Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, December 9, 2016

Betapa Tak Lucunya Lawakan Polres Bolmong

BERADA di daerah terpencil dengan signal selular tertatih-tatih, saya baru membaca berita yang bersiliweran di BMR pada Jumat siang, 9 Desember 2016, saat dalam perjalanan menuju bandara. Yang pertama saya telusuri adalah pembaharuan isu dugaan cabul dengan kekerasan yang dilakukan oknum Kabid di Dinas PU dan Ketua KNPI KK yang tengah jadi sorotan di seantero BMR.

Selama kehilangan kontak dengan dunia digital, perkembangan isu itu ternyata sangat pesat. Oknum ini telah dicopot dari jabatannya, baik di Dinas PU maupun KNPI KK. Dia sudah jadi mantan, tetapi tetap menyandang terduga cabul terhadap siswi PSG yang baru berusia 16 tahun.

Yang mencegangkan, sebagaimana yang saya baca dari unggahan kroniktotabuan.com, Rabu, 7 Desember 2016 (https://kroniktotabuan.com/hukum-kriminal/enam-jam-diperiksa-asoi-tak-ditahan), setelah menjalani pemeriksaan sekitar enam jam di Unit PPA Polres Bolmong, mantan pejabat dan tokoh organisasi pemuda terduga cabul itu belum ditahan. Lucunya lagi, masih dari situs berita yang sama, usai pemeriksaan polisi, terduga yang didampingi pengacara, ngibrit menghindari para pewarta.

Sesungguhnya, diperiksa sebagai apakah oknum tersebut? Kalau saksi, kok sudah didampingi pengacara? Namun, baiklah, sebagai ''drama'', lakon terduga dan polisi yang dipentaskan setelah sekitar enam jam pemeriksaan itu masih lucu. Saya terbahak-bahak membayangkan orang yang selama ini berjalan dengan dada membusung dan kepala mendongak terbirit-birit melarikan diri dari pertanyaan sederhana para jurnalis: ''Benarkah Anda melakukan pencabulan?''; ''Apa yang sebenarnya Anda lakukan?''; atau ''Kok Anda tega, ya?''

Pertanyaan dan celutukan-celutukan wartawan, terutama dalam kasus-kasus asusila, memang menjengkelkan. Bikin panas kuping dan hati bukan hanya oknum yang jadi terduga, tapi juga orang-orang yang ada di sekitarnya. Terlebih hingga hadir di pemeriksaan di PPA Polres Bolmong, terduga sama sekali belum pernah buka mulut. Dia juga tak hadir di sidang MKE serta rapat KNPI KK yang memutuskan pencopotan dari jabatannya.

Sebenarnya, dengan logika paling sederhana, secara tersirat dan tersurat, oknum mantan Kabid dan Ketua KNPI KK itu menunjukkan dia memang bersalah. Jika apa yang didugakan, memeluk dan mengeranyangi, kemudian ''menyuap'' seorang pelajar kategori anak-anak untuk menutupi perbuatan, tidak dia lakukan, ya, muncul saja ke depan publik. Bantah dugaan yang telah berkembangan bagai ilalang terbakar di musim kemarau itu. Nyatakan siapapun yang membicarakan telah melakukan tindak pidana fitnah.

Apa sulitnya seseorang yang berpendidikan cukup tinggi, duduk di jabatan birokrasi, ketua organisasi kepemudaan pula, menjelaskan duduk-soal sebuah dugaan jika itu tidak benar. Kecuali, sekolahnya memang tak pernah genap. Cuma beli ijazah. Jabatannya sekadar diperoleh karena politik kantor dan belas kasihan politik. Ketokohannya di kalangan pemuda cuma hasil karbitan. Tampak masak tapi sepat belaka. Dan yang terpenting: patut diwasangka, dia tak mampu hadir di depan orang banyak (termasuk masuk kantor sebagai salah satu kewajiban pokok seorang ASN) karena perbuatan itu benar-benar dilakukan. Dengan sadar dan (mungkin) terencana.

Kelucuan perkembangan isu dugaan pencabulan itu mulai kehilangan gigitan saat saya membaca pernyataan Kapolres Bolmong, AKBP Faisol Wahyudi, SIK, salah satunya yang dipublikasi zonabmr.com, Kamis, 8 Desember 2016 (https://www.zonabmr.com/soal-kasus-cabul-siswi-psg-faisol-status-terlapor-masih-saksi/). Menurut Kapolres, status terlapor masih sebagai saksi. Bahkan, polisi masih akan melakukan pemeriksaan terhadap saksi tambahan, termasuk memeriksa kembali siswi di bawah umur yang jadi korban.

Situs berita itu juga mengutip, pemeriksaan lanjutan untuk memperkuat proses yang dijalani penyidik dilakukan, ''Untuk mensingkronkan kronologis kejadian yang dilaporkan.'' Kontradiksinya, Kapolres juga mengemukakan bahwa sesuai SOP, penanganan kasus seperti ini minimal tiga hari.

Aduh, Kapolres, kalau pernyataan itu adalah kehati-hatian proses penyidikan, bagi orang yang memahami kerja-kerja polisi dan terutama rekaman prestasi Polres Bolmong selama ini, tampaknya seperti kilahan tidak bermutu. Jika itu sekadar lawakan, sebagaimana komedi status terduga yang masih saksi dan karenanya tidak ditahan, perkembangan ini sama sekali tak lucu lagi.

Kapolres Bolmong, kasus dugaan pencabulan itu solid. Bila polisi ingin ''bermain'' (bukan rahasia lagi, dengan jabatan yang disandangnya, terduga yang terlibat adalah ''pemain'' yang pasti mendapatkan pembelaan kalangan elite tertentu di KK, termasuk oleh sejumlah polisi), mohon janganlah dalam urusan yang melibatkan seorang perempuan di bawah umur.

Dikreasi seperti apapun, kasus ini harus berakhir dengan menggunakan UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan Perppu No. 1/2016. Digiring dan diperhalus sebagaimanapun, pada akhirnya fakta-fakta yang beredar terbuka menunjukkan peristiwanya crystal clear. Seorang Kabid yang Ketua KNPI KK mengajak siswi PSG meninjau proyek. Setiba di tempat, yang memang sepi, kemudian sepanjang jalan pulang, ada pencabulan, termasuk dengan memaksa memeluk, dan kemudian berupaya menutup mulut korban dengan pemberian uang.

Ingat pula, terduga pelaku dan korban tidak kembali lagi ke Kantor Dinas PU. Korban yang ketakutan dan memaksa pulang, bahkan diturunkan di salah satu ruas jalan di kelurahan tempat tinggalnya. Bahwa ada kronologi yang mesti dicocokkan, tidak memerlukan ilmu kepolisian dan penyidikan canggih untuk tahu, di manapun pelaku kejahatan memang punya seribu alasan.

Apa alasan seorang siswi berusia di bawah umur mengarang cerita? Apa polisi mau menggiring kasus ini sekadar kekerasan terhadap anak, misalnya dengan mempermoi ''memeluk'' menjadi ''merangkul''. Memangnya publik sebegitu tololnya hingga meluputkan keduanya berada di dalam mobil, dengan terduga di kursi pengemudi dan korban di kursi sebelahnya. Dalam posisi seperti itu, cuma monyet yang bersetuju kalau memeluk paksa disebut merangkul. Memangnya mereka sedang jalan-jalan siang di pantai, lalu tersangka yang sudah berusia om-om merangkul korban supaya bisa menarik menjauh agar rok seragam sekolahnya tak kena ombak?

Bahkan kalaupun benar sekadar merangkul paksa, itu juga sudah terjerat Pasal 76E UU No. 23/2002. Dengan ancaman hukuman di atas lima tahun, terduganya harus segera ditersangkakan dan dikerangkeng.

Sejak mula, ketika kasusnya mulai mengemuka, saya sudah menguatirkan cara polisi melakukan pengusutan. Tidak disitanya uang yang diberikan paksa oleh terduga, adalah salah satu contohnya. Sekarang, dengan memanggil kembali korban, polisi jelas menjadikan dia korban berulang. Apalagi tanpa didampingi psikolog. Memangnya enak buat seorang perempuan berkali-kali harus menjelaskan bagaimana horor seksual yang dialami, sementara terduga pelaku masih ongkang kaki di rumahnya?

Ada korban, ada visum et repertum, dan ada bukti uang, tidakkah cukup untuk segera mentersangkakan terduga dan menahan dia? Atau polisi memang mau mengikuti skenario terduga yang beredar sebagai gosip santer, bahwa uang tersebut adalah pemberian karena PSG segera berakhir? Kalau begitu, berapa banyak siswi PSG yang beroleh ''pesangon'' dari mantan Kabid dan Ketua KNPI KK itu? Baik hati betul dia.

Menukil kembali pernyataan Presiden Joko Widodo saat menyampaikan Perppu No. 1/2016, bahwa tindak pidana (terlebih seksual) terhadap anak-anak adalah ''kejahatan luar biasa'', setelah 11 hari bergulir, sulit dipungkiri Polres Bolmong justru terlihat nyata berupaya menjadikan kasusnya sekadar kriminal biasa saja. Ini jelas lawakan tak lucu. Sebagaimana komedi gelapnya perkembangan pengusutan korupsi di BMR dua tahun terakhir menurut catatan totabuan.co, Rabu, 7 Desember 2016 (http://totabuan.co/2016/12/hampir-dua-tahun-polres-bolmong-miskin-produk/), padahal insitusi ini menyidik banyak sekali dugaan penggarongan uang negara itu.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AKBP: Ajun Komisaris Besar Polisi; ASN: Aparatur Sipil Negara; Bandara: Bandar Udara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Kabid: Kepala Bidang; Kapolres: Kepala Kepolisian Resor; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia; MKE: Majelis Kode Etik; Perppu: Peraturan Pemerintah Pengganti UU; Polres: Kepolisian Resor; PPA: Perlindungan Perempuan dan Anak; PSG: Praktik Sistem Ganda; PU: Pekerjaan Umum; SIK: Sarjana Ilmu Kepolisian; SOP: Standard Operating Procedure; dan UU: Undang-undang.