Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, November 13, 2016

''Mo-o-aheran Sin Na'-a in Kon Mongondow Pabi'''

MINGGU siang, 13 November 2016, saya mendapat kiriman tulisan (lagi) yang dipublikasi Pitres Sombowadile, yang tampaknya diunduh dari akun fb-nya. Sebab--sebagaimana yang sudah saya sampaikan--mutu tulisannya menyedihkan, payah struktur, miskin idiom, dan duafa logika, membuat saya sama sekali tak berkehendak membaca. Tidak pula peduli apa isinya.

Akan halnya tulisan-tulisan yang saya publikasi di blog ini, memang tidak ditujukan untuk otak recehan. Hanya mereka yang berakal sehat, cukup cerdas, punya nalar baik dan logika runut, serta kelapangan dada menimbang benar-salah atau etis-bengkok, yang mampu mencerna dengan baik. Yang berniat menanggapi dan ingin tanggapannya saya baca, buatlah menarik atau setidaknya berisi.

Ada saat saya memang tak ambil pusing pada keremeh-cemehan beberapa orang yang mudah dibuktikan sekadar sombong dan sok tahu. Yang hidup dengan pengetahuan dari masa lalu, bahkan ketidaktahuan kronis, sembari meyakin-yakinkan diri bahwa dia tetap hebat di masa kini. Ya, ada waktunya saya memilih memfokuskan diri pada hal-hal yang memerdekakan otak, yang memberi makan rohani, seperti melahap Man Seeks God: my flirtations with the Divine (2011) dari Eric Weiner.

Apalagi beberapa hari terakhir saya sudah menetapkan, akhir pekan digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan kantor yang tertunda dan ''piknik'' dengan empat buku yang terbengkalai di atas meja. Selain karya Weiner, saya masih menyisakan Connectography: Mapping The Future of Global Civilization (2016) dari Parag Khanna. Menikmati buku serius harus dengan pikiran yang benar-benar bebas gangguan.

Tapi alangkah tak sopannya tak menanggapi, terlebih jika yang disampaikan mengandung pertanyaan. Orang yang bertanya, sepanjang itu bukan rahasia yang harus dibalut rapat-rapat, mutlak direspons dan dijawab sebaik-baiknya. Lagipula pertanyaan itu cuma: ''Apa Abang benar-benar sudah jadi pemarah?''; ''Dasar falsafah dan praktek budaya Mongondow mana sebenarnya yang secara substansial dianggap melecehkan dari tulisannya Pitres?''; dan, ''Apa tindakan selanjutnya kalau teguran dan kritik yang diberitakan dianggap angin lalu?''

Tanpa membaca tulisan yang dikirim (buat apa saya membuang energi membaca sampah? Yang saya tunggu hanya pencabutan bagian tulisannya yang melecehkan Mongondow disertai permintaan maaf), saya ingin memulai jawaban terhadap tanya-tanya itu dengan penegasan: memang benar keberatan saya terhadap Pitres Sombowadile beririsan dengan isu Pilkada Bolmong 2017. Terhadap Pilkada, pasangan Cabup-Cawabup Bolmong yang berkompetisi, nomor urut, atau bahkan akronim politik yang bersiliweran, saya tak ambil pusing. Ada atau tidak, terkait atau tidak, dengan Pilkada; spekulasi yaya, yaya', dan bure yaya (bukan bure yaya', sebab Pitres menuliskan 'bure yaya') adalah penggunaan identitas dan simbol budaya Mongondow (bahasa adalah salah satu identitas utama sebuah budaya), yang bertolak belakang dengan seluruh aspek budaya Mongondow, adalah pelecehan yang disengaja.

Penegasan lain yang ingin saya ulang: dengan alasan apapun Pitres Sombowadile menulis dengan identitas ''Budayawan'', dengan modal nol pengetahuan terhadap budaya Mongondow. Dia bukan orang Mongondow, apalagi penutur fasih (native) bahasa Mongondow. Tonga' bi' dimbolu' ta no'-i sare magi' ko'-i naton komintan. Padahal, jika klaim budayawan itu sahih, tentu cara berpikir dan berlakunya mesti sungguh-sungguh berbudaya. Lain soal kalau ternyata cuma buayawan yang menyaru sebagai budayawan.

Kita kembali pada isu yang ditanyakan. Pertama, apa relevansi ketersinggungan orang yang melihat aneka praktek dan laku bengkok dengan pemarah atau tidak? Saya justru merasa dan yakin bukan pemarah. Yang lebih tepat, saya gampang jengkel dan mudah mengejek serta menista orang-orang yang dengan sengaja dan terbuka berlaku bodoh; berkaitan dengan urusan publik; di Mongondow pula. Yang bukan hal-ihwal publik, apalagi di tempat lain di luar Mongondow, emangnya saya pikirin?

Lalu UU, produk hukum, etika, dan norma mana yang saya langgar? Jika ada orang yang merasa terganggu, sudah pasti dia bagian dari kelompok pompulong yang bebal dan setumpul tiang listrik hingga kritik dan cela dengan dasar paling masuk akalpun bakal tak dianggap.

Untuk semua isu yang saya tulis di blog ini, pembaca mohon kiranya dapat menyampaikan yang mana yang sekadar marah-marah tanpa pijakan dan alasan yang masuk akal?

Kedua, mototompiaan (semestinya ditulis mototompia-an) adalah salah satu falsafah utama Mongondow(selain mototabian dan mototanoban). Di dalam mototompia-an terkandung ajaran dan laku mo-o-aheran yang secara sederhana dimaknai sebagai ''saling menghormati''--tapi sungguhnya lebih dari itu karena harus mengindahkan hingga aspek yang bersifat rasa. Orang Mongondow yang senang loleke, mololeke, dan mopo-loleke, sadar bahwa dia dibatasi ketat oleh mo-o-aheran, apalagi bila itu berkaitan dengan tangoy, pinonangoy, atau pinonagoyan.

Sebagai sebuah kata, dalam bahasa Mongondow yaya tidak memiliki arti apapun. Begitu kata ini menjadi tangoy (Ki Yaya), pinonangoy, atau pinonagoyan (YaYa--dari akronim Yasti-Yanny, Ama' i Yaya, atau Aki i Yaya), orang yang hidup dengan budaya Mongondow dan menggunakan bahasa Mongondow sebagai identitasnya, akan menempatkan dan memperlakukan dengan serius karena tuntutan mo-o-aheran. Sebab, aka dia'-don mo-o-aheran, yo dia'-bidon in mototompia-an ta tua.

Di Mongondow nama, penamaan, atau pernamaan bersifat vertikal dan horizontal. Bukan hanya naik hingga ke tingkat dua generasi di atas (Ama' dan Ina' i Yaya serta Aki' dan Ba'ai i Yaya), turun hingga dua generasi ke bawah (Ki Adi' i Yaya dan Ki Ompu i Yaya), tetapi menyamping ke kiri dan kanan (Ki Buloi i Yaya, Ki Guya-guyang i Yaya, atau Ki Ai-ai i Yaya).

Olehnya, siapapun yang--jangankan melakukan, sekadar melintaskan dalam pikiran--memelesetkan YaYa' menjadi yaya', apalagi bure yaya, pasti dia'-bi' ko-o-aheran. Dan siapapun yang dia' ko-o-heran, tidak pantas dianggap manusia beradab. Orang-orang tua di tempat saya tumbuh kerap mengingatkan, ''Tonga' bi' ungku' bo boke' in ta dia' ko-ahe-aheran.'' Pitres sudah saya ingatkan, bahwa selain provokasi, tulisannya adalah pelecehan, namun dia menganggap sepi ''rasa sebagai orang Mongondow'' (sesungguhnya bukan hanya saya pribadi) yang disampaikan. Karenanya, kepada orang Mongondow atau yang sudah menjadi Mongondow, saya ingin bertanya: harus disebut dan diperlakukan seperti apa orang bodoh, tidak beradab, dan tidak bersedia diingatkan dalam adab, budaya, adat, tradisi, dan laku sehari-hari Mongondow?

Saya berkeyakinan, dengan tanpa kemarahanpun, orang Mongondow umumnya yang mengkhimati adab dan budaya Mongondow sebagai jalan hidup, bakal bilang: ''Aka ungku', yo ungku'-on. Aka boke', yo boke'-on.''

Dan ketiga, karena saya fokus pada budaya dan bahasa sebagai indentitas Mongondow, bunga-bunga, alasan melingkar-lingkar, dan meliuk-liuk supaya seolah-olah pintar yang disampaikan Pitres, dengan mengacu pada literatur dari alam gaib sekalipun, sepanjang tidak spesifik membahas isu yang jadi soal, tentu sekadar kilah pengecut yang repot mengais-ngais alasan. Pengecut seperti ini mengingatkan saya pada tokoh provokator licik, Akalbusyukus, di serial komix Asterix  dan Obelix, Sang Penghasut (La Zizanie).

Sang Penghasut mengajarkan, cara terbaik menunjukkan pada Akalbusyukus betapa buruk dan jahat cara pikir dan lakunya, adalah dengan sanjata miliknya sendiri. Masak Pitres saja yang boleh menghasut dengan melecehkan budaya dan simbol budaya Mongondow; lalu ketika orang Mongondow seperti saya bereaksi, dengan seolah-olah lakunya adalah seputih malaikat, lalu saya dilabeli, dicap, dan disebut memprovokasi?

Kalau tidak mampu punya cermin, saya bersedia dan sukarela membelikan yang terbesar yang ada di toko atau tempat belanja di Sulut. Dengan bercermin mudah-mudahan Pitres dapat memeriksa siapa dia sebelum mengacungkan telunjuk ke pihak lain.

Reaksi saya dalam bentuk tulisan ini adalah sikap pribadi, bahwa--jika ada keluangan waktu--tulisan harus dibalas tulisan (pasti dengan lebih baik, runut, dan tak lewah kemana-mana). Akan halnya pelecehan dengan manipulasi dan penggunaan seenak udel simbol budaya (Mongondow) terhadap budaya Mongondow, pasti harus lewat saluran selayaknya. Tanpa menjadikan isu ini permusuhan personal, sebagai manusia Mongondow yang beradab dan bangga jadi Mongondow, saya memastikan akan menempuh langkah-langkah tersebut.

Kita uji siapa yang ungku' atau boke', karenanya tak salah jika ungku'-on atau boke'-on,  dan siapa yang bukan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; fb: Facebook; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Sulut: Sulawesi Utara; dan UU: Undang-undang.