Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, November 30, 2016

Dugaan Pencabulan dengan Kekerasan Gaya Kabid ''Gabet'' di KK

PERISTIWA yang saya tuliskan ini baru diketahui di lingkungan terbatas. Melibatkan pejabat publik, juga seorang tokoh (tepatnya ketua) organisasi pemuda di KK, yang karena kebodohan dan ketakmampuan menahan diri, terpeleset mengaborsi karir birokrasi, sosial, dan politik-kemasyarakatannya yang tengah moncer.

Kisah yang saya yakin sebentar lagi bakal jadi gegar di BMR ini bermula pada Selasa, 29 November 2016. Pejabat publik, ASN yang menduduki kursi kabid di salah satu dinas teknis di KK, ini mengajak seorang siswi PSG meninjau sebuah proyek di Moyag. Semestinya ini urusan biasa. Kabid membimbing siswi yang praktek kerja, menunjukkan proyek terkait dengan bidang ilmu yang dipelajari anak perempuan usia 16 tahun yang ''dititip'' di dinasnya, adalah keniscayaan umum. Sekalipun dalam mobil yang digunakan hanya ada Kabid dan siswi PSG itu.

Tapi, ceritanya mendadak menikung. Di jalan, diiringi hujan yang mengguyur KK dan wilayah sekitar, Kabid melancar aksi kreatif ala om-om senang. Entah dengan alasan apa, dia terus-menerus menggengam tangan siswi PSG ini. Padahal mereka berdua ada di dalam mobil dan siswi PSG itu sudah akil baliq untuk mampu mengurusi tangannya sendiri.

Bukan hanya itu, usai menengok proyek yang ditinjau, Kabid meniupkan tawaran maut: mampir mengudap jagung dulu, kemudian jalan-jalan berdua. Dengan tangan yang tetap menggenggam lengan, dia menunjukkan gelagat dan manuver yang kian membuat ngeri anak perempuan ini.

Takut, panik, dan gemetar, siswi PSG itu mati-matian menolak iming-iming dan tawaran Kabid gabet ini dan menuntut segera pulang. Lewat ponsel, dia mengirim pula pesan ke teman lelaki dan ibunya. Apa boleh buat, pelajar yang ternyata seusia--bahkan pernah bersekolah bersama-- salah satu putri Kabid, sekitar pukul 14.00 Wita akhirnya diturunkan di salah satu ruas jalan di Kelurahan Gogagoman.

Akan halnya Kabid, mungkin karena panik, menambah daftar kesalahan dengan menjejalkan uang ke tas siswi PSG itu. Nilainya pun bukan sekadar ''pengganti ongkos bentor'' atau traktiran makan siang atasan yang peduli pada pelajar magang, sebab mencapai lebih Rp 700 ribu (termasuk selembar Rp 2 ribu).

Begitu terbebas, siswi yang ketakutan ini menghambur menemui ibunya, yang bersegera mengontak salah seorang tantenya. Mereka lalu menemui ayahnya, yang kebetulan sedang bekerja, lengkap dengan seragam instansi yang membawahi dia. Mendengar cerita dan melihat lengan putrinya yang memar membiru akibat digenggam sepenuh nafsu, ayah yang terguncang dan murka ini bersigegas menuju kantor dinas tempat Kabid berkantor.

Tak menemukan yang diburu, ayah-ibu-anak dan keluarga yang menyertai langsung menemui Kadis. Di depan Kadis, siswi PSG yang bahkan sudah berniat tak lagi meneruskan magangnya ini mengisahkan hingga detil bagaimana Kabid melancarkan jurus (yang eksplisit-impisit) mesumnya.

Tunggu dulu! Sebelum kita terpeleset menghakimi, mari diuji apakah yang terjadi antara Kabid dan siswi PSG itu adalah niatan; bukan sekadar insiden karena khilaf. Pertama, Kabid hanya mengajak terduga korban seorang untuk meninjau proyek. Artinya, jika bukan hanya siswi PSG itu yang ada di tempat dan tidak sedang disibukkan pekerjaan yang dilatihkan; maka memang sejak mula ada niat tertentu yang dikandung dalam otak Kabid.

Kedua, biru memar di tangan siswi terduga korban akibat genggaman Kabid. Ada beberapa kemungkinan: kulitnya memang sensitif; Kabid menggenggam terlampau kuat dan lama; atau akibat upaya melepaskan diri dari genggaman Kabid. Pertanyaannya: dengan alasan apa tangannya mesti digenggam? Di dalam kendaraan pula. Mereka berdua kan tidak sedang menyeberang jalan, meniti jembatan bambu, atau berdiri melongok ke dasar jurang di salah satu ruas jalan di Moyag.

Dan ketiga, apa maksud pemberian uang senilai lebih Rp 700 ribu yang dipaksa dimasukkan ke dalam tas siswi PSG itu? Kabid yang barangkali tengah terujung itu lambat menyadari, uang itu menjadi bukti ada perbuatan tertentu yang ingin ditutup-tutupi. Memangnya ke putri sendiri, yang setahu saya salah satunya sepantaran dengan terduga korban, sekali memberi uang jajan Kabid mengangsurkan jumlah sedemikian, sekalipun dia punya duit melimpah?

Karenanya, pantas jika malam harinya keluarga siswi PSG itu kemudian melaporkan dugaan pencabulan dengan kekerasan oleh Kabid yang juga tokoh organisasi pemuda di KK ini ke Polres Bolmong. LP yang terkonfirmasi bernomor STTLP/981.a/XI/2016/Sulut/Res BM, langsung ditindaklanjuti dengan visum et repertum terhadap terduga korban. Maka resmilah Kabid yang semestinya membawa-bawa sisir buat menggaruk bagian yang gabet dari tubuhnya jadi terduga tindak pidana. Terhadap anak perempuan di bawah umur mengingat usianya yang masih di kisaran 16 tahun.

Cilaka 13. Ancaman hukuman terhadap dugaan pencabulan terhadap anak-anak, apalagi dengan kekerasan, tergolong berat. Di lain pihak, Kabid yang tak kuat menahan nafsu terujungnya itu juga harus menghadapi MKE. Melihat keseriusan Pemkot KK menegakkan etika, disiplin, dan profesionalisme ASN, hampir pasti sidang MKE mendahului selesainya penyidikan di Polres Bolmong. Bahkan jikapun ada upaya sungguh-sungguh agar masalah ini diselesaikan di luar jalur hukum, Kabid sial ini tetap harus berhadapan dengan MKE.

Penegakan etika memang belum tentu sejalan dengan penegakan hukum. Setiap pelanggaran hukum sudah pasti melanggar etika. Namun, tidak semua pengingkaran etika adalah perbuatan melawan hukum. Sebagai sebuah aib, peristiwa itu adalah arang yang mencoreng kening Pemkot KK dan seluruh jajarannya. Menggerus kepercayaan bahwa lingkungan dinas, instansi, dan lembaga pemerintah di kota ini adalah tempat yang aman dari perudung seksual.

Dalam soal etik, disiplin, dan profesionalisme ASN, dugaan kasus yang melibatkan Kabid itu mirip dengan perkara yang kini merudung Kabag Ekonomi Pemkot KK, Ham Rumoroi. Menurut pendapat saya, kendati mungkin ada maaf-maafan dan penyelesaian kekeluargaan di antara para pihak yang terlibat, MKE tetap harus menyindangkan kasusnya hingga selesai dan menyampaikan rekomendasinya. Tentu bukan sekadar teguran lisan, seolah-olah masalah seperti dua jenis kasus ini setara dengan seorang ASN kedapatan buang air kecil di balik rimbunan semak di tanah kosong sekitar pusat kota KK.

Yang pasti, dua kasus yang berturutan melibatkan elite di Pemkot KK itu cukup membuat kepala Walikota dan Sekkot berdenyut lebih cepat. Khusus Kabid yang kini dijerat ulahnya sendiri, saya prihatin dan menyesalkan. Dia telah membunuh karir birokrasi, sosial, juga politik-kemasyarakatannya. Siapa lagi yang mau diasosiasikan dengan terduga pencabul, dengan kekerasan pula? Apalagi jika dalam proses hukum dugaan ini terbukti kebenarannya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Gabet: Gatal Bete; Kabag: Kepala Bagian; Kabid: Kepala Bidang; Kadis: Kepala Dinas; KK: Kota Kotamobagu; MKE: Majelis Kode Etik; Pemkot: Pemerintah Kota; Polres: Kepolisian Resor; PSG: Praktik Sistem Ganda; Sekkot: Sekretaris Kota; dan SMK: Sekolah Menengah Kejuruan.