Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, November 4, 2016

Media Massa Liar, Wartawan Bejad, Pengkhimad Karut

MULAI Februari 2017 Dewan Pers akan memverifikasi media massa di seluruh Indonesia. Tanpa pungutan biaya. Konsekuensi dari langkah ini, menurut Ketua Dewan Pers,  Yosep Adi Pasetyo, hanya media-media yang terverifikasi yang bisa meliput acara resmi.

Bahkan, secara khusus Yosep mengemukakan, ''Setiap instansi hanya melayani media yang terverifikasi.'' Menurut KBBI, ada tiga pengertian ''instansi'': (1) Badan pemerintah umum (seperti jawatan, kantor); (2) Tingkatan (pengadilan); dan (3) Tahap (dalam rapat dan sebagainya). Tapi, saya kira, yang dia maksud lebih luas dari itu, yakni badan pemerintah dan juga nonpemerintah.

Selain verifikasi media, Dewan Pers juga mendorong para jurnalis meningkatkan kompetensinya, terutama dengan menjalani UKW. Demi menegakkan rencana ini, Yosep mengemukakan, Dewan Pers akan menjalin kerja sama dengan TNI dan Kepolisian. Dua institusi ini bakal mengeluarkan surat edaran bahwa mereka hanya melayani wartawan yang punya kompetensi. Sebab, katanya, ''Enggak ada berbagi informasi kepada orang yang tidak kompeten.''

Pernyataan yang disampaikan Ketua Dewan Pers di Hotel Aston, Cirebon, Sabtu, 29 Oktober 2016, itu kemudian diunggah tempo.co (https://nasional.tempo.co/read/news/2016/10/29/078816127/dewan-pers-dorong-wartawan-uji-kompetensi-ini-alasannya). Kurang sepekan,  Kamis, 3 November 2016, Dewan Pers menggelar ''Sarasehan Pers Daerah: Tantangan Pers Indonesia di Era Digitalisasi'' di Hotel Novotel Manado. Isu yang disampaikan kurang lebih sama.

Dari penelusuran cepat, Jumat pagi (4 November 2016), sarasehan yang mestinya penting tak hanya untuk media dan komunitas jurnalis itu, cuma mendapat perhatian kecil di BMR. Minimnya atensi tampak dari hanya situs berita bolmora.com yang menyiarkan peristiwanya melalui dua tulisan, masing-masing Mulai Februari 2017, Media Terverifikasi Harus Ada Logo Dewan Pers (http://www.bolmora.com/2016/11/04/mulai-februari-2017-media-terverifikasi-harus-ada-logo-dewan-pers/) dan Ada Tiga Jenis Media: Profesional, Partisan dan Abal-Abal  (http://www.bolmora.com/2016/11/04/ada-tiga-jenis-media-profesional-partisan-dan-abal-abal/).

Pesatnya pertumbuhan media (terutama siber) dan wartawan di BMR membuat apa yang dikemukakan Dewan Pers itu adalah isu yang mustahak pentingnya. Pelaksanaan verifikasi sudah kasip, tinggal kurang dari tiga bulan, sementara media massa, pengelola, dan jurnalisnya di Sulut umumnya dan BMR khususnya, memperlakukan otoritas Dewan Pers seolah-olah hanya sekadar pemenuhan syarat administratif atau--yang ''pandang entengnya'' melampaui akal sehat--menjadikan cuma ''nanti kalu so perlu jo.''

Bila dirujuk ke catatan Dewan Pers, khusus media siber di BMR, hanya dua yang sudah memenuhi kewajiban melaporkan diri sebagai perusahaan pers, yaitu beritatotabuan.com yang dikelola PT Hikmah Media Nusantara dan totabuan.com--yang karena domainnya tak dapat lagi diakses, tidak diketahui perusahaan pers mana yang mengendalikan (saya menduga, totabuan.com tak lain kini totabuan.co yang dinaungi PT Kontra Pratama Media). Status beritatotabuan.com adalah ''terverifikasi administrasi'' per 5 Februari 2016, sedang totabuan.com per 15 Desember 2015 belum memenuhi standar perusahaan pers.

Selebihnya, tanpa mendahului hasil verifikasi yang akan dilaksanakan, untuk sementara kita klasifikasikan saja sebagai media massa liar. Status ini, bila dipertahankan berlanjut, berkonsekuensi lebih dari sekadar administratif. Yang paling sederhana, jika ada instansi pemerintah yang bekerja sama (iklan, berita berbayar, kampanye, dan sebagainya), maka dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan uang negara.

Wartawan yang bekerja di media liar, sekalipun telah melewati UKW, secara otomatis haram hukumnya menjalankan tugas profesionalnya. Jika bersikukuh tetap melakukan peliputan, menemui sumber berita, kemudian menulis dan berpublikasi, tak ada pelanggaran hukum apapun yang menjerat jika kita meneriaki dia ''bejad'' lalu menendang bokongnya keras-keras. Media liar dan oknum wartawan bejad cuma bikin karut para pengkhimad berita dan produk-produk jurnalistik lainnya.

Dan media, oknum wartawan bejad, dan produk yang biking masygul umum itu, subur bertebaran di BMR. Hampir tiga pekan terakhir saya mengupas bagaimana oknum seperti Audy Kerap benar-benar menjadikan profesi wartawan yang sangat terhormat jadi sekadar alat kepentingan pribadinya. Dia tidak punya sedikitpun rasa malu membuat profesi ini; situs (yang katanya) berita yang dia kelola, kotamobagupost.com; bahkan jabatan Ketua PWI K; cuma barang dagangan murahan.

Yang mengundang kasihan, oknum yang menjadi aib bagi profesinya galib tak sendirian. Dia punya epigon seperti Oktivianus Singal dengan bmrpost.com-nya. Dua orang ini selain sama dungunya, setara untuk ketiadaan opuyu, juga tuli persis soa-soa. Di blog ini sudah berulang kali saya membeberkan langit rendah sebagian wartawan di BMR, khususnya Audy Kerap, dengan tabiat sok jagonya. Tapi baru Kamis, 3 November 2016, saya menemukan yang, maaf saja, tingkat kependirannya lebih tinggi beberapa derajat.

Oknum yang patut dikasihani itu adalah Oktavianus Singal dan situs yang dia kelola, bmrpost.com. Tatkala saya menyinggung ada SK Kepala BPN yang dicantumkan di informasi redaksi bmrpost.com (di tulisan Cara Terbodoh Memfitnah dan Menghina Gubernur), dengan segera bagian itu dilenyapkan. Namun, yang lebih penting, ketololan berombongan yang mestinya harus dikoreksi oleh wartawan dan media--menurut pandangan Dewan Pers--bukan abal-abal, seperti berita Musa: Warga BMR ‘Ditipu’ Olly Dondokambey, justru tetap melenggang bebas.

Tak mengherankan. Dari blog Buruh Kata, saya menemukan telaahan yang menarik--juga kocak--, Berita Jempol Media Sontoloyo (http://buruhkata.blogspot.co.id/2016/06/dampak-buruk-lahirnya-media-sontoloyo.html),  yang diunggah Kamis, 9 Juni 2016. Ah, si anonim pengelola blog ini terlampau sopan. Merunut peristiwa jempol yang melibatkan Oktavianus Singal dan Sekkot KK, Tahlis Galang, menurut saya, publikasi Warga Kebanjiran, Sekot Angkat Jempol (http://www.bmrpost.com/2016/06/warga-kebanjiran-sekot-angkat-jempol/) hanya dilakukan oleh media yang memungut info sampah sebagai sumber berita. Dapat diyakini pula, penulisnya pasti belajar jurnalistik dari catatan resep cara membuat dadar gulung unti kelapa gula merah. Tidak kompeten! Cuma punya otak bejad yang melahirkan produk bejad.

Hebatnya, kendati dikritik dan dikoreksi dengan cara brutal, tak ada perubahan yang dilakukan. Bahkan untuk hal-hal yang paling standar. Siapapun bisa dengan mudah mengecek, materi yang cantumkan bmrpost.com di tautan Kode Etik, misalnya, justru adalah Pedoman Penyiaran Media Siber. Ampun! Kenapa tidak sekalian pajang saja petunjuk mengobati bobow kile-kile? Bahkan, saking percaya diri dan sok tahu, pengelola situs ini juga mencantumkan Disclaimer serta Privacy & Policy yang isinya tumpang-tindih. Saya berani bertaruh, Pemred bmrpost.com buta-tuli beda dua pengertian itu dan cuma memungut dan menempalkan di situsnya supaya tampak gagah dan pintar. Sekali lagi, sungguh kasihan.

Nah, pembaca, media (khususnya siber) dan oknum wartawan seperti itulah yang bakal berhadapan dengan verifikasi Dewan Pers dan UKW dari organisasi profesi afiliasinya. Medianya lolos verifikasi dan bikin salah, mudah dipotes lewat Dewan pers. Tak lolos, lebih gampang lagi karena dihadang KUHP dan UU ITE. Begitu pula, jika oknum wartawannya lulus UKW dan tetap bejad, tinggal diekseminasi dan lisensinya dibatalkan. Tidak lulus tapi memaksa tetap meliput, wawancara, dan menyiarkan berita, seret ke polisi--dan bila perlu lot di situ-situ lei.

Sudah waktunya kita, warga BMR, mengambil tindakan tegas terhadap para kutu dan kampret yang semena-mena sebab merasa punya kekuatan media massa dan kartu wartawan. Padahal, meminjam gerutuan seorang kawan yang masih setia menggeluti dunia pewartaan, ''Nintau dari utang mana kong tiba-tiba jadi wartawan, Pemred lei. Depe laste kurang bekeng malo.''***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BMR: Bolaang Mongondow Raya; BPN: Badan Pertanahan Nasional; KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia; KK: Kota Kotamobagu; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana; ITE: Informasi dan Transaksi Elektronik; Polri: Kepolisian Republik Indonesia; PWI: Persatuan Wartawan Indonesia; Sekkot: Sekretaris Kota; SK: Surat Keputusan; TNI: Tentara Nasional Indonesia; UKW: Uji Kompetensi Wartawan; dan UU: Undang-undang.