Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, December 1, 2016

Mengebumikan Aib Sebelanga Akibat Cabul Setitik

GELAP mata sesaat, rusak karir dan reputasi yang dibangun susah payah. Gara-gara pendek pikirin, dugaan pencabulan dengan kekerasan oleh Kabid di Dinas PU yang juga Ketua KNPI KK, Selasa, 29 November 2016, akhirnya bikin heboh se-BMR. Isu ini bahkan jadi berita utama harian terdepan yang terbit di Kotamobagu, Radar Bolmong, Kamis, 1 Desember 2016, yang memajang judul Heboh! Oknum Pejabat KK Dilapor Cabul.

Di ranah digital, hampir semua situs berita lokal menjadikan isu itu publikasi beranak-pinak. Pembaca disuguhi informasi yang kian hari kian detil. Dari kronologi kejadiannya; trauma yang kini dipikul terduga korban, siswi PSG usia 16 tahun; sikap orangtuanya yang kukuh menuntut penyelesaian hukum; konsekwensi-konsekwensi birokrasi, organisasi, dan sosial yang kini menggayuti terduga pelaku; hingga kesadaran bahwa predator anak dan perempuan bisa hadir dalam berbagai rupa dan sosok. Tidak terkecuali seorang Kabid, ketua organisasi kepemudaan pretisius, yang seharusnya jadi panutan di masyarakat.

Namun, pemberitaan yang marak itu sepi komentar, penjelasan, apalagi bela diri terduga pelaku. Dia bagai hilang ditelan bumi. Tak tampak batang hidungnya di kantor, yang membuat orang banyak--termasuk rekan-rekan kerjanya--menumpuk pertanyaan. Raibnya Kabid dari kantornya, sebagaimana yang dikutip totabuanews.com dari sumber di Dinas PU KK, Kamis, 1 Desember 2016 (https://totabuanews.com/2016/12/pasca-jadi-terlapor-asoy-dua-hari-tak-masuk-kantor), memang tidak diketahui dengan alasan apa.

Dengan pemberitaan yang sedemikian marak, yang menunjukkan peristiwa yang melibatkan Kabid itu terkait erat dengan penyalahgunaan dominasi, umum cenderung kehilangan simpati dan belas kasih. Opini yang berkembang di masyarakat tak ada yang meringankan pikulan yang kini bertumpuk di pundaknya. Orang banyak tidak peduli sekalipun di persembunyiannya Kabid barangkali tak henti berguling, menggarung-garung, melolong dalam banjir airmata penyesalan.

Umum yang perhatiannya terpusat pada terduga korban tak akan segan memojokkan terduga pelaku ke sudut paling paria. Pemkot KK, khususnya Walikota dan Sekkot, mau tak mau mesti segera bertindak. Rekan-rekan sekerjanya di Dinas PU akan menjauh karena tak ingin terasosiasi dan turut tercemar. Organisasi kepemudaan yang dipimpinnya bakal bersigegas membuang (sekalipun) pimpinan yang dianggap hanya jadi beban reputasi.

Publik, jika pemberitaan-pemberitaan masif masih terus berlanjut, juga tak ambil pusing bahwa dugaan pencabulan dengan kekerasan itu bakal menimbulkan korban berantai. Padahal, saat ini saja, selain terduga korban, penderitaan sudah tertimpa pada kedua orangtuanya, keluarga di lingkaran dalam, bahkan orang-orang dan keluarga terdekat terduga pelaku. Kedua pihak menanggung kesedihan, geram, dan derita yang kurang lebih sama. Kalau ada beda sifnifikan, maka orang-orang dan keluarga terdekat terduga pelaku mesti menahan tekanan tambahan: malu karena aib sosial.

Lebih berat lagi, mengingat konteks terjadinya di BMR, khususnya Kotamobagu, dengan mengarusutamanya dugaan pencabulan dengan kekerasan itu, serta telah dilaporkan pula ke Polres Bolmong, jalan menuju penyelesaian di luar hukum nyaris tertutup. Terlebih gosip-gosip yang bertebaran mulai terdengar penuh racun. Bahwa memang ada upaya penyelesaian kekeluargaan, ditariknya laporan polisi, dengan imbalan uang dengan jumlah nol di belakang angka pertama mencapai delapan.

Rumor seperti itu sungguh jahat dan berbahaya bagi dua pihak. Seolah-olah terduga pelaku dengan enteng menyelesaikan masalah karena punya uang berlimpah. Sebaliknya, keluarga terduga korban, jika menerima penyelesaian di luar hukum itu, tak beda dengan menjual harga diri putri mereka.

Saking santernya bisik-bisik seperti itu hingga seorang kawan mengirimkan BBM, menyampaikan keprihatinannya. Kawan yang juga seorang pewarta senior ini menulis, ''Kalu sampe dame, kong so dapa dengar gosip-gosip besae bagini, kasiang keluarga korban. Di mana-mana orang mo bicara kong cuma tunjung deng mulu bengko. 'Itu depe Papa dang, yang dapa doi dari depe anak pe masalah'; 'Napa depe Mama dang, yang trima doi karna kase biar depe anak orang cabuli'; atau, 'Itu dang itu anak, yang orang ada cabuli kong abis itu dapa bayar.' Kalu sampe bagitu, bayangkan brapa kali kasiang dorang jadi korban.''

Saya memahami konteks dinamika sosial dan kemasyarakatan di KK, tetapi tak pernah membayangkan ada kemungkinan isunya meliar sejauh itu. Namun, ikhtiar menyelesaikan masalah yang jadi aib sosial secara kekeluargaan memang adalah langkah terbaik ketika isunya belum menjadi konsumsi luas. Sayangnya Kabid yang juga ketua organisasi pemuda yang jadi terduga pelaku terlampau terlambat mengambil tindakan. Andai dia buru-buru menemui terduga korban dan keluarganya ketika fungsi otak sudah normal bersama raibnya birahi dari kepala, sebelum kejadiannya menyebar, tiba di meja polisi, lengkap dengan visum et repertum, barangkali risikonya (sesial-sialnya dia) cuma umpatan, tempeleng, dan satu-dua bogem dari ayah siswi PSG itu.

Nasi sudah tumpah dari belanga. Tidak banyak lagi yang dapat dilakukan. Tak pula dengan menemui seluruh pewarta di BMR dan memohon supaya peristiwanya tak terus diberitakan. Sebagai sebuah isu, kejadian dan orang yang terlibat di dalamnya adalah materi yang diimpikan para wartawan. Negeri ini masih dalam darurat pelecehan (termasuk pencabulan) terhadap anak-anak dan perempuan; ada pejabat publik yang juga tokoh kepemudaan yang terlibat; peristiwanya tampak terencana, lengkap dengan bukti-bukti keras; lalu dengan alasan apa media tak menyiarkan agar menjadi keawasan buat orang banyak?

Dari pengalaman bertahun-tahun jadi aktivis, jurnalis, lalu profesional korporasi yang bergelut dengan krisis dan konflik antara perusahaan dan pemangku kepentingannya, menurut saya, hanya ada satu jalan terbaik yang dapat menyelamatkan sang Kabid agar tak berkelanjutan jadi bulan-bulanan cemooh. Pertama, temui atasan langsung di Dinas PU, mohon segera dicopot dari jabatan dan diajukan ke sidang MKE. Kedua, temui ketua DPD KNPI Sulut dan minta segera dinonaktifkan dari jabatan ketua. Dan ketiga, proaktif ke Polres Bolmong, menyerahkan diri dan menyampaikan peristiwa dengan sejujur-jujur dan sebenar-benarnya.

Tiga langkah itu, bila dilakukan dalam waktu cepat sebagai upaya demage control, saya yakin dengan segera menyurutkan isunya dari perhatian media dan masyarakat. Toh jika dalam proses kemudian, baik di MKE, internal organisasi kepemudaannya, atau di kepolisian, ternyata dugaan pencabulan dengan kekerasan yang dilakukan tidak terbukti, seluruh jabatan, harga diri, dan reputasinya otomatis kembali utuh.

Kalau dalam proses etik dan hukum terbukti dia memang melakukan perbuatan yang didugakan, setidaknya hukuman sosial lewat cibiran, cemooh, bahkan hinaan, sudah menyurut. Lebih penting lagi, dengan mengambil tindakan tepat, Kabid yang juga tokoh pemuda di KK ini juga menghentikan meluasnya dampak buruk perbuatannya ke orang-orang yang semestinya tak perlu turut memikul akibat terujungnya yang lepas kontrol.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPD: Dewan Pengurus Daerah; Kabid: Kepala Bidang; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia; MKE: Majelis Kode Etik; Pemkot: Pemerintah Kota; Polres: Kepolisian Resor; PSG: Praktik Sistem Ganda; PU: Pekerjaan Umum; Sekkot: Sekretaris Kota; dan Sulut: Sulawesi Utara.