Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, December 5, 2016

Polres Bolmong, Bukankah Mencabuli Perempuan di Bawah Umur adalah Kejahatan Luar Biasa?

SAAT menyampaikan Perppu No. 1/2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak, Rabu, 25 Mei 2016, Presiden Joko Widodo mengemukakan, kejahatan terhadap anak adalah kejahatan luar biasa. Dan, tegasnya, ''Kejahatan luar biasa membutuhkan penanganan dengan cara-cara luar biasa pula.'' Video yang merekam pernyataan Presiden, beserta Perppu lengkapnya, antara lain dapat disimak di tautan http://news.detik.com/berita/3217764/ini-isi-lengkap-perppu-perlindungan-anak-pada-pelaku-kekerasan-seksual.

Di antara pasal-pasal kejahatan terhadap anak, isu pencabulan dengan kekerasan, Selasa, 29 November 2016, yang dilakukan oknum Kabid di Dinas PU yang juga Ketua KNPI KK, setidaknya terkait UU No. 23/2002, Pasal 76D, ''Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain'' dan/atau Pasal 76E, ''Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.''

Katakanlah oknum ASN yang kini jadi pusat gempa isu cabul di BMR itu dijerat dengan Pasal 76E, maka sesuai Perppu No. 1/2016, ancaman hukumannya merujuk ke Pasal 82, Ayat (1), ''Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).'' Bila dipertimbangkan korbannya adalah siswi PSG dan posisi pelaku adalah ''pengasuh'', maka dia terkait pula dengan Ayat (2) dengan ancaman: pidana ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Karena Ayat (1) dan (2), sesuai Ayat (5), pelaku kejahatan ini dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitasnya; Ayat (6), pelaku dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan cip; dan Ayat (7), tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. Menakutkan betul pidana yang mengintai Kabid birahi itu. Begitu dia ditetapkan sebagai tersangka, tidak ada alasan buat Polres Bolmong untuk tak langsung menjebloskan ke dalam bui.

Apalagi, memasuki hari ketujuh sejak peristiwanya terjadi, Senin, 5 Desember 2016, tekanan umum kian kuat agar kasus yang melibatkan korban pelajar usia 16 tahun ini ditindaklanjuti cepat dan tegas. Termasuk unjuk rasa yang digelar sejumlah orang di DPRD dan Pemkot KK, mendesak Walikota dan jajaran segera bersikap. Hasilnya, mengutip Kepala BKDD, Adnan Masinae, Kronik Totabuan menulis sanksi terhadap oknum Kabid mesum ini bakal dijatuhkan satu-dua hari ke depan (https://kroniktotabuan.com/daerah/adnan-kita-akan-beri-keadilan-kepada-korban). Akhirnya ada tindakan nyata yang sedikit memberi penghiburan terhadap korban dan keluarganya.

Jika Pemkot KK kita tancap gas, kabar dari Polres Bolmong yang sudah tujuh hari menangani kasus itu justru berkabut dan somu-somu. Cara kerja polisi ini sungguh menjengkelkan dan sama sekali tak berpihak pada korban. Membuat kepercayaan umum terhadap institusi yang katanya penegak hukum, pengayom, dan pelindung masyarakat ini, khususnya di BMR, tak beda dengan fluktuasi harga saham di bursa. Sangat tergantung faktor-faktor tertentu, termasuk pembagian deviden. Ada distribusi deviden, harga saham dipastikan naik. Tak ada insentif, saham merosot dan lama-lama tak lagi dilirik.

Begini saja, sebab isu ini sudah jadi pengetahuan umum, tak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Tujuh hari sudah terduga pelakunya belum disentuh polisi, padahal kasus yang menjerat dia tak sepele. Dia memang ASN yang punya ''jabatan basah'' di Pemkot KK, tokoh organisasi kepemudaan, datang dari latar belakang keluarga berduit. Itu sebabnya, barangkali, jajaran Polres Bolmong menyidik dengan kecepatan kura-kura kurang gizi, bahkan terkesan penyidik dari Unit PPA yang mengurusi kasusnya mirip petugas Lantas yang diperbantukan di Reskrim. Pura-pura bingung dan mengulur waktu.

Bapak-bapak polisi yang terhormat, terutama Kapolres yang kursinya belum panas diduduki, film-film Hollywood dan Internet meruahkan pelajaran pada publik bagaimana seharusnya polisi bekerja. Kasus yang sekarang jadi pergunjingan dan cibiran ini, terlebih melibatkan korban seorang perempuan sekaligus anak di bawah umur, mutlak diperlakukan istimewa dan ditangani secepat kilat.

Kami, yang dianggap awam ini dan mau saja dibodohi dengan kata ''prosedur'' dan ''proses'', maaf-maaf saja, tidak sepandir itu. Tidak juga majal akal untuk mengingatkan bahwa dua bukti permulaan cukup untuk menyeret seorang terduga pencabulan (apalagi percobaan pemerkosaan) dengan kekerasan, langsung ke dalam bui. Negeri ini, sekali lagi, sedang darurat pelecehan perempuan dan anak; yang sesuai UU dan turunannya mengancam pelaku dengan penjara di atas lima tahun.

Tujuh hari tanpa polisi menyentuh terduga pelaku menunjukkan penegak hukum, pelindung, dan pengayom masih slogan omong-kosong. Fakta kasus yang melibatkan ASN soing itu adalah: ada kejadian, ada korban, ada visum et repertum. Bukti tambahan apa lagi yang dibutuhkan? Bagian manakah dari Pasal 76E UU No. 23/2002 2016 (yang jangankan seorang perempuan di bawah umur dipeluk paksa dan digerayangi; sekadar godaan verbal yang menjurus pada kecabulan sudah membuat pelakunya diancam hukuman di atas lima tahun) dan Perppu No. 1/2016  yang tak dimengerti penyidik PPA? Aspek mana pula dari ''instruksi'' Presiden agar kasus yang melibatkan anak-anak diperlakukan sebagai ''kejahatan luar biasa'' yang gagal dipahami Kapolres dan jajarannya?

Rasanya kok mulai ada bau busuk yang meruap dari cara polisi menangani kasus itu. Bolak-baliknya penyidik PPA meminta keterangan pada orangtua korban, korban, kemudian saksi, lalu para saksi lagi, apa sekadar modus bermain-main permen karet? Apalagi di saat sama ada lalu-lalang sogok untuk media dan wartawan supaya isunya tidak di-blow up serta pendekatan masif dengan iming-iming duit ke keluarga korban agar kasusnya diselesaikan secara kekeluargaan. Wajar bila ada syak, jangan-jangan sejak mula polisi memang sudah kendor dan masuk angin gara-gara dikipasi banyak lembaran Soekarno-Hatta?

Aparat berwenang yang masuk angin sama berbahayanya dengan pelaku kejahatan itu sendiri. Sama-sama jahanam. Dengan tetap berbaik sangka, di mana pastinya Polres Bolmong dan aparat penyidiknya berpihak dalam kasus dugaan pencabulan siswi PSG di Dinas PU KK ini, semestinya dapat dikonklusi sebelum pekan ini berakhir. Jika prosesnya masih dijalankan bak keong pilek, tahulah kita sudah saatnya korban, keluarga, dan orang-orang yang peduli menaikkan kasus ini ke Divisi Propam.

Dari pengalaman, yang kendor dan masuk angin sekejap bisa dibuat kempes dan menguap.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; BKDD: Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Kabid: Kepala Bidang; Kapolres: Kepala Kepolisian Resor; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasionak Pemuda Indonesia; Lantas: Lalu Lintas; Pemkot: Pemerintah Kota; Perppu: Peraturan Pemerintah Pengganti UU; Polres: Kepolisian Resor; Propam: Profesi dan Pengamanan; PPA: Perlindungan Perempuan dan Anak; PSG: Praktek Sistem Ganda; PU: Pekerjaan Umum; Reskrim: Reserse Kriminal; dan UU: Undang-undang.