Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, December 19, 2016

Polres Bolmong, Belajarlah ke Polres Pulau Ambon

SENIN, 19 Desember 2016. Dugaan pencabulan dengan kekerasan terhadap pelajar berusia 16 yang dilakukan oknum yang sudah dimantankan sebagai Kabid di Dinas PU dan (juga dimantankan) Ketua KNPI KK telah 21 hari berlalu. Kabar dari Polres Bolmong yang menangani kasus ini kian hebat: tak jelas ujung-pangkalnya. Media, terutama situs-situs berita, juga pelan-pelan meredupkan tensi pemberitaannya.

Hampir tak adanya pembaharuan isunya bukan berarti media dan wartawannya so ta smer lei, sebagaimana bakusedu yang kerap saya dipertukarkan dengan (khususnya) beberapa Pemred dan wartawan situs berita di BMR. Walau cukup banyak media yang sejak mula diam sebab disemir rupiah agar bungkam memberitakan ihwal najis terduga cabul itu, harus diakui beberapa situs berita dan koran tak surut mengawal peristiwa ini dan proses penyidikannya.

Meredanya pemberitaan dugaan cabul itu dalam beberapa hari terakhir sepenuhnya dapat dimengerti. Memang, untuk apa media menulis pernyataan dari polisi yang selain itu-itu saja (''masih ada pemeriksaan saksi tambahan'', ''perlu keterangan tambahan dari terduga korban'', atau ''masih akan meminta keterangan ahli''), tampak jelas berusaha berkelit dari menyentuh langsung tersangka. Misalnya, kapan tersangka akan diperiksa kembali (jika pun akan diperiksa), kelihatannya bakal jadi tebak-tebakan suara tokek. Satu-satunya yang diketahui publik, beberapa hari lampau polisi menginformasikan tersangka batal diperiksa karena sakit.

Saya sesungguhnya tidak heran dengan alasan klasik yang biasanya dijadikan senjata oleh tersangka tindak pidana: tiba-tiba jatuh sakit. Dalam kasus oknum ASN yang diduga mencabuli siswi PSG itu, tatkala otaknya sudah kembali ke kepala, wajar jika seluruh jasmani dan rohaninya merana. Siapa yang tak gemetar menyadari bahwa ancaman hukuman perbuatannya bertumpuk-tumpuk: pencopotan dari jabatan Kabid dan Ketua KNPI baru preambul. Begitu kasusnya dilimpahkan ke pengadilan dan putusan hukum jatuh, selain bui bertahun-tahun, dia pasti akan dipecat sebagai ASN.

Itu ancaman sesuai hukum formal di negeri ini. Di tingkat sosial-kemasyarakatan, sanksi orang banyak sudah dijatuhkan sejak kejadiannya menjadi isu yang dengan cepat disebar dari mulut ke mulut. Diamnya yang bersangkutan, ditambah aktif dan gigihnya para penyokongnya mendekati keluarga terduga korban demi menawarkan penyelesaian damai, seperti memaklumat dan mengaminkan benar belaka dugaan yang kini mencekik lehernya.

Dalam kondisi seperti itu, orangtua mana di KK (bahkan BMR) yang sudi melihat terduga di jarak kurang satu meter dari putri mereka? Siapa yang tidak was-was anak mereka juga mendadak dirogoh atau dikekep? Ibu-ibu mana yang tidak memonyongkan mulutnya dan berbisik, ''Itu dang itu pencabul'', begitu melihat terduga berkeliaran di ruang publik?

Berlarut-larutnya penyidikan kasus itu cuma memperpanjang penyiksaan. Percuma mengharap umum perlahan-lahan lupa sebab kasus ini sudah terpapar dan terinternalisasi, yang bahkan telah mulai mengundang pula cibiran terhadap Polres Bolmong dan kinerjanya. Apalagi, sulit menggelakkan fakta bahwa polisi memang jauh dari memihak korban. Padahal, untuk yang kesekian kalinya saya menukil Presiden Joko Widodo, tindak pidana terhadap anak-anak adalah kejahatan luar biasa yang memerlukan penanganan yang luar biasa pula.

Untuk kasus dugaan pencabulan dengan kekerasan oleh oknum mantan Kabid dan Ketua KNPI KK itu, di hari ke 21 sejak dilaporkan oleh terduga korban dan orangtuanya, harus diakui Polres Bolmong telah menunjukkan cara penanganan yang berbanding terbalik dengan pernyataan Presiden: luar biasa lambat dan luar biasa amatirnya. Melihat kinerja polisi yang seperti ini, saya tidak tahu mesti terbahak-bahak atau tersedu-sedu. Beginikah cara institusi penegak hukum, yang secara nasional bertekad menjadi lebih baik, lebih profesional, menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya?

Kasus itu, buat saya pribadi, sungguh menggerus kepercayaan (yang memang sangat tipis) terhadap Polres Bolmong. Saya bahkan mulai bersiap-siap tak terkejut bila pada hari ke 42 sejak dilaporkan ternyata kasusnya masih tetap menggantung.

Ironisnya, di bagian lain negeri ini, polisi bisa dengan cepat menangani kasus dugaan pencabulan terhadap anak-anak. Bahkan kurang dari 36 jam sejak peristiwanya terjadi, polisi sudah mencokot terduga pelaku, menetapkan sebagai tersangka, dan melemparkan ke dalam tahanan.

Kerja cepat polisi itu saya baca di kompas.com, Senin, 19 Desember 2016, Pulang Bermain dari Rumah Teman, Siswi SD Dicabuli Tetangganya (http://regional.kompas.com/read/2016/12/19/14391051/pulang.bermain.dari.rumah.teman.siswi.sd.dicabuli.tetangganya). Kasus di wilayah hukum Polres Pulau Ambon ini melibatkan pelaku, Agus Ruhulesin (kompas.com dan polisi bahkan tidak menyatakan pelaku dengan inisial), yang mencabuli seorang siswi SD pada Sabtu, 17 Desember 2016.

Menurut penuturan Ibu korban, pada hari kejadian sang putri bermain ke rumah temannya. Saat pulang, korban dipanggil oleh pelaku ke rumahnya, diajak ke kamar, dan dicabuli. Kelakuan bejad pelaku yang tak lain tetangga korban dan keluarganya ini, terbongkar karena korban kemudian menceritakan pencabulan yang dialaminya. Mendengar penuturan putri mereka, orangtua korban segera melapor ke Polres Pulau Ambon, yang langsung bertindak dan kini menyidik pelaku dengan UU Perlindungan Anak.

Kompas.com tak menulis bukti-bukti apa yang digunakan Polres Pulau Ambon hingga langsung mentersangkakan pelaku. Yang pasti, kelihatannya polisi tidak perlu meminta keterangan saksi ahli dan memeriksa banyak saksi, sebab mereka mampu bertindak dengan cepat. Atau barangkali polisi di Polres Pulau Ambon sangat gesit sebab tersangka bukan ASN yang Kabid di dinas ''basah'' dan Ketua KNPI?

Tak urung, berita kompas.com mengundang banyak tanya di kepala saya. Apakah pendidikan kepolisian penyidik PPA dan atasan mereka di Polres Pulau Ambon berbeda dengan aparat di Polres Bolmong, hingga tak sama pula luarannya? Apakah bukti-bukti kasus pencabulan siswi SD itu berkali-kali lebih solid dibanding yang dialami siswi PSG di KK, dan karenanya polisi dengan cepat bisa menetapkan tersangka? Atau, mungkinkah sebab aparat di Polres Pulau Ambon lebih mengerti UU Perlindungan Anak?

Kabar dari Polres Pulau Ambon itu, di hari ke 21 dan masih menggantungnya penyidikan dugaan pelecehan dengan kekerasan oleh terduga mantan Kabid dan Ketua KNPI KK, adalah ironi menyesakkan. Barangkali tak salah jika sudah waktunya warga KK yang masih memelihara kesadaran dan kewarasan melindungi perempuan dan anak-anak dari ulah cabul, mulai mengumpulkan koin, sumbangan supaya aparat Polres Bolmong boleh studi banding ke Polres Pulau Ambon. Kalau ada yang bersedia, saya menyatakan memulai dengan mendonasikan seluruh koin yang sudah dikumpulkan setidaknya dalam 10 tahun terakhir.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Kabid: Kepala Bidang; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia; Polres: Kepolisian Resor; PPA: Perlindungan Perempuan dan Anak; PSG: Praktik Sistem Ganda; PU: Pekerjaan Umum; SD: Sekolah Dasar; dan UU: Undang-undang.