Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, November 8, 2016

''Oyu'on Pa Dega' In Oya', Opuyu, Pikiran, Bo Batol Naton Komintan?''

TANPA angin dan hujan, Senin, 7 November 2016, tiba-tiba saya dikirimi artikel lengkap bertajuk BER-1 DAN BER-SaTu yang ditulis Pitres Sombowadile. Rupanya artikel itu diunduh dari fb sebab didahului pernyataan, ''Ini tulisan saya yg muncul di halaman 1 Harian Bolmong Fox Selasa tgl 2 Nov 2016.''

Sepintas saya menyimak dan sebenarnya agak tak berminat menuntaskan tulisan itu. Pitres, sekalipun saya kenal baik, bukan penulis yang cakap dan enak dibaca. Dia cuma merasa bisa menulis. Sejauh yang saya tahu, belum pernah ada satupun opini atau analisisnya yang lolos dan dipublikasi media yang jadi tolok ukur nasional semacam Kompas atau Tempo. Mau banting-banting badan atau melolong-lolong, ya, kualitasnya memang sebegitu saja.

Tulisan yang dikirimkan itu kian tak menarik sebab dia mengawali dengan paparan tentang makna angka, numerologi, dengan merujuk jagad pikir, budaya, tradisi, bahkan contoh dari Barat dan Cina. Lalu, dia masuk pada konteks Pilkada Bolmong, tentang angka hasil undian nomor urut pasangan calon, dikaitkan dengan akronim nama mereka yang mendekati persepsi tentang angka.

Penulis yang baik adalah yang mampu membangun argumen kokoh. Numerologi Barat dan Cina digunakan sebagai fondasi membahas angka dalam jagad pikir, adab, budaya, tradisi, dan laku(lebih khusus lagi politik) Mongondow, tanpa sama sekali menyentuh numerologi orang Mongondow, jelas Ayu Ting Ting. Salah alamat. Orang Mongondow, dengan darah-daging kultur agraris dan pengaruh Islam yang kuat, punya numerologi sendiri yang masih dianut, dipercayai, dan dirujuk hingga kini.

Namun, sudahlah. Saya maklum. Tiap even politik Pitres memang selalu butuh perhatian. Apalagi jika peristiwa politik itu melibatkan sosok-sosok tertentu yang menjadi target perhatiannya. Hatta karena profesinya sebagai ''konsultan politik'', budayawan, atau apalah yang dia anggap keren untuk diaku-aku.

Lalu, saya tiba di alinea, ''Maklum karena pasangan Yasti-Yanni sejak saat pendaftaran di KPU sudah kadung mengasosiasikan dirinya dengan akronim atau simbol Y2 (dibaca 'Ye Dua'). Simbol Y2 memang sepantasnya dipilih oleh tim Yasti-Yanny, karena akronim 'YaYa' akan potensial diplesetkan ucapannya menjadi YaYa' (dari frase 'bure yaya' yang bermakna negatif dalam kosa kata bahasa Mongondow).'' Saya terjengkit membaca keseluruhan kalimat-kalimat ini. Saya yakin Pitres dengan sadar, sombong (dia jenis orang yang pantang mengaku salah sekalipun seluruh bukti sudah ditimpakan di kepala), dan sok tahu menuliskan alinea ini; terutama bagian yaya' dan bure yaya, yang saya tahu secara implisit dan eksplisit melecehkan jagad pikir, adab, budaya, tradisi, dan laku sehari-hari orang Mongondow; dan bahkan setiap orang Mongondow yang bernama, dipernama, atau mendapat nama Yaya.

Pembaca, penutur bahasa Mongondow atau mereka yang ''menjadi Mongondow'' tahu persis beda yaya dan yaya' (tanpa dan dengan satu tanda petik di akhir kata). Khatam di mana, kapan, bagaimana, dan untuk apa penggunaannya. Paripurna bahwa banyak kata Mongondow yang maknanya sangat tergantung pada tekanan tertentu di salah satu-dua huruf atau di akhir kata. Apalagi yaya umum digunakan sebagai nama atau penamaan. Di tiap kampung di Mongondow mudah menemukan orang yang disapa ''Yaya'' (sebab bernama Soraya atau Sahaya, kemudian dipendekkan menjadi panggilan akrab), ''Ina' i Yaya'' (ibunya Yaya), ''Ama' i Yaya'' (ayahnya Yaya), ''Ba'ai i Yaya'' (neneknya Yaya), ''Aki i Yaya''.

Lebih kongkritnya, mertua Wawali KK, Jainuddin Damopolii, populer dikenal sebagai ''Ama' i Yaya'' atau ''Papa Yaya'', sebab putri tertuanya, Soraya, memang disapa dengan panggilan kecil Yaya. Adakah yang berani memelesetkan sapaan itu, keluarga paling dekat sekalipun, dengan alasan apapun? Terlebih bila itu sapaan untuk ''Ba'ai i Yaya'', yang akronimnya kebetulan BY, sama dengan kata tabu yang dinukil Pitres. Saya kira, hanya orang gila yang sudah 100% kehilangan akal yang sudi melakukan. Namun taruhannya adalah perkelahian yang melibatkan bukan hanya marga, tetapi klan, dan ada leher yang bakal dipenggal.

Akan halnya yaya' (dengan satu tanda petik di akhir kata), adalah serapah dalam bahasa Mongondow, yang kalaupun digunakan sebagai candaan, hanya untuk kalangan yang benar-benar akrab dan sepantaran; atau yang mengucapkan lebih tua dari yang menerima ucapan. Yaya' juga kata yang berdiri sendiri dan jika disanding menjadi frasa atau kalimat, pengertiannya akan berlipat. Misalnya, ''Yaya' sin dongka topolik bo modapot bidong''; ''Yaya'-mu sin pinotaba' yo dia' bi' inaidan.''

Tatkala padankan dengan bure, kata makin lain dalam khasanah bahasa Mongondow, pengertiannya menjadi berlipat-lipat. Dalam jagad pikir, adab, budaya, tradisi, dan laku keseharian Mongondow, frasa ini digunakan dengan sangat hati-hati karena pengertiannya sebagai makian di atas makian.

Rekam jejak Pitres menunjukkan, sudah lama dia tampak selalu ''gatal'' dengan keterlibatan Yasti Soepredjo Mokoagow dalam dinamika politik di Sulut umumnya dan BMR khususnya. Di setiap kesempatan dia mencari celah mengusik Yasti, terlebih jika ada kepentingan pribadinya yang tak kesampaian. Pembaca, ingat dengan dongeng yang pernah saya tuliskan di blog ini? Orang dalam ''dongeng'' itu adalah Pitres Sombowadile. Dan apa yang telah dituliskan bukan karang-karangan karena saya mendengar langsung dari mulut orang yang terlibat.

Dalam konteks Pilkada Bolmong, sejak mula (dan ini saya tahu persis) pasangan Yasti-Yanny tidak pernah mengakronimkan nama mereka menjadi Y2 atau YaYa. Mereka konsisten menggunakan Yasti-Yanny. Tapi jikapun Cabup-Cawabup ini memilih YaYa, tidak berbeda dengan pilihan ''Ama i Yaya'' memanggil anak tertuanya, Soraya, dengan Yaya sebagai sapaan sayang. Orang Mongondow di Kabupaten Bolmong bukan barbar liar, walau sebagian besar barangkali adalah petani, nelayan, dan pekebun. Tidak akan ada satu orangpun yang melintaskan di kepalanya pelesetan yaya', bure yaya (Pitres menulis 'bure yaya' --makian untuk yaya--, bukan bure yaya'--makiannya makian), apalagi bure yaya' untuk YaYa atau Yaya. Sebab kalau itu dilakukan, oyu'-on bi' in siba-sibaton nami komintan.

Saya menyadari betul bahaya pelecehan yang dilakukan Pitres terhadap jagad pikir, adab, budaya, tradisi, dan laku sehari-hari orang Mongondow; Cabup-Cawabup Yasti-Yanny; atau siapapun yang bernama, dipernama, atau mendapat penamaan ''Yaya'' di Mongondow. Saya tahu bahwa tulisannya bisa mengipasi kemarahan yang berujung SARA. Dia bukan orang Mongondow, bukan pengguna dan penutur bahasa Mongondow; tidak pula paham adab, budaya, tradisi, dan laku sehari-hari Mongondow; lalu dengan enteng dan sesukanya melangkah melewati batas yang dapat ditoleransi.

Karenanya, dengan niat baik saya kemudian menelepon dia, menjelaskan, dan menyarankan untuk menarik tulisan itu; atau setidaknya menghilangkan satu-dua kata yang tak pada tempatnya. Apapun motif yang dikandung pikirannya, sekalipun dengan alasan posisinya netral aktif (sekali lagi, melihat rekam jejak Pitres di Bolmong, alasan itu omong kosong belaka), dia harus sadar ada tabu-tabu yang diharamkan di wilayah yang dia tak ketahui benar karena cuma dimasuki demi kepentingan cari makan. Mongondow, lipu' in Mogoguyang nami, tonga' bi' tampat-mu motayak kon ka'-anon. Yo na'ai-pa kumalakuang.

Dengan alasan sibuk rapat, Pitres menjanjikan akan mengontak saya selepas magrib. Tidak usah heran kalau janjinya adalah dandi in kalow. Hingga saya beristirahat lepas tengah malam, tak ada kabar, apalagi telepon dari dia.

Harian Bolmong Fox sebagai pihak yang pertama menyiarkan tulisan itu justru lebih tanggap. Tanpa sungkan PU-nya, Sugianto Babay, dan Pemred, Toni Damopolii, menelepon dan mendiskusikan bagian mana dari tulisan yang mereka publikasi yang melewati batas tabu-tabu Mongondow. Setelah saya runut dan jelaskan, hari ini (Selasa, 8 November 2016),  harian ini mengumumkan menarik tulisan itu dan meminta maaf pada ketidaknyamanan pembacanya. Saya kira, apa yang mereka lakukan patut diapresiasi. Media boleh silap. Menelisik, mempelajari, dan mengoreksi jika ditemukan ada kekeliruan adalah tindakan yang sangat terhormat dan terpuji.

Sebaliknya, Pitres yang saya kontak lewat SMS untuk mengingatkan bahwa tulisan itu masih tetap dipajang di fb-nya, menjawab: ''Kita so periksa tulisan itu dari perspektif netralitas tidak ada yang perlu dibesar-besarkan.'' O, baiklah! Jadi jagad pikir, adab, budaya, tradisi, dan laku sehari-hari orang Mongondow bukan urusan besar? Anda boleh mempermainkan dan setelah itu selesai? Ketidaksukaan Anda, bahkan niat jahat, terhadap salah satu pasang Cabup-Cawabup di Pilkada Bolmong 2017 yang dibungkus spekulasi (dalam bahasa yang tabu dalam adab Mongondow) dapat dibenarkan sebab itu cuma permainkan kata dan kalimat?

Sombong dan tidak punya otak. Sebagai orang Mongondow, saya tidak bicara Pilkada, pasangan calon, netralitas orang yang hidupnya tergantung order satu politikus ke politikus lain, atau tetek-bengek politik. Saya bicara tentang tabu yang dilanggar orang luar yang datang mencari makan di Mongondow. Yang melepeh dan meleceh jagad pikir, adab, budaya, tradisi, dan laku sehari-hari orang Mongondow.

Anda pikir kalimat ''Simbol Y2 memang sepantasnya dipilih oleh tim Yasti-Yanny, karena akronim 'YaYa' akan potensial diplesetkan ucapannya menjadi YaYa' (dari frase 'bure yaya' yang bermakna negatif dalam kosa kata bahasa Mongondow'' bukan perendahan terhadap orang Mongondow? Anda, dengan otak bejad, meletakkan pikiran hanya setinggi perut, bukan orang Mongondow pula, punya izin dari mana menyamakan langit adab kami dengan cara berpikir Anda?

Orang Mongondow adalah bangsa yang santun, lucu, senang bermain-main, suka mengalah, dan guyub, sepanjang sesuatu yang dijunjung tak dipermainkan dan disepelekan. Pelecehan terhadap jagad pikir, adab, budaya, tradisi, dan laku sehari-hari orang Mongondow yang adalah identitas yang tak bisa ditawar, sama dengan mengundang perang. Ingat, Pitres, Anda yang memulai.

Saya tidak bermaksud memprovokasi. Tapi sesiapapun orang Mongondow yang kemudian dengan cermat mempelajari apa yang dituliskan Pitres Sombowadile, membawanya ke alam pikir dan laku Mongondow, dan tidak tersinggung karena merasa direndahkan, dilecehkan, dengan spekulasi, maka: aka bobay in sia, yo dia' bidon ko oya' bo ko opuyu. Aka lolaki, yo dia' dong ko pikiran bo ko batol. Jika demikian, izinkan saya bertanya, ''Intau Mongondow, kita komintan ta kon Mongondow, oyu'on pa dega' in oya', opuyu, pikiran, bo batol naton?''

Terhadap perendah dan peleceh alam pikir dan laku Mongondow, terlebih dia bukan dan tidak punya kaitan dengan buta' in Mogoguyang tana'a, orang Mongondow punya cara sendiri menyelesaikan: duya'an, tokapon, untunon, sibaton, sampai patoi-on. Sekali lagi, ingat, ini tentang harkat dan martabat sebuah bangsa. Kita na'a in dia' bi nopandoi, ta' na'ai-pa intau bi' iba-nea in mamangoi bo monom-pompulong koi naton, sin totok moko oya' ule-a.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; FB: Facebook; KK: Kota Kotamobagu; Pemred: Pemimpin Redaksi; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; PU: Pemimpin Umum; SARA: Suku Agama Ras dan Antar Golongan; SMS: Short Message; Sulut: Sulawesi Utara; dan Wawali: Wakil Walikota.