Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, November 5, 2016

Tabur Bunga KPU Bolmong untuk Kubur Amanah Demokrasi Kesatuan RI

KETUA KPU RI, Juri Ardiantoro, berkunjung ke Bolmong, Jumat, 4 November 2016. Acara utama lawatannya adalah Raker dan Konsolidasi Penyelenggaraan Pilkada Bolmong 2017 yang dihelat di Balai Pertemuan Umum Yadika, Kopandakan II, Kecamatan Lolayan. Hadirinpun bersesak, termasuk para pejabat daerah dan Cabup-Cawabup yang berkompetisi.

Raker dan konsolidasi yang dituanrumahi KPU Bolmong itu semestinya biasa belaka. Yang jelas, itu acara resmi. Persiapan penyelenggaraannya tentu serius, termasuk tetek-bengek hingga hal-hal terkecil. Di Mongondow, mintahang menyambut Ramadhan saja dilaksanakan dengan sungguh-sungguh mengerahkan sumber daya dan energi, apalagi raker dan konsolidasi yang mengundang ribuan orang.

Yang saya ikuti dari pemberitaan dan laporan pandangan mata mereka yang hadir, helatan KPU Bolmong itu sukses jaya. Para komisioner dan jajarannya harus mendapat tepuk-tangan, bahkan jika perlu dilengkapi cipika-cipiki. Jika mereka mampu mempertahankan kinerja kinclong, tak perlu segan-segan diusulkan dan didukung kembali untuk masa bakti periode berikut.

Tapi, tunggu dulu, ada ketidaksempurnaan yang sangat mengganggu yang tampaknya luput—atau sengaja diluputkan—di tengah gebyar raker dan konsolidasi itu. Padahal pemandangannya mencolok di depan mata: baliho yang dipajang di Gedung Yadika. Barangkali karena paras Ardiantoro yang cukup ganteng mendominasi, hingga yang melihat silap bahwa terdapat dua kesalahan genting yang dicantum: (1) Sapaan bahasa Mongondow, Dega’ Niondon; dan (2) Kata ‘’mengembang’’ di dalam kalimat ‘’Semoga sukses dalam mengembang amanah Demokrasi Kesatuan Republik Indonesia’’.

Ihwal baliho keliru sebenarnya bukan kabar baru di Indonesia. Seingat saya, pada 2011, sebuah baliho di Tangerang Selatan, Banten, pernah bikin geger sebab kesalahan fatal pembuatnya. Baliho yang jadi pokok soal itu memuat gambar Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, dan lambang partai dengan tulisan besar: ‘’Selamat Menunaikan Ibadah Puasa 1 Syawal 1432 H’’. Siapapun pemeluk Islam tahu, puasa dimulai pada 1 Ramadhan dan 1 Syawal adalah Idul Fitri.

Heboh-heboh sejenis bertebaran di internet. Pembaca, Googling sendiri dan temukan bagaimana kesalahan (tak termaafkan) penempatan keliru satu kata yang mengubah pengertian seluruh kalimat ke arah sebaliknya. ‘’Jauhi Narkoba! Hide Drug!’’ yang ditemukan di salah satu baliho Pemda bekerja sama dengan Polres, pasti berarti, ‘’Jangan dekat-dekat dengan Narkoba. Sembunyikanlah Narkoba.’’ Ini kampanye atau tips and trick?

Beberapa kesalahan di baliho (atau spaduk), bahkan bisa ‘’bikin gila’’ mereka yang mengerti. ‘’Free Wife’’ harus diartikan apa kecuali ‘’Istri Gratis’’; bahasa Inggris belepotan seperti ‘’Welcom Turist, We Spik Inglish’’ ditujukan untuk pelancong dari negara mana; dan gado-gado semacam ‘’Sopan Santun Ciri Orang Berilmu, Bookish People Characteristic Manner’’ yang harus dimaknai bagaimana?

Baliho dan spanduk seperti itu bukan hanya menguji kecerdasan, tapi juga mempertebal iman. Melihat dan membacanya membuat kita mendoakan semoga yang membuat dalam keadaan sehat wal’afiat. Dengan bertawakal kita terhindar dari membentur-benturkan jidat di tembok dan melolong mirip serigala birahi melihat sinar purnama.

Mendoakan KPU Bolmong pula yang saya lakukan ketika membaca Dega’ Niondon di baliho raker dan konsolidasi itu. Mengenai ucapan selamat datang yang umum digunakan, terutama di baliho, spanduk, aneka materi komunikasi Pemda kabupaten/kota di BMR ini, dengan keterbatasan saya dalam penguasaan bahasa Mongondow, memang sudah lama menjadi tanda tanya besar di benak. Apa memang frasa ini akurat dijadikan kalimat penyambut tamu yang kita undang atau yang kita tahu pasti akan datang berkunjung?

Barangkali penempatannya di baliho KPU Bolmong sudah tepat, sama sahihnya dengan tradisi yang dibudayakan di kalangan pemerintahan di BMR. Namun, bagaimana dengan sifat dega’ yang sehari-hari digunakan sebagai kata bantu bermakna tak pasti. Coba letakkan niondon berdiri sendiri; kemudian padankan menjadi dega’ niondon; lalu balik menjadi niondon dega’.

Niondon sebagai kata yang diucapkan tanpa padanan lain berarti ‘’so ada ‘’, ‘’sudah tiba’’, dan sejenisnya. Dega’ niondon, bagi pengguna bahasa Mongondow yang fasih, digunakan untuk menyatakan ‘’so ada katu‘’ atau ‘’ternyata sudah ada’’; tanpa diduga sebelumnya. Sedang niondon dega’ menegaskan (dengan sopan) ‘’so ada’’, ‘’sudah tiba’’, dan sejenisnya.

Untuk menguji tesis itu, bagaimana kalau kita cermati penggunaan dega’ sehari-hari dalam konteks yang lain. Misalnya, dega’ ikolom, dega’ sia, dega’ sapi atau dega’ dimbolu’, di mana dega’ jelas menunjukkan ketidakpastian. Kita lanjutkan dengan membalik menjadi ikolom dega’, sia dega’, sapi dega’, atau dimbole dega’, tampaklah bahwa makna frasanya tetap mengandung ketidakpastian tetapi lebih tegas.

Demi menghindari kebingungan (atau barangkali hanya saya yang linglung), mohon kesediaan para tetua dan pengguna fasih bahasa Mongondow menegaskan yang mana yang sebaiknya digunakan. Cukup niondon, dega’ niondon, atau niondon dega’? Ini demi menghindari tafsir keliru tamu yang justru diundang dan ditunggu-tunggu, ternyata kehadirannya justru mengejutkan.

Selesai dengan dega’, kita usut kata ’’mengembang’’. Melihat konteksnya, saya menduga kata yang seharusnya adalah ‘’mengemban’’ yang berarti ‘’melaksanakan (tugas, cita-cita, kewajiban, dan lain sebagainya)’’, hingga kalimat lengkapnya menjadi ‘’Semoga sukses dalam melaksanakan amanah Demokrasi Kesatuan Republik Indonesia.’’

Akan halnya ‘’mengembang’’, di KKBI kata ini berasal dari ‘’kembang’’ yang diartikan: (1) buka lebar, bentang; dan (2) bunga. Kalau pengertian pertama yang dirujuk, maka ‘’mengembang’’ berarti ‘’membuka lebar’’ atau ‘’membentang’’. Sedang jika pengertian kedua yang digunakan, maka ‘’mengembang’’ tak lain dan bukan (1) menjadi sebagai kembang (bunga); dan (2) meletakkan bunga di kubur. Pengertian kedua, poin 2, ini benar-benar mendirikan bulu kuduk kalau dibaca dalam kalimat utuh baliho KPU Bolmong: ‘’Semoga sukses dalam meletakkan bunga di kubur amanah Demokrasi Kesatuan Republik Indonesia.’’

Apa maksud KPU Bolmong? Pilkada Bolmong 2017 adalah kubur amanah Demokrasi Kesatuan Republik Indonesia? Dan kedatangan Ardiantoro dalam raker dan konsolidasi pesta demokrasi ini adalah untuk menabur bunga di kuburannya?

Masak iya kalimatnya adalah ‘’Semoga sukses dalam membuka lebar amanah Demokrasi Kesatuan Republik Indonesia’’; ‘’Semoga sukses dalam membentang amanah Demokrasi Kesatuan Republik Indonesia’’; atau ‘’Semoga sukses dalam menjadi bunga amanah Demokrasi Kesatuan Republik Indonesia’’?

Wahai para komisioner KPU Bolmong, mohon sisihkan anggaran untuk beli KKBI atau KUBI. Tolong baca-bacalah kitab yang jadi kompas bahasa Indonesia ini. Sebab terserah nasib kalau cuma Anda berlima dan jajaran KPU Bolmong yang tersesat, tapi ‘’menyumpahi’’ seorang Ketua KPU RI menjadi penabur bunga di di kubur amanah Demokrasi Kesatuan Republik Indonesia, benar-benar tindakan yang tak bisa ditolerir. Kalian semua mestinya harus dibawa ke hadapan DKPP dan disidang dalam tempo sesingkat-singkatnya dan secermat-cermatnya.

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; DKPP: Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu; H: Hijriah; KBBI: Kamus Besar bahasa Indonesia; KPU: Komisi Pemilihan Umum; KUBI: Kamus Umum Bahasa Indonesia; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pemda: Pemerintah Daerah; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Polres: Kepolisian Resor; RI: Republik Indonesia; dan Raker: Rapat Kerja.