Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, January 31, 2013

Ahmad Ishak dan Komedi ‘’Head of KK’’


FILM Head of State, yang mulai ditonton para penggemar komedi pada 28 Maret 2003, bagai nujum bahwa satu saat negara adidaya, Amerika Serikat Serikat (AS), bakal dipimpinPresiden berkulit hitam (Afro-America). Lima tahun kemudian, tepatnya 4 November 2008, Barack Obama terpilih sebagai Presiden AS ke 44 dengan kemenangan mutlak 365 electoral vote dibanding lawannya, John McCain, yang hanya mengantongi 173.

Disutradarai dan dibintang-utamai oleh komedian Chris Rock (sekaligus juga menulis skenarionya bersama Ali LeRoi), Head of State yang meraup keuntungan hampir 39 juta dolar AS, berkisah tentang Mays Gilliam, seorang anggota Dewan Kota dari Washington DC. Ditampilkan sebagai seorang pelayan masyarakat yang baik, Mays justru tak henti didera sial: Dipecat dari jabatan hingga dicampakkan kekasih seksinya, Kim, yang dimainkan dengan pas oleh mantan istri petinju Mike Tyson, Robin Givens.

Tiba-tiba jalan nasib Mays berubah ketika calon Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) yang sedang melakukan kampanye, tewas karena kecelakaan. Partai yang sudah kehilangan peluang, memutuskan memilih kandidat pengganti dari kalangan minoritas, sekadar sebagai ‘’tabungan politik’’ untuk pemilihan berikutnya. Karena ini film komedi, tidak usah menduga. Yang dicomot adalah Mays Gilliams yang sedang gundah gulana.

Petinggi partai menetapkan pilihan terhadap Mays karena dia dianggap mampu merepresentasi masyarakat minoritas, Afro-America, Hispanik, dan para imigran belakangan umumnya. Lagipula, buat apa mengorbankan elit partai lain hanya karena terpaksa harus tetap punya kandidat Presiden dan Wapres di injury time?

Siapa menduga, olok-olok politik itu ternyata meraih simpati publik pemilih. Kendati Wapres yang didaulat Mays adalah sepupunya, seorang ‘’preman penjamin tahanan’’ yang berkelakuan seenaknya (diperankan komedian Bernie Mac), mereka berdua tetap melenggang ke kursi Presiden dan Wapres AS.

***

Beberapa pekan lalu saya bersigegas membongkar koleksi film, mencari Head of State, ketika mendengar Ahmad Ishak atawa Matt Jabrik (yang lebih saya kenal sebagai wartawan dan tukang main gitar) bakal mencalonkan diri sebagai calon Walikota Kota Kotamobagu (KK) 2013-2018. Saya menonton Chris Rock sembari membayangkan Matt Jabrik dan sepanjang 95 menit larut dalam tawa.

Inagurasi Presiden Mays Gilliam diiringi lagu kebangsaan AS yang dinyanyikan dengan gaya rap. Yang melintas di benak saya (ini bayangan liar yang hampir 100 persen hanya lamunan), andai Matt Jabrik terpilih sebagai Walikota KK, setelah pelantikan, masih dengan uniform putih-putih dengan aneka lambang heran sebesar tatakan cangkir di dada, bukan tak mungkin dia langsung menyandang gitar dan memainkan Nothing Else Matters-nya Metalica.

Kalau itu terjadi di kehidupan nyata, diundang atau tidak, dipagari barisan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sekali pun, saya akan menerobos dan ikut bergoyang. Bagi para penggemar rock dan metal, melewatkan Metallica tergolong pelanggaran sangat serius.

Bayangan Walikota Bergitar (kurang lebih asosiasinya sama dengan ‘’Satria Bergitar’’ ala Rhoma Irama), terus lalu-lalang di kepala saya ketika membaca di beberapa situs berita bahwa Ahmad Ishak turut mendaftar sebagai calon Walikota di PDI Perjuangan KK. Bila pun yang dia lakukan sekadar olok-olok orang kurang kerjaan, saya memutuskan mendukung sepenuh hati.

Politik di negeri ini, khususnya di Mongondow, lebih khusus lagi KK, hampir pasti dimaknai sebagai urusan maha serius, bahkan cenderung menyeramkan. Kecuali Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, hampir seluruh politikus di Mongondow yang saya kenal, berubah jadi sosok yang lain ketika berada di posisi elit atau berhasil menduduki jabatan publik signifikan. Bukan hanya bersulih jadi ‘’jaim’’ dan di mana-mana terus memasang serius, tapi juga dengan cepat berubah jadi monster dalam pengertian sebenarnya.

Saya hampir tidak pernah melihat (sekali lagi, kecuali Sehan Lanjar) ada Bupati, Wakil Bupati (Wabup), Walikota atau Wawali di Mongondow yang tertawa lepas dan bersikap sebagai manusia yang kita semua kenal selama bertahun-tahun. Mereka sudah menjadi orang lain. Bupati Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Herson Mayulu yang juga sepupu saya, lebih mirip ustadz ketimbang politikus; Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong), Salihi Mokodongan, yang akhir-akhir gemar memajang foto-foto yang meniru gaya Presiden Soekarno; atau Bupati Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Hamdan Datunsolang, yang diam-diam menghanyutkan.

Bagaimana dengan Walikota KK, Djelantik Mokodompit? Yang saya perhatikan, satu-satunya yang saya kenal persis yang tak berubah dari dia adalah kebiasaan dusta dan tak tahu diri. Apalagi yang bisa dikomentari dari seorang Walikota yang tidak segan-segan meminta dirinya dipilih kembali di sembarang tempat, tak peduli itu pesta pernikahan, kedukaan, atau bahkan sekadar kumpul-kumpul yang semestinya cukup diisi dengan omong kosong sosial biasa?

Ahmad Ishak, tak pelak, menjadi lonceng yang mengingatkan warga Mongondow, khususnya KK, bahwa politik dan politikus bukanlah satu-satunya urusan yang jadi gantungan hidup-mati orang banyak. Dia juga mewakili semangat mengingatkan Parpol dan pengurusnya di KK, bahwa di luar nama-nama yang kini bersiliweran, banyak orang dan tokoh mumpuni yang mampu menjadi pemimpin publik. Kalau pun mereka tak tampil ke permukaan (ini sekaligus tafsir tambahan saya), lebih karena secara sistematis kita semua memang menjadikan politik seolah-olah hanya terpusat pada sejumlah orang yang ditokohkan.

***

Kegenitan Ahmad Ishak mengkampanyekan di sebagai calon Walikota KK 2013-2018 boleh ditanggapi serius, halal pula dianggap sebagai sekadar sinetron komedi-politik. Toh di tengah pikuk pemilihan Walikota dan Wawali KK yang kini bagai laku bebek di pagi hari, dia justru mungkin sedang asyik menyeruput kopi dan memainkan gitar sembari cengar-cengir.

Sekali pun demikian, sebagai penggemar komedi, saya percaya Matt Jabrik tetap calon Walikota KK 2013-2018.***

''Palo-Palo Cendol'' Provinsi BMR


DI SAAT-SAAT tertentu saya kerap mengingat-ngingat masa mahasiswa dengan penuh kangen. Rindu juga berdiri di depan ribuan orang, pidato berbusa-busa, mengagitasi emosi, mengutuk segala yang bisa diserapahi (terutama rezim yang berkuasa), lalu berakhir di kantor polisi atau markas tentara.

Di masa itu pula, agar tak tampak dungu –aktivis yang mirip beo biasanya jadi bahan ejekan—saya harus melahap banyak buku, sampai-sampai saya lebih hafal letak buku di Perpustakaan Utama Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) dibanding jadwal kuliah. Supaya yang dibaca tak hanyut dibawa mimpi, perlu ditabrakan dengan pemahaman dan realitas lain lewat diskusi, bahkan debat.

Hanya dengan kepala tak kosong, dasar yang kokoh dan masuk akal, ketika berhadapan dengan aparat berwenang karena dicokot habis memimpin demonstrasi, saya diperlakukan dengan respek. Segalak-galaknya polisi atau tentara yang menjemput, mereka menaruh hormat pada orang yang bisa menjelaskan dengan baik alasan di balik aksi yang digelar.

Lebih penting lagi, harga diri tetap tegak, sebab tak ada satu pun aparat yang kerap memasang wajah seram yang mencaci, melayangkan bogem, atau mencemooh sebagai ‘’tong kosong nyaring bunyinya’’. Banyak di antara mereka justru diam-diam membisikkan dukungan.

***

Rabu malam, 30 Januari 2013, di tengah-tengah keasikan menyerapahi politik Indonesia yang kian bejat setelah membaca penetapan anggota DPR RI yang diduga berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) –konon katanya adalah Presiden PKS sendiri—sebagai tersangka kasus suap, saya menerima pesan pendek (SMS) berisi caci maki dari nomor +6281242837380. Oh, rupanya ada yang keberatan dengan tulisan Mongondow, Provinsi, dan Mentalitas Aktivis yang saya unggah di blog ini pada Selasa, 29 Januari 2013.

Hebatnya lagi, pengirim SMS yang mengaku anggota Komite Rakyat untuk Pemekaran Provinsi Bolaang Mongondow Raya (KRUPPBMR) itu, bukan hanya tak terima dengan isi tulisan; tetapi juga mengancam akan mematahkan leher bila saya berada di Kotamobagu.

Saya menggantikan kegeraman terhadap praktek politik di negeri ini dengan tawa lebar. Lumayan menghibur penat setelah seharian memelototi komputer. Saya hafal dengan jenis pengirim SMS tanpa nama seperti ini: Biasanya pengecut dengan isi kepala seadanya, yang merasa demonstrasi adalah kulminasi sikap heroik. Seolah-olah dengan dengan sekali demontrasi di Bundaran Paris Superstore, membakar ban dan keranda dihiasi foto Gubernur Sulut, SH Sarundajang, dia dengan paripurna telah menyelamatkan seluruh jiwa raga orang Mongondow.

Yang mengherankan, berani betul pengirim SMS itu mencatut-catut KRUPPBMR. Memangnya ini organisasi apa dan punya daya apa? Kalau pun seluruh anggotanya (berapa banyak itu?) mau menyerbu kediaman saya, karena tidak terima dengan isi tulisan (bagian mana yang jadi keberatan pun saya tak tahu), lalu saya bakal diam saja?

***

Beberapa saat sebelum SMS acaman dan cacian itu berdatangan, saya sempat berbicara di telepon cukup lama dengan salah seorang kandidat master hukum asal Mongondow yang sedang studi S2 di Universitas Indonesia (UI). Isunya tak lain tulisan Mongondow, Provinsi, dan Mentalitas Aktivis, yang menurut dia tidak ditulis dengan pemahaman komprehensif.

Karena bicara dengan calon master hukum, saya kemudian menanyakan, ‘’Apakah sudah membaca dan memahami Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah?’’ Kalau belum, urusan lebih pendek lagi. Saya cukup menyarankan dia membaca UU Nomor 32/2004 dan PP Nomor 78/2007, pasti setelahnya langit di atas kepalanya akan terang-benderang.

Di UU dan PP itu jelas dinyatakan ada tiga syarat pemekaran daerah (kabupaten, kota, atau provinsi), yaitu administratif, teknis, dan fisik. Kalau disederhanakan, kurang lebih pendirian kabupaten, kota, atau provinsi baru harus mengindahkan empat aspek: wilayah, penduduk, sumber daya manusia (SDM), dan sumber daya ekonominya.

Apakah dari aspek paling normatif Panitia Pembentukan Provinsi BMR sudah memenuhi seluruh syarat administratif, teknis, dan fisik di tingkat wilayah Mongondow sesuai UU dan PP; sebelum naik ke leval provinsi induk untuk mendapat rekomendasi Gubernur dan DPR Sulut? Yang paling sepele, misalnya urusan wilayah, apa yang dikatakan oleh PP NO 78/2007?

Di Pasal 9 PP No 78/2007 disebutkan: (1) Cakupan wilayah pembentukan provinsi digambarkan dalam peta wilayah calon provinsi. (2) Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan daftar nama kabupaten/kota dan kecamatan yang menjadi cakupan calon provinsi serta garis batas wilayah calon provinsi dan nama wilayah kabupaten/kota di provinsi lain, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga yang berbatasan langsung dengan calon provinsi. (3) Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat berdasarkan kaidah pemetaan yang difasilitasi oleh lembaga teknis dan dikoordinasikan oleh Menteri.

Sampailah saya pada substansi yang ingin dikemukakan: Apakah peta wilayah calon Provinsi BMR sudah memenuhi kaidah UU No 32/2004 dan PP No 78/2007? Saya yakin tidak. Sudah menjadi pengetahuan umum, hingga hari ini batas antara Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim) dan Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra), masih terkatung-katung karena kedua belah pihak belum mencapai kata sepakat.

Saya tidak akan berpihak pada Gubernur Sulut SH Sarundajang. Tapi kalau Gubernur menanda-tangani rekomendasi pembentukan Provinsi BMR tanpa peta wilayah yang jelas, sama artinya dengan bodoh dia sengaja melawan UU dan PP. Apa boleh buat, kalau itu terjadi, saya tidak segan –meminjam istilah Ahmad Ishak atawa Matt Jabrik yang calon Walikota Kota Kotamobagu 2013-2018— mengatakan Gubernur Sulut tak beda dengan palo-palo cendol.

Masalahnya adalah, bagaimana menjelaskan ihwal sederhana ini pada saudara-saudara yang berhimpun di KRUPPBMR, yang bahkan telah berencana bakal menggelar demonstrasi di Kantor Gubernur dan Gedung DPR Sulut? Bahwa demonstrasi ke Mekkah atau Madina pun percuma bila syarat-syarat pembentukan Provinsi BMR tidak dibereskan dari tingkat wilayah dan orang Mongondow sendiri?

Jangan sampai kita yang bodoh dan anarkis, lalu orang lain yang disalahkan. Sungguh tidak enak harus menanggung malu lebih dari satu kali. Sama tidak enaknya dengan dicap sebagai ‘’tong kosong’’ dan ‘’palo-palo cendol’’.***

Wednesday, January 30, 2013

Mengelus-Ngelus Obsesi di Pilwako KK


PEMILIHAN Walikota dan Wakil Walikota Kota Kotamobagu (Pilwako KK) sudah menggemuruh. Dari kejauhan saya mengikuti keriuhan itu dengan kian tak berselera. Tak ada kejutan (apalagi harapan) dari calon-calon yang digadang partai politik (Parpol), demikian pula dengan praktek politik pencalonan yang ‘’jadul’’. Sungguh ketinggalan zaman.

Sejauh ini calon-calon Walikota yang sudah pasti mendapatkan tiket adalah patahana, Djelantik Mokodompit (Partai Golkar) dan Wakil Walikota (Wawali), Tatong Bara (Partai Amanat Nasional). Selain itu, ada Ishak Sugeha (yang berharap didukung Partai Demokrat), Jainuddin Damopolii (yang gagah berani berniat independen), Muhammad Salim Lanjar (‘’katanya’’ bakal didukung gabungan partai-partai), dan Rachmat Mokodongan (sebenarnya sangat ideal tapi belum ketahuan sikapnya).

Terselip di antara para pemain besar itu, ada Andi Ladu Manoppo yang mendadak menyebar selebaran kampanye di seantero KK dan Ahmad Ishak (wartawan, tukang main gitar, yang lebih populer dikenal sebagai Matt Jabrik) dengan slogan ‘’…. Matt Jabrik tetap calon Walikota KK 2013-2018). Titik-titik di depan kutipan itu menunjukkan, apapun yang kita tambahkan, Matt Jabrik tetap calon Walikota.

Silahkan mencantumkan ‘’Apapun minumannya….’’, ‘’Partai Golkar menetapkan Djelantik Mokodompit sebagai Calon Walikota…’’ atau ‘’PAN menetapkan Tatong Bara sebagai Calon Walikota….’’, hasilnya adalah: Matt Jabrik tetap calon Walikota KK 2013-2018. Slogan yang nakal, kreatif, sekaligus tidak tahu diri. Memangnya ada yang bakal memilih dia? Sekali pun begitu, I love you, Matt Jabrik!

Di luar itu, nama-nama lain yang beredar hanya menyasar posisi calon Wawali. Ada Hairil Paputungan, Ir Taufiq Mokoginta, Nasrun Koto, Benny Rhamdani, dan entah siapa lagi yang pekan-pekan ke depan ikut menceburkan diri.

Saya salut terhadap orang-orang berani itu, utamanya mereka yang selama ini nir-aktivitas politik.  Sama kagumnya terhadap politikus yang kendati berulang kali gagal, tetap keras kepala dan yakin bakal mendulang sukses. Benny Rhamdani, misalnya, mencalonkan diri sebagai calon wakil Kepala Daerah di wilayah Mongondow tampaknya sudah menjadi salah satu obsesi besarnya.

Alhasil, menyambut Pilwako KK 2013 kita bisa menggolongkan mereka yang sudah mengajukan namanya sebagai calon ke publik setidak dalam tiga kategori: Pertama, politikus yang memang menyiapkan diri (lepas dari alasan demi kejayaan pribadi atau hajat hidup orang banyak), secara terencana –lewat Parpol-- memanjat kursi jabatan publik dan politik tertinggi di KK seperti Djelantik Mokodompit, Tatong Bara, atau Ishak Sugeha. Kedua, para petualang yang menjadikan Pilwako sebagai modus. Entah untuk popularitas, menggaruk keuntungan, atau sekadar megelus-elus ego. Dan ketiga, orang-orang yang dengan dungunya tak kuat menahan syawat kekuasaan, yang tergoda jabatan politik dan aneka privilege yang menyertainya.

***

Selasa malam, 1 Januari 2013, di kediaman salah seorang sepupu saya bereriungan dengan sejumlah orang, termasuk para aktivis muda Bolmong. Setelah pembicaraan melantur kemana-mana, tiba-tiba topik berbelok ke ‘’todongan’’ yang mengandung marabahaya: Saya harus mencalonkan diri di Pilwako KK, entah sebagai calon Walikota atau Wawali.

Waduh, saya bukan makluk tanpa keinginan dan ambisi. Tapi mencalonkan diri di Pilwako KK bukan cuma butuh ambisi –yang mudah tergelincir jadi tidak tahu diri. Sebagai orang yang dilahirkan di KK, sebagaimana warga masyarakat yang lain, saya juga mengimpikan kota ini dipimpin orang yang tepat. Yang memahami aspek-aspek substansial kebutuhan KK dan masyarakatnya; bekerja keras demi mewujudkan kemaslahatan bersama; dan sedapat mungkin tetap bersahaja dan layak jadi panutan.

Apakah saya cukup memenuhi syarat minimal dari tuntutan satu jabatan publik dan politik seperti Walikota atau Wawali? Entahlah, tapi setidaknya puluhan kepala yang hadir malam itu berkeyakinan saya kapabel. Singkat cerita, diputuskanlah akan diproduksi baliho untuk mengkampanyekan pancalonan saya. Orang-orang yang berkumpul hanya mensyaratkan ada foto yang bagus sebagai pajangan pemanis.

Eh, setelah foto diserahkan, beberapa hari kemudian saya mendapat informasi bahwa kualitas pixel-nya terlalu rendah untuk dijadikan baliho ukuran jumbo. Untuk itu perlu foto baru, yang sampai hari ini belum pernah saya serahkan. Menurut saya, dengan teknologi komputer saat ini, foto sebesar di atas 3 mega bite lebih dari memadai.

Namun foto yang tidak memenuhi syarat itu (diambil dengan kamera digital profesional terbaru) menjadi isyarat yang saya arifi sebagai: Ikhtiar mencalonkan diri sebagai apapun (Walikota atau Wawali) mesti ditimbang kembali dengan saksama. Dengan kata lain, saya sebaiknya hanya menjadi bagian dari keriuhan Pilwako KK sebagai supporter, tukang tepuk tangan, dan syukur-syukur boleh mengejek serta mencaci para pemain utamanya.

***

Saya tidak tahan tak mengejek Parpol yang membuka pendaftaran calon Walikota dan Wawali dan sejumlah calon yang dengan bodohnya mendaftar. Partai adalah wahana menyiapkan para politikus. Di dalam partai yang sehat dan tahu fungsi yang dijalankan, ada tingkatan yang dilalui setiap orang sebelum dia layak terhadap satu posisi atau jabatan politik.

Membuka pendaftaran calon Walikota atau Wawali menunjukkan bahwa Parpol di KK (bahkan Indonesia umumnya) bukanlah institusi politik yang sesungguhnya. Parpol menjadi tak beda dengan warung kelontong tempat di mana orang –siapa pun itu—boleh datang dan membeli keperluan pribadinya. Prek dengan pengkaderan. Prek pula dengan segala ideologi, slogan-slogan, dan janji terhadap mereka yang menjadi anggota atau kader.

Parpol yang membuka pendaftaraan calon Walikota atau Wawali bukan hanya tidak punya kader (artinya mereka juga gagal menjalankan fungsi Parpol), tetapi juga menjadi sekadar tukang jual kesempatan politik.

Sebaliknya orang-orang yang berombongan mendaftar sebagai calon Walikota atau Wawali, padahal dia bukan kader (mungkin simpatisan pun tidak), sungguh ambisius yang tak tahu diri.

Politik yang sehat di KK (Parpol yang benar, bila tak punya kader, bukan membuka pendaftaran tapi menawarkan kesempatan bagi mereka yang dianggap kapabel dan ideal) tampaknya masih jauh api dari panggang. Padahal, di tingkat yang lebih tinggi praktek politik kita menunjukkan petanda membaik: Calon pejabat teras publik dan politik yang tidak berasal dari Parpol (atau bukan anggota Parpol bersangkutan) bukan lagi mendaftar, tetapi dipilih dan didekati, seperti yang terakhir dicontohkan oleh Gerindra dengan memilih Ahok (saat itu tercatat sebagai anggota DPR RI dari PG) sebagai calon Wakil Gubernur (Wagub) Jakarta; Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan meminta Deddy Mizwar menjadi calon Wagub Jawa Barat (Jabar); atau PDI Perjuangan dengan mendaulat Teten Masduki juga sebagai calon Wagub Jabar.

Melihat praktek pencalonan Walikota dan Wawali di Pilwako KK, kita layak menyimpulkan apa yang sedang terjadi cuma jadi salah satu petanda betapa akal sehat, akal budi, dan kecerdasan politik kebanyakan ini masih ada di abad pertengahan.***

Tuesday, January 29, 2013

Mongondow, Provinsi, dan Mentalitas Aktivis


SURAT elektronik yang sedang saya tulis, Selasa siang (29 Januari 2013), terpaksa diabaikan karena telepon dari adik bungsu. Biasanya bila dia mengontak, kendati bukan hal penting –sekadar berkeluh kesah tentang kenakalan anak-anaknya yang kian mirip perusuh cilik--, sesibuk apapun saya pasti meladeni. Sudah bungsu, dia hanya pula satu-satunya perempuan di antara kami kakak-beradik.

Tidak mengada-ada bila dia adalah ‘’biji mata’’ Ayah, Ibu, dan kakak-kakaknya.

Tersentak saya karena begitu telepon menempel di telinga, omelan pun bersemburan. ‘’Napa ada demonstrasi deng orasi, kong dorang tahang samua ini oto plat merah. Masak urusan bagini ba ganggu orang laeng pe karja!’’

Bagai semburan peluru senapan mesin, ba feto itu berlanjut, ‘’Kita nyanda ada urusan dengan ini provinsi Bolaang Mongondow Raya mo jadi besok, taong depan aau tempo apa. Kita pe urusan orang pe nyawa. Kalu kita terlambat gara-gara ini demo kong orang pe nyawa ilang, apa ini orang-orang mo parduli?’’

Puji Tuhan, untunglah di depan si Bungsu (yang juga salah seorang Kepala Puskesmas di Kota Kotamobagu) ada Jemmy Lantong, yang bukan hanya teman akrab sejak masa kecil, melainkan (ini gurauan yang selalu saling kami lontarkan) calon besan di masa depan. Anak tertua Jemmy perempuan, sedang anak sulung saya laki-laki.

Telepon berpindah ke tangan Jemmy Lantong, yang langsung saya mintai tolong agar membebaskan mobil si Bungsu (sebelum dia melanjutkan racauannya, membuat panas kuping dan hati). Atas bantuan Jemmy dan pengertian dari para pendemo, sakit kepala di siang hari tidak jadi menyerang batok. Saya boleh kembali memelototi komputer, menyelesaikan surat elektronik yang beberapa jenak terabaikan.

***

Lalu saya membaca di Kontra Online (http://kontraonline.com/11133/kepulan-asap-hitam-warnai-aksi-demo-yang-dilakukan-oleh-kruppbmr/), aksi yang digelar Komite Rayat untuk Pembentukan Provinsi Bolaang Mongondow Raya (KRUPPBMR) di Bundaran Paris Superstore itu ternyata tak hanya di warnai blokade terhadap kendaraan milik pemerintah, tetapi juga pembakaran ban bekas dan keranda. Mendadak jidat terasa berat dan kuping berdenging: Apa hubungannya membakar ban dan keranda dengan pembentukan provinsi? Bahkan, apa manfaatnya menggelar demo di Kota Kotamobagu, menahan kendaraan dari segala arah, demi berkoar-koar tentang Provinsi BMR?

Mari kita perjelas: Siapa orang Mongondow, di seluruh daratan yang masuk wilayah Bolaang Mongondow, yang menolak dibentuknya Provinsi BMR? Kalau ada yang berani mengacungkan jari, saya (yang tidak punya peran apa-apa) mengajukan diri di daftar nomor satu untuk menendang pantat yang bersangkutan. Biarlah dia, otak, dan pantat bodohnya kita terbangkan ke laut.

Namun, saya juga mendaftar di urutan pertama untuk melakukan hal yang sama terhadap orang-orang yang menjadikan isu Provinsi BMR sebagai pelampiasan energi tak perlu. Sekadar makang puji, sok jago biar dielu-elukan sebagai aktivis gagah berani. Lebih konyol lagi, agar bisa bertindak anarkis dengan berlindung di balik kilahan demi Provinsi BMR.

Di tengah semua orang yang bersetuju, apalagi pasal yang harus diyakinkan? Mari kita generalisasi bahwa seluruh orang Mongondow setuju membentuk Provinsi BMR (kalau tidak, ya, yang bersangkutan boleh angkat koper dari Mongondow). Dengan demikian, yang mendesak diurus adalah kesiapan, terutama syarat-syarat normatif, administratif, legal, dan politis dari pembentukan provinsi itu.

Sudahkah orang-orang yang menggelar demonstrasi itu mengecek ditahap mana aneka persyaratan itu majal? Bukankah ada segerombolan pintar, bijak, dan ditokohkan telah didaulat berhimpun dalam sebuah panitia yang mengurus hajat besar ini? Hebatnya, sejauh yang saya ikuti, mereka mendapat dukungan penuh bukan hanya dari rakyat Mongondow, tetapi juga pemerintah dan DPR empat kabupaten dan satu kota di BMR.

Kalau ternyata seluruh syarat itu ada yang mandeg di tangan panitia, maka merekalah yang harus didemo. Artinya, orang-orang itu belum cukup pintar, tak bijak betul, apalagi pantas menjadi tokoh, dan karenanya layak didemo. Sebaliknya bila segalanya telah diurusi dengan benar, tapi tak didukung Gubernur dan DPR Provinsi Sulut (sebagai provinsi induk), mari kita kerahkan segala daya. Bila ratusan ribu orang Mongondow mendemo dan menduduki Kantor Gubernur dan DPR Provinsi Sulut, saya yakin mereka bakal terbirit-birit menanda-tangani dokumen apapun yang diperlukan demi pembentukan Provinsi BMR.

Membentuk provinsi, kabupaten, atau kota baru tak beda dengan orang menikah. Mana bisa kita melarang orang yang kebelet menikah? Dilarang pun, bila sudah saling cinta, segala daya bakal dikerahlan. Yang paling bikin jengkel, ya, pasangan yang kadung dibuta-tulikan romansa memilih kawin lari. Gubernur dan DPR Provinsi Sulut tentu tak ingin dicoreng wajahnya dengan ulah ‘’kawin lari’’ Provinsi BMR.

Demo yang salah tempat, salah cara, sebagaimana yang dipertontonkan oleh para aktivis yang terlampau bersemangat, menurut hemat saya justru bakal mencoreng niat baik pembentukan Provinsi BMR. Alih-alih mendapat dukungan, yang ada adalah antipati. Lagipula, siapa yang rela urusan penting yang mesti dikejar terhambat hanya karena ada aktivis yang merasa penting berdemo, pidato, mengblokade lalu lintas, lalu berpesta bakar ban dan keranda.

***

Merasa penting dan karenanya mementingkan show ketimbang substansi tampaknya menjadi masalah mental yang perlu dikoreksi serius di Mongondow. Saya tidak pernah merasa penting dan pantas dianggap penting. Itu sebabnya tatkala beberapa orang dari KRUPPBMR mengontak (bahkan mengirim surat elektronik) pada Kamis (24 Januari 2013), saya menyarankan agar mereka melihat seluruh isu pembentukan Provinsi BMR dengan komprehensif.

Saya setuju, mendukung, dan menghormati dibentuknya sebuah kelompok yang berperan sebagai control and pressure group, yang mendukung panitia pembentuk provinsi dengan cara berbeda. Tapi saya tidak sependapat bila kelompok itu memilih langkah yang tidak cerdas. Membuat selebaran atau aksi, misalnya, harus diperhitungkan sebagai tindakan memperkuat dukungan dan kepemilikan bersama. Bukan sebaliknya.

Sejujurnya, selebaran yang dikirimkan ke saya terlampau melelahkan dibaca. Kampanye yang baik dan efektif tidak memerlukan banyak kata. Satu-dua kata, satu-dua kalimat yang bernas, melebihi berlembar-lembar ocehan tidak perlu. Tengok saja tagline Obama di masa kampanyenya. Demikian pula, satu tindakan yang terorganisasi, tepat sasaran, dan efektif, lebih bermakna dari cara tradisional yang membuang-buang energi dan jauh dari subtansi.

Maka, dengan penuh hormat, saya menghimbau para aktivis dengan energi menggelora di KRUPPBMR, bolehkah kita duduk dengan kepala dingin merumuskan tindakan cerdas dan bermartabat yang pantas dilakukan demi pembentukan Provinsi BMR? Aksi berlebihan yang tak perlu bukan hanya membuang energi, menunjukkan kebodohan, melainkan juga dapat menggiring persepsi pada konklusi: Provinsi BMR memang cuma euphoria, bukan pilihan substantif yang bermartabat dan bertata-krama dari orang Mongondow.***