Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, November 14, 2016

Ahli Budaya Apakah Sang Pitres Sombowadile Ini?

DUA tulisan terakhir saya, berkaitan dengan budaya dan kebudayaan (khususnya Mongondow), memercik pertanyaan yang membuat saya melongo. Mendorong saya menelusuri banyak rujukan, termasuk situs-situs dan blog-blog tak masuk akal, dan akhirnya menyimpul: pertanyaan itu adalah yang tersulit yang pernah saya temui. Lebih silang selimpat dari rumus-rumus mekanika teknik yang dulu membuat saya terpiuh-piuh di FT Unsrat.

Pertanyaannya adalah, ''Ahli budaya apakah sang Pitres Sumbowadile ini?'', yang sekaligus jadi tajuk tulisan ini. Yang bertanya, seorang kawan berusia muda yang bermukim di KK, tentu merujuk pada gelar ''budayawan'' yang disematkan Pitres untuk diri sendirinya--atau oleh entah siapa yang saya duga pasti membuat kesilapan serius. Sungguh sederhana, tanpa basa-basi, dan tepat sasaran, sekaligus bikin mumet.

Sebab isunya soal pengertian bahasa, saya bersegera lari ke KBBI. ''Budaya'', kata kitab sakti ini, adalah: (1) pikiran; akal budi; (2) adat istiadat; (3) sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju); dan (4) sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Lalu ''kebudayaan'', menurut acuan ini, tak lain: (1) hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; dan (2) keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.

Lalu ilmu yang mempelajari budaya dan kebudayaan? Sampai di sini saya agak kebingungan, sebab tak ada satupun rujukan Indonesia yang membahas masalah ini. Bagaimana dengan ''budayawan''. Gampang, KBBI bilang, kata ini berarti: ''orang yang berkecimpung dalam kebudayaan; ahli kebudayaan.''

Bila dikontekskan dengan pengertian kebudayaan, maka lengkapnya, ''budayawan'' adalah: (1) orang yang berkecimpung dalam hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; (2) orang yang berkecimpung dalam keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya; (3) ahli dalam hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat; dan (4) ahli dalam keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.

Ada ''budayawan'' sebagai sebutan (atau pengakuan) terhadap terhadap pengetahuan atau keahlian; tetapi tetap saja ada yang menggantung: ilmunya apa? Keahliannya karena pengalaman atau karena mempelajari apa? Sebagai catatan, pengakuan keahlian seseorang biasanya karena dua hal: pendidikan formal atau pengetahuan karena ujian dari pengalaman.

Menghindari sesat, saya menaikkan derajat rujukan ke definisi yang diakui global. Menurut Merriam-Webster Dictionary (kamusnya sudah jadi panduan sejak 1828), ada tiga pengertian culture (yang celakanya, dalam posisi kata tunggal, diterjemahkan sebagai ''budaya'', boleh pula ''kebudayaan'') yakni: (1) keyakinan, adat istiadat, seni, dan lain-lain  dari masyarakat, kelompok, tempat, atau waktu tertentu; (2) masyarakat tertentu yang memiliki keyakinan sendiri, cara hidup, seni, dan lain-lain; dan, (3) cara berpikir, berperilaku, atau bekerja di tempat atau organisasi tertentu (seperti bisnis).

Supaya terlihat pintar dan meyakinkan, definisi culture ini kita tambah dengan pernyataan antroplog penggagas antropologi budaya, Edward Burnett Tylor (1832-1917), yang mengatakan, ''(budaya atau kebudayaan) Adalah sesuatu yang kompleks, yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, serta setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.'' Demi kelengkapan, pengertiannya kita pertebal dengan titah Cambridge English Dictionary, yakni, ''Cara hidup, terutama kebiasaan dan kepercayaan umum, dari kelompok orang tertentu pada waktu tertentu.''

Akan halnya ilmu yang mempelajari budaya atau kebudayaan, dalam bahasa sono disebut culturology. Kata ''culturology'' dipinjam dari kandungan The Science of Culture: A Study of Man and Civilization (1949) karya antropolog terkemuka Amerika, Leslie A. White (1990-1975). Pemahaman lebih detil (kalau tahan membaca dan berpikir), dapat disesap dari dua bukunya, The Evolution of Culture: The Development of Civilization to the Fall of Rome (1959) dan The Concept of Cultural Systems: A Key to Understanding Tribes and Nations (1975).

Ahli ''culturology'' mendapat predikat culturologist. Merriam-Webster Dictionary dan Oxford Living Dictionaries kurang-lebih mengartikan kata ini sebagai: ''Ahli ilmu (yang mempelajari) budaya/kebudayaan atau mahasiswa (yang mempelajari) ilmu budaya/kebudayaan.'' Apakah culturologist ini yang dimaksud dengan budayawan dalam bahasa Indonesia? Saya tak yakin betul, sebab saya juga menemukan kata culturati (orang yang sangat tertarik pada urusan budaya); cultured (memiliki atau menampilkan pendidikan, selera, dan sopan santun yang baik); dan cultural (terkait dengan kelompok orang tertentu dan kebiasaan mereka, keyakinan, tradisi, dan lain-lain; terkait dengan kesenian--seperti musik, teater, melukis, dan lain-lain).

Ragu-ragu dan tidak yakin, bukan tabu berpaling ke yang ahli. Saya mengontak Reiner Ointoe, yang di mana-mana disebut (bukan menyebut diri) ''Budayawan Sulut''. Penjelasan Reiner, yang memang ilmiah dan penuh rujukan sebab pendidikan formalnya--juga banyak aktivitas personalnya--berurusan dengan aspek-aspek utama budaya dan kebudayaan, malah bikin cenut-cenut kepala.

''Memang ada yang sudah merasa jadi budayawan cuma bermodal kamus. Soal etik dan emik tidak dimengerti dan didalami. Pameran vokabulator bukan indikator untuk mengklaim sebagai budayawan dari diri locus genius meme dan genetik. Dawkins membuktikan bahwa gene itu jadi muasal atau atavis seseorang jika menjadi pewaris geno-fonetip budaya,'' katanya.

Mati musuh! Ada beberapa kata yang harus didalami lagi. Pertama, etik dan emik yang sangat antroplogis, khususnya etnologi. Etik berarti sudut pandang orang luar terhadap fakta sosial dan budaya masyarakat; sedang emik adalah cara pandang dari sisi masyarakat sendiri.

Dan kedua, locus genius meme dan genetik. Saya menduga (sebab sudah malu terlalu banyak tanya), locus genius ini berhubungan dengan genius loci (jamaknya adalah genii loci), yakni pendekatan yang biasanya digunakan untuk memahami arsitektur sebagai produk kebudayaan. Pengertian harfiahnya sendiri adalah: ''kemampuan suatu karya manusia mempertahankan perilaku manusia.'' Ditelusuri lebih jauh, locus genius ini merujuk pada semangat melindungi tempat dalam agama Romawi klasik. Penggambarannya biasanya berbentuk ikonografi religius sebagai sosok yang memegang atribut seperti buket dengan isi melimpah, patera (mangkuk persembahan), atau ular.

Bila dipahami meme adalah sesuatu yang menyerupai atau meniru, pahamlah kita maksud locus genius meme itu. Akan halnya genetik, gene, dan Dawkins, tautannya jelas ke pakar biologi evolusioner Inggris, Richard Dawkins, yang mengemuka karena pandangannya tentang  evolusi berbasis gen. Ingin kepala melampaui tingkatan melayang demi genetik dan gene ini? Baca dua bukunya, The Selfish Gene (1976) dan The Extended Phenotype (1982).

Agar yang ilmiah-ilmiah itu tidak kian panjang dan berketiak ular, saya buru-buru menyodorkan tulisan BER-1 DAN BER-SaTu dari Pitres Sombowadile, yang salah satu bagian kecilnya saya persoalkan sebagai pelecehan terhadap budaya Mongondow dan Mongondow. Setelah menyimak dan merenung, lama kemudian Reiner menyatakan cermatannya, ''Tulisan itu sama sekali dangkal dari urusan-urusan kebudayaan. Ini semata ihwal politik yang disusupkan pada ihwal kebudayaan.''

Waduh, setelah pontang-panting kesana-kemari, mendedah (dari sekadar kata, ilmu, hingga tetek-bengek ilmiah) urusan budaya, kebudayaan, dan budayawan, malah kian kabur wujud ''budayawan'' yang diaku-aku Pitres Sombowadile untuk dirinya sendiri. Bahkan sekalipun dikembalikan pada pengertian paling sederhana: ''orang yang berkecimpung dalam kebudayaan; ahli kebudayaan'', tetap ada pertanyaan yang sukar dijawab: kebudayaan mana yang dia cimpungi? Keahlian apa di kebudayaan mana yang terbukti dia kuasai dari pengalaman atau pendidikan formal?

Namun, harap maklum, di zaman ini yang palsu-palsu sudah pula menjadi budaya. Ada ahli agama palsu seperti AA Gatot dan Kanjeng Dimas Taat Pribadi, ada sepatu dan pakaian KW, bahkan ada bahan makan (beras) abal-abal. Ketambahan satu ''budayawan'' yang ternyata palsu, entah KW berapa, buat saya sama sekali tak mengejutkan. Saya tidak gegau karena tertolong seseorang bernama Trigus Dosik Susilo yang dengan kocak mengupas isu ini, Kamu Yakin Budayawan? Inilah Syarat-syarat Seseorang Dapat Dipanggil Budayawan (http://www.mastrigus.com/2016/03/kamu-yakin-budayawan-inilah-syarat.html).

Akhirnya, saya menutup tulisan ini dengan pengakuan: kawan yang baik, maafkan, kali ini otak saya (yang cuma penggemar buku) gagal menjawab pertanyaan Anda. Saya sungguh-sungguh bingung dan tidak tahu, ahli budaya apakah sang Pitres Sombowadile ini. Masak sih harus disimpulkan dia ahli budaya palsu karena ternyata budayawan palsu belaka; ahlul omong-kosong sebab produksi tulisannya cuma hasil copotan linduran sana-sini; dan pakar spekulasi musabab gemar menuliskan duga-duga dan halunisasi?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

FT: Fakultas Teknik; KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia; KK: Kota Kotamobagu; KW: Berasal dari kata kwalitas (kualitas), yang konotasinya berarti 'tiruan'; dan Unsrat: Universitas Sam Ratulangi.