Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, November 20, 2016

Argumen Debat Kusir Belatung Pemakan Bangkai

SABTU sore, 19 November 2016, di tengah keasyikan belajar bersama menulis berita dengan sekitar 54 wartawan se-BMR, saya disodori tulisan yang baru diunggah Pitres Sombowadile di fb-nya. Saya hanya menengok sejenak dan mengatakan pada wartawan yang mengansurkan layar teleponnya, ''Saya tidak berniat menurunkan derajat kewarasan membaca omong-kosong yang diberi titik-koma.''

Saya tetap pada sikap itu kendati beberapa orang mengirim SMS, BBM, dan WA, menganjurkan saya membaca karena--menurut mereka--ada wilayah sangat pribadi yang sudah dilanggar. Terhadap Pitres, dengan kekalapannya yang--meminjam frasa Goenawan Mohamad di Majalah Tempo Edisi Senin, 14 November 2016)--, cuma kodok yang mencak-mencak di bawah tempurung, saya sudah berada di taraf kasihan. Kalau menyerang saya pribadi bisa mempertahankan belanganya di Mongondow, saya ikhlaskan saja. Orang cari makan, bagaimanapun cara dan kelicikannya, harus diberi ruang hormat. Keluarga saya dengan ketat mengajarkan: di atas meja makan yang pertama diletakkan adalah ikhlas dan syukur.

Dia, dengan kondisi dan kenyataan hari ini, hanya orang yang berupaya ''mencari tanah air'' agar tetap punya pekerjaan. Di daerah mana lagi di Sulut Pitres diterima dengan tangan terbuka, boleh sedikit membusungkan dada? Wilayah terakhir di provinsi ini di mana sebagian orang, anehnya, masih percaya terhadap bualan dan bohongannya, adalah satu-dua kabupaten di BMR. Atau, tepatnya bukan skala kabupaten, melainkan satu-dua elite yang memang kepintarannya juga pas-pasan atau malah sedikit di bawah nilai minimal untuk lulus.

Kalau akhirnya saya bereaksi, karena Minggu sore, 20 November 2016, saat dalam perjalanan ke rumah salah satu adik (kandung), tiba-tiba istri saya menelepon dan bertanya, ''Ngana pernah menyinggung Pitres pe istri deng anak-anak pa ngana pe tulisan?'' Tentu saja tidak. Dalam hidup ada beberapa prinsip yang saya anut tanpa tawar-menawar, antaranya: tidak akan menilai seseorang dari ''isi dan perilaku isi celana dalamnya''; tidak akan meremehkan orang berdasarkan orientasi seksualnya; dan tidak akan menyeret-nyeret urusan yang sangat pribadi ke ruang publik.

Tidak sependapat dengan siapapun, yang akan saya serang adalah cara pikir dan perilaku yang menjadi manifestasi dari pengakuan pikirnya. Dia bodoh, maka yang akan saya luluh-lantakkan adalah kedunguan pribadinya. Dia sok jago, padahal cuma belatung pemakan bangkai, yang saya aduk adalah laku parasitnya. Saya berupaya tidak akan melangkah, apalagi menyentuh, wilayah di mana ada istri, anak-anak, kakak-adik, dan orangtua bertahta.

Pitres telah dengan sengaja, sebagaimana dia melecehkan budaya Mongondow, menginjak mandala terlarang itu.

Tapi, saya tidak akan terpancing dengan bunga-bunga dan kembang-kembang, yang semata hanya cara orang kalap yang kehilangan fondasi rasional, logis, dan--bahkan--ilmiah dalam berdebat. Untuk urusan bunga dan kembang tanpa menyentuh substansi yang diperdebatkan, saya sarankan pada Pitres, buka saja toko kembang atau salon kecantikan. Tidak usah pura-pura berilmiah dengan argumen debat kusir.

Pangkal soal perdebatan kami adalah bahasa Mongondow, budaya Mongondow, budayawan, dan konteks yang menyertainya. Maka dalam soal YaYa, yaya, yaya', dan bure yaya, tanpa memedulikan tulisan terakhirnya yang (menurut seorang kawan yang kecerdasan dan kemampuan menulisnya sangat bagus dan paham Mongondow) jauh dari subtansi, saya kembali mengajukan pertanyaan paling sederhana (semoga otak Pitres yang katanya hebat itu paham): (1) Dia menguasai bahasa Mongondow atau tidak?; (2) Dia menguasai budaya Mongondow atau tidak?; (3) Dia budayawan dengan keahlian pada budaya apa dan yang mana?; dan (4) Dia memahami atau tidak konteks dan penggunaan kamus bahasa Mongondow yang dia klaim?

Menghindari yang palsu-palsu, plastik-plastik, bual-bual, dan dusta, saya bantu Pitres untuk menjawab. (1) Dia tidak menguasai bahasa Mongondow. Punya setumpuk kamuspun, hasilnya adalah hanya tahu kata, bukan bahasa dalam pengertian yang digunakan berkomunikasi oleh manusia Mongondow. Lagipula, dengan sok mengutip Dunnebier, memangnya Pitres bisa bahasa Belanda?; (2) Dia tidak menguasai budaya Mongondow. Makanya, hingga lebaran kudapun, Pitres tidak akan paham falsafah mototompia-an dan nafas utamanya, mo-o-aheran; (3) Dia bukan budayawan. Dia justru duafa budaya yang galau menggelandang mencari suaka budaya; dan (4) Dia tidak memahami konteks dan penggunaan kamus bahasa Mongondow yang dia klaim. Seperti orang belajar bahasa Inggris yang tersesat di frasa I've been lost if I lost you.

Karenanya, jangan cuma kamus, bawa ke sini penulis kamus yang dirujuk Pitres dan saya siap mendadah beda yaya dengan yaya'. Seluruh penutur (native) Mongondow yang cukup ''makan abjad dan tanda baca'' tahu persis bahwa salah satu kesulitan terbesar menuliskan bahasa Mongondow adalah meletakkan tanda baca pada setiap kata. Yaya dan yaya' adalah contoh paling nyatanya. Orang Mongondow mana yang bersedia bunuh diri budaya dan menyatakan dua kata ini berarti sama? Orang Mongondow mana pula yang tidak mau mengakui bahwa Ama' i Yaya berarti ayahnya Yaya dan Ama' i Yaya' adalah makian untuk seseorang ayah. Apalagi bure (i Ama i) Yaya.

Tanpa terseret-seret turut jadi pembual dan pendusta payah yang membela diri dengan serangan personal, saya mau bilang ke Pitres: saya adalah salah satu cucu kesayangan dari Bua' Eta, yang sejak balita sudah memainkan kamus Mongondow dan hampir seluruh buku yang ditulis Dunnebier layaknya mobil-mobilan di satu rumah besar berisi banyak sekali literatur bahasa Belanda di Kopandakan. Di masa dewasa, apalagi setelah bekerja di luar Sulut dan terpapar lebih banyak pengetahuan budaya dan sejarah Mongondow, pulang dan menyodorkan buku-buku berbahasa Belanda ke Bua' Eta untuk diterjemahkan ke bahasa Indonesia, berdiskusi berjam-jam, adalah rahasia yang sedapatnya saya pendam dari pengetahuan publik.

Bukan karena malu dan jengah jadi Mongondow. Tapi, bagi saya pribadi, itu kebanggaan dan hormat yang tinggi seorang cucu untuk Neneknya. Sama dengan menemui Bua' Emmy, putri Raja Bolmong dan adik kandung Raja Bolmong terakhir, yang dengan takzim saya sapa ''Nenek Emmy''. Hingga mangkatnya beberapa waktu lalu, tidak banyak di antara para cucu atau yang diakui cucu, yang boleh duduk dan bersandar di pahanya, mendengarkan langsung tuturan budaya dan sejarah panjang Bolmong dari tangan pertama. Saya adalah salah seorang di antara yang langka itu, yang boleh menyandarkan kepala yang Anda anggap kosong ini, di pahanya.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan tetap fokus pada isu yang jadi duduk-soal. Bual-bual dan dusta Pitres, yang bahkan mengarang-ngarang urusan personal antara saya dan istri, tidak perlu saya layani karena cuma menista keberadaban yang saya yakini.

Pitres, saya beri tahu saja ya, pengetahuan yang Anda punyai tentang Mongondow, dengan klaim budayawan, kini jadi bahan tertawaan gurih di kalangan yang paham persis daerah ini, budaya, sejarah, dan manusianya. Kami sangat menikmati itu. Di saat masyuk menunjukkan betapa lucunya dungu yang bebal, Pitres lupa menengok kiri-kanan, mengecek depan-belakang, bahwa diam-diam begitu banyak orang Mongondow yang terbukti diakui pengetahuan budayanya, bahkan di dunia internasional.

Saya sebutkan dua saja. Pertama, Dekan FIB UI (yang mencakupi Departemen Ilmu Arkeologi; Departemen Ilmu Filsafat; Departemen Ilmu Kewilayahan; Departemen Ilmu Linguistik; Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi; Departemen Ilmu Sejarah; dan Departemen Ilmu Susastra), Ph.D yang makan sekolah di Harvard University (ini universitas terkemuka dunia yang berada di Boston, AS, bukan di kusu-kusu belakang Kopi Korot) dan Murdoch University di Perth (kota di Australia Barat di mana keluarga kami pernah cukup lama bermukim). Orang pintar ini saya sapa ''Om'' dan baru dua bulan lalu bercakap-cakap lama dalam sebuah perjamuan keluarga, adalah juga putra bungsu Nenek Emmy. Dan kedua, seorang perempuan lulusan Sorbonne (Paris) yang namanya dapat ditelisik di Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie. Asal tahu saja, perempuan ini saya sapa ''Mama'' (sebagaimana Ibu kandung saya), yang dengan senang hati selalu meluangkan waktu kami boleh bertukar cerita kapan saja.

Nah, Pitres, supaya sebuah debat bermutu dan memberi pencerahan; bukan sekadar narsisme orang yang butuh perhatian, tepukan good job, dan puja-puji dari segerombolan idiot konyol pemberi jempol di status fb; coba bawa ke sini rujukan manusia yang terbukti kepakaran budayanya (lebih baik lagi budaya Mongondow) atau literatur ilmiah yang mendukung pikiran dan omong kosong Anda tentang Mongondow. Saya sih sejak remaja sudah siap. Entah Anda, yang saya tahu pasti tengah gelisah-galau-merana karena tertangkap tangan ternyata cuma pengigau tunjung pande soal Mongondow.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AS: Amerika Serikat; Balita: Bawah Lima Tahun; BBM: BlackBerry Messenger; BMR: Bolaang Mongondow Raya; FB: Facebook; FIB: Fakultas Ilmu Budaya; Ph.D: Doctor of Philosophy; SMS: Short Message; Sulut: Sulawesi Utara; UI: Universitas Indonesia; WA: WhatsApp.