syawat Berkuasa

In politics, nothing happens by accident. If it happens, you can bet it was planned that way (Dalam dunia politik, tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, Anda bisa bertaruh itu direncanakan seperti itu).

Franklin D. Roosevelt (1882-1945)

TERSEBAB tensi politik Pilwako 2018, kata ‘’verifikasi’’ mendadak mengarusutamai wacana di seantero KK dan bahkan BMR. Kata ini, yang dikandung akronim vermin dan verfak, memang laris manis bersama mendaftarnya bakal calon independen, pasangan Jainuddin Damopolii-Suharjo Makalalag, saat KPU KK membuka tahapan Pilwako.

Vermin? Verfak? Apa lagi ini? Tapi tak usah pura-pura heran. Indonesia adalah salah satu negeri produsen akronim paling kreatif di dunia. Termasuk mengakronimkan sesuatu yang sudah akronim. Tak beda dengan luka di atas luka. Misalnya, ABRI yang adalah ‘’Angkatan Bersenjata Republik Indonesia’’ diakronimkan lagi menjadi AMD dalam ‘’ABRI Masuk Desa’’.

Sesuai tahapan Pilwako, oleh KPU KK di-vermin-lah dokumen dukungan terhadap Jainuddin-Suharjo. Konon (demikianlah yang saya simak dari lalu-lalang bual-bual publik dan pemberitaan media; dan sebab KPU menyatakan dokumennya adalah ‘’rahasia’’) terdapat sekitar 10.000 pernyataan (pribadi dan kolektif) yang dilampiri KTP, yang sukarela dan sukaria mendukung pasangan bacalon ini.

Melihat UU dan turunannya, di tahapan vermin ini KPU (mudah-mudahan bahasa Indonesia yang mereka kuasai cukup memadai), benar-benar paham definisi dan arti ‘’verifikasi’’. Jikalau khilaf atau dengan sengaja mem-bloon-bloon-kan diri, saya ingatkan, KKBI menyatakan verifikasi adalah ‘’pemeriksaan tentang kebenaran laporan, pernyataan, perhitungan uang, dan sebagainya.’’ Ibaratnya, seorang WNI yang akan berkunjung ke Eropa memerlukan visa, dan karena itu dia harus memenuhi persyaratan administratif (minimal): Paspor, KTP, KK, Rekening Bank, dan undangan/dokumen yang menunjukkan kepentingannya mengunjungi negara yang dituju.

Dokumen pemenuhan syarat administratif itu mesti disampaikan ke Kedutaan/Konsulat negara yang bersangkutan. Salah satu dokumen tak terpenuhi, otomatis gugurlah sudah proses pengurusan visa yang dilakukan. Dokumen yang dinyatakan lengkap kemudian di-vermin apakah keterangannya bersesuaian, tanda tangan seragam, foto tak mencurigakan, dan sebagainya. Hasil vermin, ditindaklanjuti dengan verfak, yakni mengundang pemohon visa untuk diwawancara demi memastikan kebenaran permohonannya dan dokumen yang digunakan sebagai pendukung.

Merunut logika yang demikian (dan memang harus demikian!), langkah awal adalah KPU KK menerima dokumen dukungan calon independen Jainuddin-Seuharjo, yang terdiri dari formulir KWK (entahlah huruf ini adalah akronim atau sekadar penanda, sebab KPU tidak pernah secara lengkap menjelaskan apa ‘’KWK’’ ini, kecuali bahwa dia adalah serangkaian jenis formulir) dan KTP sebagai lampirannya. Lalu, dilakukan vermin, di mana KPU memeriksa apakah dokumen terkait ini benar adanya: termasuk benarkah manusia yang KTP dilampirkan adalah penduduk KK, masih hidup dan bermukim di KK, dan identitas serta pendukungnya (terutama tanda tangan) cocok satu dengan yang lain.

Berdasar ‘’pemeriksaan tentang kebenaran itu’’, sejatinya KPU KK sudah dapat memberi catatan dokumen mana yang secara administratif ‘’benar’’, ‘’meragukan’’, atau ‘’tidak benar’’. Sekalipun KPU berlindungan pada aturan internal bahwa dokumen dukungan calon independen bersifat rahasia, hasil vermin ini wajib diketahui publik. Minimal dimaklumatkan bahwa hasil vermin menemukan terdapat sekian suara yang ‘’MS’’ dan sekian yang ‘’TMS’’.

KPU KK telah melakukan kewajiban itu, walau yang saya simak di media cukup simpang siur. Yang jelas, pasangan ini memenuhi syarat untuk dilanjutkan ke tahapan verfak.  Secara pribadi, dengan memohon maaf, saya sebenarnya berpendapat hasil yang diumumkan KPU KK adalah omong kosong besar. Simpulan subyektif ini dikongklusi dari proses berpasangannya Jainuddin-Suharjo yang hanya kurang dari hitungan sepekan sebelum keduanya mendaftar sebagai kandidat independen.

Telah menjadi pengetahuan umum, bahwa sebelum Suharjo Makalalag, pasangan yang dipilih Jainuddin Damopolii adalah Nasrun Koto. Dengan adanya perubahan dalam waktu singkat terhadap bertumpuk-tumpuk formulir yang sudah disiapkan, maka hanya ada tiga kemungkinan: 1) Formulir yang ditanda-tangani  oleh para pendukung sebelumnya masih mengosongkan nama bakal calon Wawali; 2) Dalam waktu singkat tim yang mendukung pasangan Jainuddin-Suharjo bekerja amat sangat keras menemui seluruh pendukung untuk melakukan perubahan; dan 3) Dokumen yang disetorkan ke KPU KK patut diduga penuh manipulasi dan pemalsuan.

Wilayah KK tergolong kecil untuk ukuran sebuah kota. Apa yang sedang terjadi salah satu sudut KK di wilayah Barat, tak memerlukan waktu lama diketahui hingga kutu-kutunya di kawasan terujung di Timur. Ditambah lagi teknologi komunikasi saat ini, nyaris tak ada satu pergerakan politik (apalagi massif seperti pengumpulan KTP dan tanda tangan) yang bisa dilakukan dengan ‘’umum, bebas, dan rahasia’’.

Karenanya, yang terhormat para komisioner KPU KK, verfak—apapun panduan dan aturan yang digunakan KPU—, (sekali lagi) adalah ‘’memeriksa tentang kebenaran’’. Orang-orang yang dikunjungi KPU (melalui organnya di tingkatan kecamatan dan desa/kelurahan) bersama Panwaslu dan organ di bawahnya pula, memastikan ‘’secara nyata’’ wujud catatan ‘’benar’’, ‘’meragukan’’, atau ‘’tidak benar’’ hasil vermin yang dilakukan. Termasuk apakah formulir dan KTP yang dilampir diperoleh sebagaimana seharusnya atau hasil tipu-tipu belaka.

Verfak yang berlangsung 12-25 Desember 2017 terbukti menemukan banyak ‘’TMS’’ yang akhirnya pada Pleno KPU KK, Jumat, 29 Desember 2019, membuat jumlah dukungan minus 87.

Mengiringi pengungkapan temuan dalam Pleno KPU, selama verfak berlangsung, warga KK diriuhi keberatan karena KTP yang disalahgunakan (misalnya yang dikumpulkan dengan alasan bantuan ini-itu), tanda tangan yang dipalsukan, dan hal-hal sumir lainnya yang bersifat tindak pidana (umum dan Pemilu). Media (lagi-lagi) melaporkan, keberatan yang berhamburan itu bukan sekadar datang dari satu-dua orang, tetapi kelompok besar yang bahkan menyampaikan penarikan dukungan secara terbuka—sebab memang tak pernah menyatakan dukungannya.

Tentang tidak pidana ini, terutama jika itu penyalahgunaan KTP (identitas pribadi yang juga adalah dokumen negara) dan tanda tangan, tidak perlu puluhan orang atau ratusan—apalagi ribuan—orang yang keberatan. Cukup dua-tiga orang yang solid dengan keberatannya, maka ancaman hukuman pidana sudah mengintai serombongan orang. Termasuk KPU KK dan Panwaslu, apabila dua lembaga ini mengabaikan fakta-faktanya.

Lebih celaka lagi, keberatan dua-tiga orang tersebut, jika ditindaklanjuti dengan saksama, sangat mudah menggugurkan perlindungan ‘’dokumen kerahasian’’ yang menjadi alasan KPU KK menyimpan rapat-rapat daftar penyokong pasangan Jainuddin-Suharjo. Ilustrasinya adalah: Jika Anda memiliki rekening bank, wajib hukumnya bank melindungi rekening dan identitas pemiliknya. Tetapi ketika pemilik rekening terjerat tindak pidana yang berkaitan dengan rekeningnya, adalah wajib bagi bank membuka seluas-luasnya akses orang/lembaga/institusi yang berwenang terhadap rekening dimaksud.

Dengan tetap mengambil jarak dan menghormati semua pihak yang berada di pusat pusaran Pilwako KK 2018 (Jainuddin Damopolii adalah sosok yang sedapat mungkin saya sambangi setiap berada di KK; Suharjo Malalalag tak lain kawan lama yang masih terus berhubungan; dan seluruh Komisioner KPU serta Ketua dan anggota Panwaslu KK bukanlah orang-orang yang asing secara pribadi dengan saya), menurut hemat saya, drama politik bakal calon independen ini mesti segera dihentikan.

Jika benar ikhtiar bakal calon independen ambil bagian dalam Pilwako adalah demi kemaslahatan KK, maka semestinya dilakukan dengan penuh martabat, etis, dan jujur. Senyampang dengan itu, KPU dan Panwaslu KK juga wajib mendudukkan mereka yang mengajukan diri sebagai bakal calon pasangan independen di tempat terhormat dengan menunjukkan tanggung jawab dan kinerja profesional. Lain soal kalau bakal calon pasangan independen itu semata-mata mengejar syawat kekuasaan; dan KPU serta Panwaslu KK cuma operator hajat politik Pilwako yang bekerja dengan keuntungan pribadi atas nama negara dan orang banyak.

Sayangnya, sejauh ini, tendensi yang saya cermati lebih bertitik-berat pada pemenuhan syawat kekuasaan yang ditukangi para pengibul; dengan operator sekadar robot yang melalaikan kepentingan publik dan substansi demokrasi.***

Singkatan dan Istilah:

ABRI: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; AMD: ABRI Masuk Desa; Bacalon: Bakal Calon; BMR: Bolaang Mongondouw Raya; KK: Kota Kotamobagu/Kartu Keluarga; KPU: Komisi Pemilihan Umum; KTP: Kartu Tanda Penduduk; MS: Memenuhi Syarat; Panwaslu: Panitia Pengawas Pemilu; Pemilu: Pemilihan Umum; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); TMS: Tidak Memenuhi Syarat; Verfak: Verifikasi Faktual; Vermin: Verifikasi Administrasi; dan Wawali: Wakil Walikota.