Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, December 17, 2016

''Lendir'' Cabul Memercik Hingga Walikota dan Kasat Reskrim

TELAH 19 hari, terhitung sejak Selasa, 29 November 2016, kasus dugaan pencabulan oleh oknum (mantan) Kabid di Dinas PU dan (mantan) Ketua KNPI KK ada di tangan Polres Bolmong. Di media massa, kendati sepotong-sepotong dan tak sinkron antar satu aparat dengan lainnya, orang banyak rutin beroleh info perkembangannya. Hasilnya, selamat untuk polisi, sejauh ini kinerja mereka tetap selambat siput pilek dengan capaian sebundar dan sehijau telur bebek.

Tidak setiap hari ada kasus seterang dan sejernih dugaan cabul oknum ASN Pemkot KK yang oleh MKE sudah dicopot dari jabatannya, yang ditangani PPA Polres Bolmong. Yang proses penyidikannya telah memanggil lebih dari 10 saksi, hatta pula termasuk ahli pidana (luar biasa! Di bagian mana kasus ini yang tidak dipahami penyidik dan atasannya? Sebab mahasiswa hukum semester empat saja sudah bisa mengkonklusi dengan mudah). Namun, alih-alih tindak pidananya kian terang, yang bersiliweran justru gosip-gosip bau amis kongkalingkong terduga-aparat dan cara kerja ecek-ecek polisi.

Dengan sedikit lebih cermat dan sabar mengumpulkan fakta (juga bukti-bukti), busuk yang meruyak itu tampaknya lebih dari sekadar gosip. Toh selidik-menyelidik dan investigasi bukan ilmu yang cuma dikuasai kepolisian. Dalam banyak kasus, ahli dan pakarnya bahkan bergiat di luar urusan penengakan hukum.

Supaya tak jadi fitnah dan spekulasi yang berujung dugaan tindak pidana baru, mari kita selisik (lagi) faktanya dengan hati-hati. Pada Selasa, 29 November 2016, oknum Kabid di Dinas PU KK mengajak seorang siswi PSG yang baru berusia 16 tahun meninjau proyek jalan di wilayah Moyag. Ketika itu hujan deras, lokasi dan jalan yang mereka lalui tergolong sepi. Lalu ada tindakan tak senonoh yang dilakukan oknum bejad ini. Apa bentuknya, tentu tak perlu dibeber detail sebab tulisan ini bukan artikel porno. Lagi pula, setiap tindak pidana yang melibatkan perempuan, terlebih berusia di bawah umur, mutlak mesti mengindahkan perlindungan terhadap korban.

Yang jelas ada pemaksaan dan kekerasan fisik yang dibuktikan dengan visum et repertum. Ada upaya pembungkaman terhadap korban dengan duit senilai lebih Rp 700 ribu (Kabid kok doyan recehan?). Ada pula pelecehan dengan menurunkan terduga korban di salah satu ruas jalan di kelurahan tempatnya bermukim (akal sehat bilang, jika semuanya normal belaka, orang yang bertanggung jawab semestinya mengantarkan seorang anak perumpuan di bawah umur, minimal hingga ke depan kediamannya). Tak kurang penting, kejadiannya berlangsung pada jam kerja ASN dan waktu praktik siswi PSG yang jadi terduga korban.

Ada laki-laki dewasa (seusia ayah terduga korban) yang punya kuasa dan pengaruh (serta, tentu saja, uang); ada terduga korban, remaja perempuan yang masih sekolah, yang diajak (bukan turut dengan sukarela, terlebih menawarkan diri); di tempat sepi dan jauh dari pantauan umum; dan ada kejadian tak senonoh. Pencabulan. Tidak perlu punya ilmu kepolisian kelas wahid untuk menyimpulkan: terdapat dominasi dalam kasus ini. Oleh om-om (gatal) kepada anak perempuan. Dari yang punya kekuasaan dan kuat (termasuk kuasa uang) terhadap yang dianggap have no power dan lemah.

Tapi, itulah, setelah 19 hari berlalu dengan sejumlah saksi dan temuan, Polres Bolmong masih tertingkah bagai kucing berputar-putar mengejar ekor. Padahal bukti-bukti sudah melimpah. Ada korban, visum et repertum, uang yang dipaksa diberikan, bahkan juga keputusan MKE yang mencopot oknum terduga pelaku dari jabatannya. Bukti apa lagi yang diperlukan, kecuali alasan yang diada-adakan dan manipulatif entah untuk meringankan terduga atau--lebih gila lagi--supaya dia lolos dari jerat hukum.

Penyidikan polisi yang dapat diikuti publik di media, hanyalah puncak gunung es kasus ini. Di bawahnya ada tali-temali kusut yang saling bersinggungan dan membelit. Cuma sekadar gosip dan mulu-mulu? Tunggu dulu, bagi yang paham ''kebudayaan orang Kota'', mulu-mulu justru kerap adalah kebenaran umum yang tidak diformalkan. Fakta yang pengetahuan yang diperlakukan sebagai tahu-sama tahu sajalah.

''Lendir'' kasus dugaan cabul itu memang sudah memercik ke mana-mana. Kata mulu-mulu, misalnya, terduga masih ongkang-ongkang kaki karena dia sebenarnya mendapat ''perlindungan'' Walikota Tatong Bara. Proteksi ini bagai ruas ketemu buku karena Kasat Reskrim Polres Bolmong juga tak kurang gigih melindungi yang bersangkutan. Kepentingan Walikota terhadap oknum ASN itu berkaitan dengan kemungkinan buka mulutnya dia soal permainan proyek di PU KK, yang ''konon'' terkait langsung dengan orang nomor satu Pemkot ini. Demikian pula Kasat Reskrim yang jauh sebelum kasus ini ''katanya'' sudah menikmati berkah keuntungan dari hubungannya dengan terduga, yang terjalin lewat seorang polisi yang jadi anggotanya.

Yang sedap dari mulu-mulu ''orang Kota'', para pengantar ceritanya tak sekadar bicara. Mereka suka menganjurkan bukti-bukti, mulai dari sekadar rekaman capture WA dan BBM, rekaman suara yang diambil diam-diam, hingga dokumen yang terkait dengan kisah yang diantarkan.

Dalam soal mulu-mulu dan gosip itu, saya memilih netral dan menunggu orang-orang yang disebut membuktikan sendiri kebenaran atau ketidakbenarannya. Terutama Kasat Reskrim Polres Bolmong, yang--sekali lagi ''katanya''--mati-matian mencoba meringankan posisi terduga, dari mengulur-ngulur proses penahanan hingga mencari-cari alasan agar alih-alih dijerat dengan UU No. 23/2002 yang kemudian diubah dengan UU. No. 35/2014 dan terakhir disempurnakan dengan Perppu No. 1/2016, tindak pidananya justru dikenai KUHP.

Masak iya polisi, terlebih di jabatan Kasat Reskrim, tak cermat membaca UU dan Perppu itu, serta KUHP, lalu pura-pura meluputkan bahwa definisi hukum anak di Indonesia adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun? 

Di sisi berlawanan, ''lendir'' oknum terduga cabul itu menyasar pula orang-orang yang sama sekali tidak punya kaitan dan kepentingan. Maka muncullah tuduhan aneh seperti ada Wawali KK, Djainuddin Damopolii, di balik aksi mendukung tuntutan hukuman terhadap terduga, termasuk demonstrasi yang digelar sejumlah orang, karena rivalitas politiknya dengan Walikota. Nama lain yang dikait-kaitkan adalah anggota DPRD KK, Begie Ch. Gobel, hanya karena dia menerima aspirasi para pengunjuk rasa pada Senin, 5 Desember 2016.

Namun, di antara semua mulu-mulu yang sampai di kuping saya, yang paling menggelikan adalah pernyataan ASN yang kini berdiri sebagai salah satu pembela gigih terduga cabul itu. Begitu bernafsunya, ASN ini bahkan tak henti bersafari menemui pihak-pihak yang dianggap dapat dia lunakkan, khususnya keluarga terduga korban. Pernyataannya, kurang lebih, bahwa mengedepannya kasus cabul ini di KK tak lepas dari peran saya (melalui sekelompok orang dekat) tersebab rivalitas dengan dia yang berakar sejak zaman mahasiswa.

Saya terbahak-bahak begitu diberitahu siapa ASN dimaksud. Ada persaingan apa dengan si megalomania narsis itu? Saya tidak pernah ingat ada persentuhan kepentingan dengannya sejak masa mahasiswa, apalagi kemudian setelah saya meninggalkan kampus dan sepenuhnya bekerja di luar BMR. Tak pula saya tahu ketika itu dia tergolong orang penting di kampus dan perlu saya saingi.

Ai, betapa menggelikannya. Boleh-boleh saja Anda merasa punya rivalitas dengan saya, Bung. Tapi jika itu seperti cinta, Anda bertepuk sebelah tangan. Soalnya, jangankan merasa bersaing, menganggap penting Anda saja sama sekali tak terlintas di benak saya. Memangnya siapa Anda?

Pencabulan dan kekerasan terhadap perempuan di bawah umur yang kini jadi isu panas di KK adalah fakta tak tertolak dan hampir mustahil dimanipulasi. Bagi para pembela terduga pelaku, terima saja kenyataan ini. Bahwa kemudian dia mesti dijerat dengan UU Perlindungan Anak yang telah disempurnakan dengan Perppu No. 1/2016, satu-satunya penyelamat yang mungkin adalah sesegera mungkin menjalani persidangan. Memperpanjang-panjang urusan dengan mengulur-ngulur waktu cuma menarik kesengsaraan menjadi lebih lama. Siapa suruh tak kuat menahan gatal karena terujung kronis.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; BBM: BlackBerry Messenger; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Kabid: Kepala Bidang; Kasat: kepala Satuan; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana; MKE: Majelis Kode Etik; Pemkot: Pemerintah Kota; Perppu: Peraturan Presiden Pengganti UU; Polres: Kepolisian Resor; PPA: Perlindungan Perempuan dan Anak; PSG: Praktik Sistem Ganda; PU: Pekerjaan Umum; Reskrim: Reserse Kriminal; UU: Undang-undang; WA: WhatsApp; dan Wawali: Wakil Walikota.