Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, November 3, 2016

Cara Terbodoh Memfitnah dan Menghina Gubernur

KEASYIKAN saya melahap Trust Me, I'm Lying: Confessions of a Media Manipulator (Ryan Holiday, 2013) sembari menunggu rapat urusan pekerjaan dimulai, Rabu (2 November 2016), diusik BBM dari seorang kawan. Pesan yang masuk merujuk tautan sebuah berita, http://www.bmrpost.com/2016/11/musa-warga-bmr-ditipu-olly-dondokambey/, disusul komentar pendek, ''Parah!''

Tautan situs (katanya berita) bmrpost.com itu baru saya baca Kamis pagi (3 November 2016). Segera saya sepakat dengan komentar kawan yang mem-BBM berita bertajuk Musa: Warga BMR ‘Ditipu’ Olly Dondokambey itu. Bahkan, saya ingin menambahkan dengan: ''Memang parah separah-parahnya parah! Sumber beritanya dungu, penulisnya si pandir yang mengantongi identitas wartawan.'' Tulisan itu bukan berita. Tak memenuhi syarat minimal sebagaimana dituntut Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Penyiaran Media Siber. Yang disiarkan bmrpost.com itu cuma cara paling bodoh memfitnah dan menghina Gubernur Sulut, Olly Dondokambey.

Ketika melongok redaksi situs tersebut, sekadar ingin tahu ''Octav'' yang tercantum sebagai penulis ''katanya'' berita itu,  saya terbelalak menemukan Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi adalah Oktavianus Singal. Patut diduga ''Octav'' adalah Oktavianus Singal sendiri. Selain melebarkan mata, saya juga melebarkan bibir melihat bagian paling bawa redaksi tercantum badan hukum bmrpost.com adalah PT Suara Bolmong Perkasa dengan mengantongi SK Menteri Hukum dan HAM RI serta Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Lho, apa urusannya BPN dengan badan hukum sebuah situs berita? Kalau kepingin melawak, kenapa tidak sekalian cantumkan nomor akte kelahiran, ijazah SD, SMP, SMA, KTP, dan SIM semua orang yang terlibat di PT Suara Bolmong Perkasa. Bila perlu, demi kelengkapan data, tambahkan juga berat badan, golongan darah, alamat rumah, serta jumlah istri dan anak.

Mari kita mulai telisikan dengan menyoroti pemilihan sumber beritanya. Sumber yang digunakan tunggal. Seseorang yang dituliskan sebagai ''tokoh pemuda BMR'' bernama Didi Musa. Dari foto yang menyertai tulisan, saya menduga yang disebut ''Musa'' adalah sosok berambut panjang diwarnai tembaga, sebentuk dan sewarna surai kuda yang lama tak digunting.

Setiap media pemberitaan punya kriteria sendiri dalam menentukan sumber yang digunakan. Tetapi umumnya kriteria paling dasar setidaknya mencakup tiga aspek: (1) Layak dipercaya; (2) Pihak berwenang; dan (3) Kompeten. Siapa Musa yang tokoh pemuda BMR ini? Mengapa dia layak disemati gelar ''tokoh''? Kalaupun dia tidak berwenang, maka apa kompetensinya?

Pernyataan yang mengutip Musa , ''Kami warga BMR ‘ditipu’ Olly Dondokambey. Dalam hal ini, pembohongan tentang peraturan penjabat bubati. Buktinya jabatan sementara Bupati atau Walikota bisa dijabat oleh satu orang dalam waktu yang tidak bersamaan dan di daerah yang berbeda. Palandung sebelumnya menjabat sebagai Pjs Walikota Bitung. Kemudian sekarang dilantik lagi menjadi Pjs Bupati Sangihe'', tidaklah main-main gawatnya. Dari pengetahuan dan kompetensi mana si Musa ini mengambil simpulan? Juga, warga BMR mana yang dia klaim 'ditipu' oleh Gubernur Sulut.

Sudah lama saya memang tidak bermukim permanen di BMR, khususnya di tempat saya lahir dan tumbuh, di Kelurahan Mogolaing, Kota Kotamobagu. Tapi, seminim-minimnya pengetahuan saya tentang aktivitas kepemudaan di Mongondow, saya masih punya informasi cukup siapa-siapa yang layak disebut ''tokoh pemuda''; atau yang sekadar pok-pok yang merasa ''tokoh'' karena sudah pidato berapi-api di depan 20 orang pengunjuk rasa atau sekelompok pemuda kurang kerjaan yang berbual-bual di warung kopi.

Pok-pok bersurai tembaga yang dikutip bmrpost.com sudah pasti cuma meracau. Dia tentu tidak tahu dan harus mendesak dikasih tahu, bahwa yang mengeluarkan SK menunjuk pejabat (atau penjabat) Bupati/Walikota adalah Mendagri. Pelantikan Jhon Heit Palandung sebagai Penjabat Walikota Bitung pada Senin, 22 Februari 2016, oleh Gubernur Sulut, dilakukan berdasar SK Mendagri No. 131.71-168. Demikian pula pelantikannya sebagai Penjabat Bupati Sagihe pada Rabu, 2 November 2016, dilakukan atas perintah SK Mendagri No. 131.71-999.

Jadi, di manakah letak kesalahan Gubernur Sulut, Olly Dondokambey, yang sesuai dengan UU dan turunannya adalah ''perpanjangan tangan Pemerintah Pusat''? Sama dengan, dalam kaitan penunjukkan Penjabat Bupati Bolmong beberapa waktu lalu, di manakah penipuan yang dilakukan Gubernur Sulut ini? Bukankah ketika itu Dondokambey hanya merujuk pada surat yang dikeluarkan Mendagri?

Sudah nir-pengetahuan struktur, fungsi, dan adminsitrasi pemerintahan; tidak kompeten; sang Musa yang dikutip rupanya juga sangat nekad mempertunjukkan sok tahunya. Celakanya, (yang katanya) wartawan juga sama gobloknya. Tidak melakukan check dan recheck, abai pada konfirmasi (seorang Gubernur dituduh menipu bukanlah perkara sepele), ditulis pula dengan tanda baca yang, (meminjam frasa Buruh Kata--pengelola http://buruhkata.blogspot.co.id) ya Tuhan, minta ampun kelirunya.

Belajar menulis berita dari kusu-kusu mana inisial ''Octav'' itu hingga meletakkan dua tanda petik tunggal di kata ''ditipu'' ('ditipu'). Pikirannya tentu belum sampai pada pelajaran, bahwa tanda petik tunggal ('...') dipakai untuk: (1) Mengapit petikan yang terdapat di dalam petikan lain; (2) Mengapit makna kata atau ungkapan; dan Mengapit makna, kata atau ungkapan bahasa daerah atau bahasa asing. Untuk berita Musa: Warga BMR ‘Ditipu’ Olly Dondokambey, dapat disimpulkan tanda petik tunggal yang digunakan adalah penegasan terhadap kejadian penipuan oleh Gubernur Sulut.

Tapi, memang begitulah umumnya (yang katanya) wartawan di BMR. Sekadar ''tunjung jago'' tanpa bekal cukup pengetahuan, bahwa setiap profesi menuntut syarat dan pra syarat minimal untuk para pengkhimatnya. Bahkan sekadar pengiseng yang mencoba-coba profesi corat-coret dinding WC atau tembok leput, dituntut minimal punya pengetahuan bahasa, tanda-tanda baca, dan kompetensi terhadap maknanya.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan menceritakan kisah yang patut membuat jerih para wartawan.

Satu hari di beberapa tahun lampau, seorang (katanya) wartawan, Henry Peuru (lengkapnya: Ir Henry John C.H. Peuru), yang mengelola Tabloid Jejak, menemui saya. Kami bertembung di sebuah kedai kopi di Plasa Semanggi dan dia langsung mencurahkan apa niatan yang dibawa. Singkatnya, Henry berkonsultasi dan meminta dukungan sebab dia tengah berseteru di pengadilan dengan Gubernur Sulut (saat itu), SH Sarundajang. Gugatan yang dilayangkan Gubernur berkaitan dengan isi Tabloid Jejak yang dianggap memfitnah dan mencemarkan nama baiknya.

Populernya kasus Hendry Paeuru vs Gubernur Sulut membuat saya tak asing dengan muasal silang-selisih di antara mereka. Sebelumnya, saya juga sudah menyimak habis isi tabloid yang jadi pangkal perkara. Itu sebabnya, saya cuma punya nasihat pendek: ''Temui Gubernur, minta maaf, dan bermohon supaya masalahnya diselesaikan secara kekeluargaan.''

Henry, yang saya kenal sejak zaman mahasiswa, memang punya kepala sekeras nikel. Dengan berbagai alasan dan argumen, dia berkeyakinan tak bersalah. Bahkan dia justru bersikukuh jadi korban kelaliman seorang Gubernur.

Pembaca, Anda bisa menggunakan Google menelusuri kasus wartawan vs Gubernur Sulut itu dan menemukan, Henry Peuru akhirnya diputus bersalah dengan hukuman pidana penjara tiga tahun enam bulan serta denda sebanyak Rp 50 juta atau diganti dengan kurungan tiga bulan penjara. Pada Selasa, 25 November 2014, Kejati Sulut mengeksekusi putusan pengadilan dengan menjebloskan Henry ke bui.

Peristiwa itu terjadi ketika media massa masih berada di puncak gairah bebas tekanan rezim Orba. Tatkala umum masih melihat dan mengapresiasi profesi wartawan dengan penuh takzim dan takut. Yang hanya mereka yang punya pengetahuan dan keyakinan penuh, seperti SH Sarundajang (kini salah satu anggota Dewan Pers) yang berani berhadap-hadapan dengan wartawan.

Kini, di era yang lebih bebas, di mana publik tahu persis wartawan bukanlah profesi kebal hukum dan sumber berita boleh pula masuk sel, cuma soal waktu berita seperti Musa: Warga BMR ‘Ditipu’ Olly Dondokambey tiba di tangan Gubernur Sulut. Berdoa sajalah, wahai si Musa bersurai tembaga dan (katanya) wartawan berinisial Octav, semoga tatkala saat itu tiba Olly Dondokambey sedang senang hatinya dan kalian berdua bebas dari konsekwensi hukum.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; BMR: Bolaang Mongondow Raya; BPN: Badan Pertanahan Nasional; HAM: Hak Asasi Manusia; Kejati: Kejaksaan Tinggi; KTP: Kartu Tanda Penduduk; Mendagri: Menteri Dalam Negeri; Orba: Orde Baru; PT: Perseroan Terbatas; RI: Republik Indonesia; SD: Sekolah Dasar; SIM: Surat Izin Mengemudi; SK: Surat Keputusan; SMA: Sekolah Menengah Atas; SMP: Sekolah Menengah Pertama; dan Sulut: Sulawesi Utara.