Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, December 15, 2016

''Eyang, Bekeng Cemburu Do' Itu Tangan''

TEPAT jeda makan siang, Selasa, 13 Desember 2016, WA saya menerima dua foto yang dapat ditafsir dengan sejuta makna. Sebuah foto, kata ungkapan yang kerap kita dengar, bisa mewakili ekspresi ribuan kata. Dua foto tentu lebih banyak lagi.

Foto pertama menunjukkan Walikota KK, Tatong Bara, dan Bupati Boltim, Sehan Landjar, berpegangan tangan di depan Ruang Mapalus, Kantor Gubernur Sulut. Yang lain, masih dengan bergenggam tangan, keduanya berpose sembari mengacungan jempol. Momen ini memang pantas disebar, apalagi mengingat belakangan, sejak Muswil PAN Sulut, kabar-kabar yang bersiliweran menyebut hubungan (politik dan sosial) Tatong dan Eyang tengah deman tinggi dan diguncang meriang.

Pokoknya, kata ''tukang antar cirita'' dan''ahlul gosip'', kedua pemimpin daerah di BMR ini sedang baku feyem.  Bisik-bisik ini kian sedap digosok karena di Pilkada Bolmong 2017 Walikota dan Bupati yang sama-sama berasal dari PAN ini bertolak pilihan. Tatong mendukung pasangan YSM-YRT, Eyang gigih mengusung SBM-JT. Ditambah lagi, di suksesi DPD PAN KK konon Eyang pro Wawali Djanuddin Damopolii yang ''katanya'' bakal jadi pesaing Tatong Bara di Pilwako 2018 mendatang.

Mundur ke belakangan, di Pilkada Boltim 2015 lalu, Tatong yang ketika itu masih Ketua DPW PAN Sulut terang-terangan tidak berdiri di depan atau belakangan pasangan Sehan Landjar-Rusdi Gumalangit yang diusung partainya. Dia bersikukuh menyokong duet Sachrul Mamonto-Medy Lensun. Perbedaan politik tajam ini dikompromikan dengan alasan kedua cabup sama-sama berasal dari PAN. Eyang adalah kader PAN yang direstui partai, demikian pula Sachrul yang tak lain Ketua DPD PAN Boltim tetapi diusung oleh partai lain.

Setelah sekian lama dihuru-hara persepsi berseberangan pilihan politik, seolah keduanya memang berseteru berat, dua foto itu sungguh jadi kenyataan mengejutkan; sekaligus menyejukkan. Pose keduanya, yang saya tahu kemudian terjadi berkaitan dengan penyerahan DIPA oleh Gubernur Sulut, Olly Dondokambey, pasti tidak dibuat-buat. Bukan sekadar konsumsi pemuas ghirah para penggosip politik.

Tersebab itu, dua foto yang saya terima tampaknya perlu dicermati. Bagi saya pribadi, yang langsung menyedot perhatian adalah tampilan Eyang yang telah beberapa bulan tak saya sua. Sedianya, ketika berada di Kotamobagu pada November lalu, saya berniat pulang ke Manado lewat Boltim dan mampir ke kediamannya. Sekadar berkagen-kangen dengan seorang kawan (Eyang selalu kawan yang menyenangkan, dalam kesepahaman atau ketidaksepahaman), menyesap kopi dan berbual-bual. Sayang, karena mendapat panggilan mendesak agar segera kembali ke Jakarta, saya terpaksa mengurungkan niat ini.

Di foto-foto itu, yang diambil dengan angle agak menyamping, saya lihat Eyang maju pesat. Dia kini ''puti'' atawa puru tinggi. Mengejutkan benar, sebab terakhir kali kami bertemu dia masih sosok yang terjaga vitalitasnya, gempal tanpa lemak berlebih, dan yang terpenting: perutnya tak kalah dengan kaum muda usia sebelum 30-an. Memang bukan perut six pack, tapi paling tidak bukan family pack-lah. Eyang di akhir 2016 yang saya lihat di foto itu memang tetap punya senyum lebar, lengkap dengan kumis dan jenggot andalan, tetapi lebih chubby. Ah, ''puti''-nya Eyang kelihatannya adalah bagian dari simbol kemakmuran dan kemapanan.

Perhatian kedua saya adalah tangan Tatong dan Eyang yang saling menggenggam. Ini tentu petanda mereka menegaskan, ''Lihat saja, tidak ada perseteruan di antara kami. Kalian saja yang doyang menduga-duga dan berspekulasi.'' Bahwa kemungkinan ada jari-jari yang sudah kram karena terlampau kuat digenggam untuk menyalurkan kejengkelan, setidaknya saat ini belum ada laporan tindak pidana kekerasan yang dilayangkan salah satu di antara mereke ke Polda Sulut atau Polres Bolmong. Saya yakin, saling menggenggam antara Walikota KK dan Bupati Boltim itu jauh dari perkara sebagaimana yang kini menjerat mantan Kabid di Dinas PU yang juga sudah dimantankan sebagai Ketua KNPI KK.

Tak dapat dipungkiri, genggaman tangan itu yang memang jadi atensi utama kebanyakan orang. Termasuk dijadikan BB Picture oleh seorang kawan, wartawan di KK,  yang hari itu kebetulan sedang chat dengan saya. Dan tak lama setelah menerima dua foto itu, WA dan BBM saya menerima kiriman gambar yang sama dari sejumlah orang, lengkap dengan aneka komentar. Ada yang menulis, ''Lia kua' Eyang pe tangan. Pe kuat skali depe ba pegang.''; ada yang bilang, ''Ada yang sampe di rumah mo dapa veto deng dapa cubit.''; atau, ''So baku bae dang? So riki baku pegang tangan bagini, masak mo bakalae lei?''

Foto memang mampu mewakili ribuan kata. Termasuk kata-kata yang mengungkapkan perasaan senang, bahagia, sedih, marah, bahkan cemburu. Olehnya, saya tidak pula heran membaca salah satu komentar yang menyertai foto pose Tatong dan Eyang bergenggam tangan sembari mengacungkan jempol, yang bilang, ''Adoh, Eyang, bekeng cemburu do' itu tangan kang.'' Saya tak hendak memberi tafsir apapun terhadap komentar ini, tetapi jika dipikir-pikir, genggaman tangan dua pimpinan daerah itu memang bikin cemburu mereka yang merasa perlu cemburu. Ehemmmm, apapun alasan cemburu itu.

Untung saya tak berada di barisan mereka yang melihat pose Walikota KK dan Bupati Boltim itu dengan dag-dig-dug cemburu. Tatong adalah kerabat dekat dari sisi Ayah, Eyang teman--yang secara pribadi saya klaim--akrab, pula saya sedang tak kepingin pulang ke rumah dan mendapat semprotan disertai mata melotot, ''Soing!''

Saya memaknai foto-foto itu mewakili momen yang diharapkan oleh masyarakat BMR serta--lebih terkhusus--warga PAN di Sulut. Dua politikus ini, yang sama-sama kader elite PAN, pantas guyup dan seling menyokong, karena dengan begitu mereka mampu memberikan kontribusi terbaiknya. Bahkan, syukur-syukur saling genggam di Kantor Gubernur Sulut berlanjut dengan dukungan yang sama di Pilkada Bolmong, kemudian selesainya masalahnya di DPD PAN KK, lalu ada gebrakan kersama KK-Boltim yang diinisiasi keduanya.

Bahwa hingga tulisan ini diunggah masih ada yang penasaran dengan urusan genggaman tangan  dua pemimpin daerah itu, saya dengan takzim menyarankan, ''Bagaimana jika ditanyakan langsung ke Eyang?'' Saya kira, Eyang pasti akan senyum-senyum dan ber-ha ha-hi hi saja. Percayalah, itu genggaman rekonsiliasi. Sebab Eyang, setahu saya, sebagaimana yang selalu dia katakan, masih tetap lebih berani terhadap KPK ketimbang KUA.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BB: BlackBerry; BBM: BlackBerry Messenger; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Cabup: Calon Bupati; DIPA: Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran; DPD: Dewan Pimpinan Daerah; DPW: Dewan Pengurus Wilayah; Kabid: Kepala Bidang; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia; KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi; KUA: Kantor Urusan Agama; Muswil: Musyawarah Wilayah; PAN: Partai Amanat Nasional; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); Polda: Kepolisian Daerah; Polres: Kepolisian Resor; PU: Pekerjaan Umum; SBM-JT: Salihi Bue Mokodongan-Jefri Tumelap; Sulut: Sulawesi Utara; WA: WhatsApp; Wawali: Wakil Walikota; dan YSM-YRT: Yasti Soepredjo Mokoagow-Yanny Ronny Tuuk.