Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, November 15, 2016

Kamus Itu Rujukan, Bukan Anutan

SAWALA, jika dilakukan dengan pikiran terbuka dan tanpa niat jahat, selalu membawa banyak pencerahan dan pengetahuan baru. Sebelum kita lanjut, ''sawala'' bukan bahasa asing. Dalam bahasa Indonesia baku artinya adalah ''debat''; ''bantah''; dan ''diskusi''.

Dari diskusi pula, yang tampaknya dihampar di salah satu rumah kopi di KK tentang ihwal kata dan bahasa, Minggu sore (13 November 2016) saya diciprati pertanyaan, ''Yang benar apakah 'wali kota' atau 'walikota'?'' Yang melontarkan pertanyaan ini adalah kawan wartawan berusia muda yang belakangan ini kerap diskusi daring dengan saya.

Pertanyaan itu, jika dirujuk ke KBBI (cetak--khususnya terbitan sebelumnya 2016--dan online), pasti hasilnya adalah ''wali kota'' dengan penjelasan: ''kepala kota madya; kepala wilayah kota administratif''. Di dokumen-dokumen negara, misalnya UU No. 23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah, penulisannya juga konsisten dengan KBBI.

Faktanya, di tingkat praktis, katakanlah yang kita sesap dari sumber publik, khususnya media arus utama seperti Kompas dan Tempo, akan ditemukan versi berbeda. Kompas menggunakan ''wali kota'', sedang Tempo menggunakan ''walikota''. Menurut kawan itu, ''Yang benar adalah Kompas.'' Saya, sambil tertawa mengatakan, ''Demikian kata KBBI. Tetapi saya menggunakan 'walikota' sebagaimana yang dipakai Tempo.''

Alasan saya sederhana. KBBI bukan barang statis. Setiap beberapa tahun kitab ini diperbaharui dengan penambahan kata baru, pengertian baru dari kata lama, atau perubahan penulisan kata (penggabungan, pemisahan, dan sebagainya). Musababnya, dalam berbahasa, praktek selalu berada jauh di depan dibanding pengkamusannya (kata ini juga bisa diperdebatkan apakah ''pengamusan'' atau ''pengkamusan''). Dengan hilangnya status kota madya dan kota administratif, menyisahkan ''kota'' saja, maka semestinya ''wali kota'' yang adalah kepala pemerintahan yang jadi perpanjangan tangan (atau pengganti), disesuaikan menjadi ''walikota''. Tidak berbeda dengan ''wali kabupaten'' atau ''wali provinsi'' yang mendapatkan predikat ''bupati'' atau ''gubernur''.

Dengan menggunakan ''walikota'', akronim ''wakil walikota'' juga sejalan dengan penggunaan umum saat ini, yakni ''wawali''. Jika setia pada ''wali kota'' maka ''wakil wali kota'' selayaknya ditulis ''wawako'', sebab ''wawali'' tak lain dan bukan adalah ''wakil wali''. Wali yang mana?

Tapi, saya ingatkan pada kawan yang bertanya itu agar tak menjadikan penjelasan saya sebagai rujukan, terlebih anutan. Rujuklah kamus dan anutlah ikhtiar terus mencari tahu dan memperbaharui ilmu dan pengetahuan bahasa. Lebih baik mengulik apa alasan Tempo menggunakan ''walikota'' alih-alih ''wali kota''. Dengan begitu banyak ahli bahasa di kelompok media ini, pasti dalilnya sangat ilmiah dan sahih.

Saya juga mengingatkan, ikhtiar penggunaan bahasa adalah upaya yang tak henti berkembang. Kamus sebagai rujukan amatlah penting, tetapi kita juga tak boleh tertinggal terhadap kovensi-konvensi baru yang belum terakomodasi dalam kamus. ''Gawai'' sebagai padanan gadget, misalnya, belum masuk dalam KKBI dan KUBI, tetapi para ahli bahasa sudah menyepakati pemadanan ini. Demikian pula dengan ''pengokot'' sebagai peng-Indonesia-an stapler.

Urusan ''wali kota'' dan ''walikota'' selesai, Senin siang (14 November 2016) saya diperhadapkan lagi dengan kata, bahasa, dan kamus. Kali ini tentang bahasa Mongondow, khususnya berkenaan dengan Kamus Belanda-Mongondow yang ditulis Pendeta W. Dunnebier. Tanpa mengaitkan dengan konteks apapun, saya mengemukakan, tidak ada salahnya kamus yang ditulis Dunnebier (orang-orang yang membahas sejarah Bolaang Mongondow paling sering berkiblat ke nama ini) dijadikan salah satu rujukan bahasa Mongondow. Tapi mohon dicamkan, bahasa Belanda dan Mongondow awal abad 20 tentu sudah berkembang jauh di abad 21 ini; dan kamusnya adalah Belanda-Mongondow, bukan Mongondow-Belanda.

Hal lain yang mesti diindahkah, bagi pengguna bahasa Indonesia dan bahasa Mongondow, menerjemahkan Kamus Belanda-Mongondow dari periode 1904-1938 (masa Dunnebier bermukim di Passi) pasti bukan main rumit dan peningnya. Siapapun penerjemahnya harus benar-benar menguasai bahasa Belanda dan Mongondow di masa itu, serta bahasa Belanda, bahasa Mongondow, dan bahasa Indonesia di masa kini. Ditambah lagi jika dikontekskan pada separasi dialek bahasa Mongondow antara pengguna yang bermukim, katakanlah, di wilayah Passi dan Lolayan (masa itu dan masa kini). Dan yang terpenting, bahasa dalam kamus, terlebih yang out of date, pasti sudah tertinggal jauh dalam rasa dan nuansa berbahasa masa kini.

Kemudian saya teringat dan bertanya, ''Tapi dalam konteks apa kok tiba-tiba ada urusan dengan Kamus Belanda-Mongondow dari Dunnebier itu?'' Jawabannya membuat saya terbahak-bahak, sebab rupanya berhubungan dengan tulisan Pitres Sombowadile yang terakhir mampir ke gawai saya, tetapi dapat dipastikan tak akan pernah saya baca. Saya kian terkikik-kikik karena kawan yang memperhadapkan isu kamus ini menyarankan, ''Sebaiknya Abang membaca tulisannya biar tahu kandungan pesannya dengan baik.''

Senyatanya, dengan tetap menempatkan pokoknya bukan sebagai masalah antar pribadi, saya sudah capek dengan urusan menanggapi Pitres Sombowadile. Kian banyak dia menulis, berkilah ihwal penggunakan identitas budaya Mongondow (YaYa, yaya', dan bure yaya ) yang melecehkan Mongondow, semakin nampak dia cuma orang bodoh menyedihkan yang bersusah payah menggaruk-garuk alasan supaya tak kehilangan muka. Termasuk narsisme seolah-olah tanpa dia langit Mongondow bakal runtuh. Padahal, apa sih prestasinya?

Mengumpulkan kutipan tentang masa lalu Mongondow, memberi sampul dan judul, lalu sudah absah merasa sejarawan atau budayawan yang khatam daerah ini? Anak SMP juga bisa. Sekadar ikut membahas RKA Kabupaten Bolmong dianggap sumbangsih maha dasyat terhadap Mongondow, apalagi sebutannya kalau bukan keblinger. Dia' ko-oya'.

Biasa jo kua'! Kalau cuma tanding-tadingan ego, Pitres cemen belaka. Berapa banyak buku kelas literatur yang dia punya? Mari adu dengan koleksi saya (80% sudah saya baca) yang kini mengisi ber-rak-rak buku di empat tempat (tiga rumah dan satu perpustakaan kantor). Saya juga menulis buku yang bahkan sejak 2006 jadi salah satu rujukan utama teori dan praktek CSR di Indonesia. Tanpa gembar-gembor, bertahun-tahun (hingga saat ini) saya menyusun kebijakan, strategi, rencana, anggaran, kemudian mengawasi, mengevaluasi, dan mengukur dana jutaan dolar milik korporasi multinasional dengan operasi skala benua. Orang Mongondow juga pintar-pintar dan hebat-hebat, Bung! Cuma kami malu menegakkan kepala seperti keledai. Tidak pula butuh tepukan dan sanjungan pelipur lara karena galau dan krisis identitas. Nenek moyang kami mengajarkan: Ko-oya' sin moko-oya' aka dia' ko-oya-oya'.

Sudah jelas dia bukan orang Mongondow, tak paham bahasa Mongondow, tak genah budaya Mongondow, bukan budayawan (cuma stel budayawan), dan persentuhannya dengan wilayah dan bangsa Mongondow semata karena ''cari makan'', eh, masih pula kumalakuang. Bahkan tatkala ditunjukkan dari akar hingga ujung daun kekeliruannya, tak jua berubah kesombongan dan sok tahunya. Ah, ada orang bodoh yang masih dapat diselamatkan; tapi tampaknya tidak untuk Pitres.

Maka sebaiknya kita kembali saja ke kamus Dunnebier. Literatur ini penting sebagai bukti sejarah atau rujukan (minimal identifikasi kata Mongondow). Namun, bahasa Mongondow sebagai identitas dan produk kebudayaan Mongondow yang terus berkembang tidak boleh dipenjara oleh masa lalu. Akan tetapi, walau budaya dan bahasa berkembang pesat, tetap ada falsafah, nilai-nilai, dan norma sebagai substansi yang belum bergeser.

Mau menggunakan kamus Dunnebier, kamus Ginupit, atau kamus alay ala generasi milenium Mongondow, o-aheran belum berubah arti dan makna. Sama dengan bure atau yaya' yang di dalam kamus statis belaka tetapi ketika diucapkan oleh para penuturnya (native), sejak dahulu kala hampir dipastikan untuk cacian. Bahkan kata yang netral sekalipun, semisal nanam (rasa), tatkala diucapkan di konteks, nuansa, dan tekanan tertentu bisa berarti cacian. Hanya mereka yang menggunakan bahasa ini, meresepi sebagai bagian dari jati dirinya, yang tahu persis bagaimana selayaknya dia diperlakukan.

Keterbatasan lain dari kamus, yang karena bersifat statis, gagal menangkap ekspresi dengan menggunakan kata tak bermakna tetapi penting yang umum ditemukan. Hai (dengan tekanan tertentu) sebagai ekspresi terkejut, heran, atau marah yang umum diucapkan orang Mongondow di wilayah Passi atau walio di Lolayan, sama persis posisinya dengan ''O'' (ekspresi maklum) dan ''Ih'' (ekspresi jijik, tak suka) yang tak bakal ditemukan di KBBI maupun KUBI.

Karenanya, sebagaimana kamus Indonesia, selayaknya kamus Mongondow juga sekadar rujukan belaka. Pengguna bahasa Mongondow atau mereka yang ingin menggunakan bahasa ini, semestinya merujuk kamus dengan menganut pengetahuan dan pemahaman bahwa sebagai produk kebudayaan dia tak lepas dari induknya: budaya Mongondow. Lain soal jika bahasa Mongondow digunakan dengan pengetahuan dan pemahaman budaya ular, budaya sapi, atau budaya kecoak. Pasti penggunanya bukan orang Mongondow.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; CSR: Corporate Social Responsibility; KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia; KK: Kota Kotamobagu; KUBI: Kamus Umum Bahasa Indonesia; RKA: Rencana Kerja dan Anggaran; SMP: Sekolah Menengah Pertama; dan UU: Undang-undang.