Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, November 6, 2016

Oknum KPU Bolmong dan Merajalelanya Kebodohan

NASIHAT sederhana, amat sederhana, saya terima bertahun lampau yang lalu tertanam bagai paku menembus papan di ingatan. Padahal, sang pemberi nasihat, seorang tentara yang kemudian masuk ke sektor bisnis, jadi eksekutif perusahaan papan atas (salah satu yang terbesar di dunia untuk sektornya), cuma mengatakan, ‘’Jika kamu ingin jadi pintar, maka bergaulah dengan para orang pintar. Jika ingin kaya, berkaumlah dengan mereka yang kaya.’’

Hingga hari ini saya masih berhubungan baik dengan lelaki tua itu, seorang asing yang memutuskan memilih Indonesia sebagai negeri hari tua tenangnya. Hampir setiap ada kesempatan saya menyambangi rumahnya, sarapan atau makan siang bersama, menonton ikan-ikan koi peliharaannya di kolam halaman belakang, dan merentang bual-bual dari politik-ekonomi global hingga fluktuasi harga jambu klutuk di Pasar Ciluar Bogor.

Saya selalu mengingat ajarannya sembari dengan berani memasuki ruang sosial orang-orang pintar. Masya Allah, bergaul dengan mereka memang membuat otak berkilau. Percakapan yang remeh-temehpun terasa bernas. Bahkan lelucon dan humor-humor mereka benar-benar jadi makanan rohani. Bukan sekadar terbahak-bahak sebab mempergunjingkan isi rok mini atau sialnya orang yang terpeleset kulit pisang.

Nasihat itu mengantar saya bersosialisasi, membangun pertemanan dengan para eksekutif dan orang berpunya. Dari mereka saya belajar tentang kerja keras, kesungguhan melakukan sesuatu, juga berbagi—sebab yang berpunya mudah punya keluangan berbagi lebih dari sekadar doa dan kalimat, ‘’Sabar jo neh.’’ Dari nasihat kecil—yang tak semegah congor motivator Mario Teguh yang sedang apes karena kebohongan publik—itu, saya memilih berkomunitas dengan orang-orang baik, melampas ilmu, kebiasaan, dan kebisaan manusia yang beradab dan punya adab.

Maka, tatkala melihat, mendengar, dan mengalami merajalelanya kebodohan (ditunjang kesombongan dan kekeraskepalaan) di Mongondow hari-hari terakhir ini, saya ingin menukil kembali nasihat itu. Barangkali ada gunanya buat oknum wartawan seperti Audy Kerap, Oktavianus Singal, atau bahkan komisioner KPU Bolmong, Deandels Sombowadile.

Deandels Sombowadile? Ya, dan karena saya punya bukti-bukti, mudah-mudahan penyebutan namanya bukan kesilapan, terlebih dugaan pencemaran nama baik. Tapi kebodohan dalam urusan apa? Ini dia: penggunaan ‘’mengembang’’ di baliho Raker dan Konsolidasi Penyelenggaraan Pilkada Bolmong 2017 yang jadi isu di tulisan Tabur Bunga KPU Bolmong untuk Kubur Amanah Demokrasi Kesatuan RI yang diunggah di blog ini, Sabtu, 5 November 2016.

Rupanya, ‘’mengembang’’ yang keliru itu sudah dipersoalkan oleh beberapa jurnalis yang bergabung dalam forum bual-bual, Crew Tuanggoy, di mana Deandels juga turut berhimpun. Bukannya bersegera mencari kamus, berkonsultasi pada yang paham urusan bahasa, dalam forum Deandels berkilah semangat ‘’mengembang’’ (atau justru keseluruhan kalimat ‘’Semoga sukses dalam mengembang amanah Demokrasi Kesatuan Republik Indonesia’’?) ada di Mars Pemilu. Bahwa yang dicantumkan dalam baliho, termasuk ketololan diletakkannya kata itu, disadur dari web KPU RI. Sudah bodoh, bebal, mencatut pula dengan tak tahu malunya.

Peneliti dari Perludem, Catherine Natalia, pernah menulis artikel Sejarah Mars Pemilu Tanpa “Pilkada” yang antaranya dipublikasi KPU Kabupaten Kepulauan Meranti (http://kpu-merantikab.go.id/2015/05/sejarah-mars-pemilu-tanpa-pilkada-oleh-catherine-natalia.php), mengungkap sejak 1955 hingga 2014 setidaknya tercatat ada empat mars/jingle Pemilu. Di antara semua mars/jingle itu, hanya yang digunakan di zaman Orba yang mengandung kata ‘’emban’’, lengkapnya di frasa: ‘’Pengemban Ampera yang setia.’’ Di luar itu, eksplisit dan impisit, saya tidak menemukan ‘’pengemban’’ atau ‘’mengemban’’, apalagi semangat ‘’membuka lebar’’, ‘’membentang’’, ‘’menjadikan bunga’’, pula ‘’menabur bunga di kubur’’ di mars/jingle Pemilu. Deandels jelas mengarang-ngarang.

Di situs KPU RI, ketika ditelusuri, hanya terdapat satu entry yang berkaitan dengan kata mengembang, yaitu Laporan Hasil Penelitian/Survey Pengaruh Money Politic Terhadap Daya Pilih Masyarakat di Kabupaten Tabalong yang ditulis Ismail, SE., MM (http://www.kpu.go.id/koleksigambar/Tabalong_Kalsel_money_politic.pdf). Itupun, setelah dicermati, kalimat di mana kata ‘’mengembang’’ tercantum, ‘’Bawaslu lebih jeli lagi dan perspektif serta konsisten dalam mengembang tugasnya sebagai pengawas, sehingga Politik Uang ini tidak menjadi pilihan sebagai sarana terpilihnya suatu kandidat baik pemilihan tingkat desa, kabupaten, provinsi, maupun nasional.’’, tampaknya hanya dipahami oleh sang penulis seorang. ‘’Mengembang’’ di kalimat ini salah ketik, kelebihan vitamin ‘’g’’, dan keseluruhan rangkaian kata-katanya lebih gampang dimaknai sebagai paparan omong kosong ketimbang karya ilmiah.

Selain pengarang yang buruk, Deandels juga pendusta yang payah. Kemana pikirannya ketika mencatut mars/jingle Pemilu dan membawa-bawa web KPU RI sebagai alasan membenarkan kebodohan berjamaah KPU Bolmong yang komisionernya bekerja kolektif dan kolegial? Memangnya orang-orang yang melihat baliho itu sama terbelakang dan percaya begitu saja pada ocehan yang nilainya setara kentut, sekalipun itu datang dari seorang komisioner KPU?

Saya mulai meragukan kompetensi para komisioner KPU Bolmong, yang semestinya diisi orang-orang yang kredibiltasnya dapat dipertanggungjawabkan. Kinerja mereka belakang ini seperti produk orang linglung sebab mamang biji balacai. Termasuk dalam pemilihan maskot Pilkada Bolmong 2017, tuanggoy, yang entah dihasilkan dari pertimbangan apa, sayembara kapan, rembukan dengan siapa, atau mungkin dipetik dari pohon nantu entah di mana.

Dalam bahasa Mongondow tuanggoy adalah penggambaran (bukan penamaan, sekalipun kerap kemudian jadi nama untuk Maleo) unggas (tepatnya burung) yang berfisik kecil dengan telur besar. Setelah bertelur, tuanggoy akan meninggalkan telurnya, membiarkan ditetas oleh alam, dan menyerahkan nasib sang piyik pada takdirnya sendiri. Kelakuan tuanggoy yang dalam adab manusia digolongkan cela itu melahirkan umpama ‘’tumon tuanggoy’’ yang berarti ‘’nirtanggung jawab’’.

Setiap maskot punya filosofi dan membawa pesan substansial dari ‘’sesuatu’’ yang diwakilinya. Dengan memahami filosofi tuanggoy dalam peradaban Mongondow, umum yang awam seperti saya akhirnya menyimpulkan, barangkali sudah waktunya KPU Bolmong, para komisioner dan jajarannya, tidak lagi mengurusi kepentingan publik. Kita serahkan saja perkara memelihara unggas semacam ayam, bebek, atau puyuh, dan mari berharap hasilnya bakal hore. Tentu kalau mereka telah menyembuhkan diri dari rajalela kebodohan, bebal, catut, dan sudah belajar tahu malu.

Yang menguatirkan, selain ‘’mengembang’’ dan tuanggoy, daftar tragedi bodoh dan bebal KPU Bolmong kelihatannya bakal bertambah dengan abal-abalnya penanganan salah satu aspek penting tahapan Pilkada: verifikasi administrasi Cabup-Cawabup. Info selintas yang saya terima menyebut, jika bukti-bukti yang ditemukan Panwaslu Bolmong sudah lengkap dan terkonfirmasi dibuka ke hadapanpublik, arah Pilkada 2017 bakal berubah drastis.

Saya sungguh menunggu apakah info itu bakal terbukti kebenarannya atau tidak.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; KPU: Komisi Pemilihan Umum; Panwaslu: Panitia Pengawas Pemilu; Pemilu: Pemilihan Umum; Perludem: Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; dan RI: Republik Indonesia.