Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, November 2, 2016

Bagaimana Menyikapi Tulisan di ''Kronik Mongondow''?

Pengantar:
Tulisan tamu kali ini, dari Shandry Anugerah, diunggah setelah perenungan dan konsultasi dengan beberapa orang. Bukan sebab idenya buruk atau bahasanya jelek, melainkan karena kandungannya yang beririsan dekat dengan ego saya sebagai pemilik Kronik Mongondow. Sungguh kikuk membaca pujian, sekalipun implisit. Narsisme bukan tabiat yang saya sukai, apalagi lakukan. Namun, saya sajikan juga dan Anda, para pembaca, sila menikmati dan menakar sendiri.

Oleh Shandry Anugerah
Pendiri Rumah Belajar Saung Layung Arus Balik

DUA pekan belakangan, di tengah kekhusyukan menanam bibit pohon cokelat sembari menikmati mistisitas musim penghujan, BBM saya berkali-kali menerima pesan berantai yang berisi sebuah link blogspot. Padahal biasanya pesan berantai yang sering saya terima, hanya berisi promosi untuk mengundang pertemanan ABG krisis eksistensi yang gemar mengoleksi teman di kontak BBM. Yang bahkan setelah kita berteman kemudian kita menyapa mereka, maka jangan berharap chat kita akan dibalas. Mungkin ia hanya akan membacanya, kemudian membuat status “sorry ee, ndak balas chat orang tak dikenal. Sedang Nabi cuma dapa suru bacalah, bukan balaslah.

Namun pesan kali ini berbeda. Sebuah link lengkap dengan sepenggal epigram satire, serta judul tulisan yang sarkastik dan provokatif. Nama blog itu adalah Kronik Mongondow (selanjutnya ditulis KM). Dan seperti yang tercantum di biodata admin, blog tersebut dikelola oleh Katamsi Ginano, diperjelas dengan foto sang empu blog tengah berpose di salah satu jembatan di kota Amsterdam, Belanda.

Pesan-pesan berantai itu disiarkan oleh beberapa teman yang berprofesi sebagai wartawan di Bolmong. Semua terlibat dan melibatkan diri dalam karnaval tulis-lapor yang gegap gempita itu. Sehingga menjadi daya tarik tersendiri untuk segera menyingkap gerangan apa yang sebenarnya diributkan di blog Kronik Mongondow? Yang mencuri perhatian rekan-rekan di dunia jurnalistik.

Apakah itu kabar tentang kiamat yang semakin dekat ? Saya membuka link blog tadi dengan tergesa-gesa dan membaca dengan tergesa-gesa pula. Mencari-cari substansi dari tulisan yang ada di layar Android. Sejenak dua jenak ternyata kiamat memang sudah dekat. Tapi bukan untuk saya, pun bagi beberapa kawan yang menyiarkan pesan tersebut.

Sembari bersyukur, saya putuskan untuk melanjutkan membaca di rumah saja. Karena banyak pekerjaan yang kadung dimulai dan harus diselesaikan sore ini. Terlebih ayah terus memanggil dengan bibit pohon cokelat berayun di kedua tangan, “Mari jo somo ba tanam, sadiki le somo ada bulan!’’ Saya khawatir bibit-bibit tadi akan berganti sandal atau batu kerikil, jika saya tak acuh dan terus melanjutkan bacaan. Rapuh jemari mengusap layar Android berganti lengan kokoh menghujamkan linggis. Kabut-kabut penasaran berganti bulir-bulir harapan.

Di rumah, saya kembali membuka link blog KM dan mulai membaca dengan saksama. Saya hendak melacak benang merah konflik yang terjadi, baik melalui media sosial, portal berita online hingga “bergosip” dengan beberapa teman yang ada di kontak BBM.

Sampai akhirnya saya mulai paham persoalan yang sedang hangat itu. Tentu berdasarkan dengan perspektif dan preferensi saya sebagai subjek. Namun setelah membaca beberapa seri tulisan yang diunggah di KM, saya mulai melirik hal lain dari tulisan Katamsi Ginano. Saya tidak lagi tertarik dengan ending dari konflik yang melibatkan dia dan Audy Kerap, Ketua PWI Kota Kotamobagu, setidak-tertariknya saya pada kedondong yang disodorkan tetangga saat saya tengah melahap durian montong. Mau berakhir ironi atau bahagia, itu urusan personal mereka. Dan menurut saya, kita harus berdiri di garis terluar.

Mengapa kita harus berada di garis terluar ? Tentu agar kita bisa merefleksi tulisan Katamsi tentang anomali-anomali yang terjadi di Bumi Totabuan secara objektif dan proporsional. Menguliti bentuk-bentuk ketidak-adilan dan kesemena-menaan yang terjadi, hampir di setiap lapisan sosial kemasyarakatan. Bukan sekadar ikut berkoar demi memuaskan hasrat superior kita: bahwa kita ada di pihak yang benar dan yang berseberangan sudah pasti keliru.

Ketika Katamsi mengkritik seseorang, kita serta merta membenci orang tersebut. Padahal, berkali-kali Katamsi menjelaskan bahwa dia bukan mengkritik personal, namun karena jabatan publik yang tersemat pada orang tersebut. Seperti pengidap neurossis obsesional, kita tertawa bahagia melihat nasib Audy Kerap, yang diserang habis-habisan dan mulai berandai seperti apa dia terpuruk nantinya.

Semakin dia di-bully, semakin puaslah kita ketagihan dengan penderitaan orang lain. Tanpa disadari kita terjebak dalam kebanggaan absurd: puas hanya dengan menikmati bagian paling aksidentil dari sebuah tulisan. Semoga si Bapak Psikoanalisis, Sigmund Freud, mau memaklumi. Maklum semaklum-maklumnya.

Padahal, jika jeli, kita bisa belajar banyak hal dari tulisan-tulisan Katamsi; belajar bersikap kritis, membedah masalah, menganalisa, menulis hingga belajar merdeka sejak dalam pikiran. Peradaban semakin cepat menggelindingkan kita. Maka sudah sewajarnya, kita butuh orang waras di tengah kegilaan kehidupan urban yang kian hari kian pelik. Apalagi jika eksistensi mahasiswa tidak lagi sanggup mengemban tugas sebagai agent of change dan social of control. Dan kritik Katamsi bukan sekadar doktrin terima jadi. Karena ia selalu menyertakan solusi yang berbeda-beda di setiap persoalan yang ia angkat.

Saya tertarik dengan konstruksi berpikir dan kemampuan agitasi dari pemilik blog KM. Logikanya yang sistematis, argumentasi yang kuat dan ditopang oleh wawasan yang luas. Seperti yang selalu didengungkan Subcomandante Marcos dari pedalaman hutan Chiapas, Meksiko: kata adalah senjata. Maka blog KM sebenarnya adalah sebuah wadah kognisi bagi kita yang gelisah dengan fenomena penindasan atas nama perubahan. Mari melawan dengan kata-kata.

Jika kita menyimak dengan mengajak serta nalar kritis kita untuk mendedah, maka dalam tulisan Berita ''Picek'', Ditulis Si Tuli, Mengutip Sumber Bisu dan Linglung, bermaksud menjelaskan bahwa analisa tajam dan komprehensif diperlukan dalam menerjemahkan sebuah peristiwa. Sehingga konklusi tidak bias dari inti persoalan sebenarnya.

Tulisan Daganglah Kacang, Jangan Menulis, Apalagi Bikin Situs Berita dan Kursus Singkat Pencemaran Nama Baik untuk Ketua PWI KK, mengajarkan kita tentang bagaimana melakukan counter isu, menghegemoni pembaca dengan pesan-pesan konstruktif dan yang paling penting, ia melakukannya dengan gaya. Pun dengan tulisan-tulisan lainnya yang jelas mencerminkan bahwa ia memiliki perspektif berbeda dengan kebanyakan orang. Ia menggunakan gaya berfikir Janusian disertai logika-logika terbalik.

Kemampuan itu, yang pasti membuat kita memeras otak hingga tetes terakhir jika berada di sisi yang berseberangan dengan dia (Katamsi). Apalagi jika ia menjadi lawan tarung dalam berdebat. Saya sempat membayangkan jika kita berada dalam satu ruangan dengan Katamsi, kemudian seseorang mengajukan pertanyaan: “Kawan-kawan, 2 itu hasil dari mana?” Maka kita akan kompak dan gampangnya menjawab, “Dari hasil 1 + 1.” Sedangkan Katamsi, dengan santainya berseloroh: “100 - 98, 4 : 2, atau 2 x 1.

Kita tentu bersepakat bahwa setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru. Maka blog KM dan Katamsi adalah bagian yang tak lepas dari peribahasa di atas. Banyak pengetahuan baru yang bisa diserap dari kritikan serta opini yang ia tuliskan. Dan sudah barang tentu, pencapaian tertinggi dari ilmu pengetahuan adalah ketika memberi nilai manfaat bagi orang lain.

Maka mari terus membaca sembari mendengarkan lagu Hey Jude dari The Beatles!***