Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, January 1, 2018

Tumon-bilog, Tumon-bongol, bo Tumon-linda’

SELAMAT Tahun Baru 2018. Selalu dan tetaplah merdeka!

Ini sudah tahun Pilwako di KK. Mari kita memanaskan tensinya dengan sekhimat-khimatnya. Pilwako adalah pesta demokrasi. Dia mesti meriah. Kemeriahan yang melulu cuma menumpahkan keluh-kesah dan lara hati seolah di-dzolimi, curiga dan paranoia di akun fb, pasti adalah upacara pemakaman.

Supaya Pilwako KK 2018 bukan ta’ziyah kinopatoi-an, saya mulai saja dengan kisah yang tercecer dari pleno verfak KPU KK, Jumat, 29 Desember 2017. Di pelataran Kantor KPU, hari itu saya dengar (dan kemudian baca di media), salah satu yang riuh dipertengkarkan KPU dan Panwaslu adalah dokumen dukungan balon independen.

Panwaslu keberatan sebab tak mengantongi dokumen dimaksud. KPU KK bersikukuh memang demikian adanya, karena sesuai PKPU sifatnya adalah rahasia. Setiap rahasia tentu tidak boleh sembarang diumbar. Bila perlu, dokumennya di-stempel tinta merah bertulis ‘’Rahasia’’ melintangi separuh kertas, dimasukkan ke dalam amplop bersegel, lalu ditumpuk dalam lemari besi kelas Solingen Bernstein.

Hormat grak untuk KPU KK! Lembaga ini memang luar biasa. Mereka tampaknya sudah belajar, jika ingin mensosialisasikan sesuatu, maka cap saja dengan kata ‘’Rahasia’’. Dengan segera warga empat penjuru mata angin KK punya setiap copy dan detail informasinya.

Faktanya, di mana pun saya pergi, terutama di kalangan yang melek politik, copy dokumen dukungan balon independen Pilwako KK dipertukarkan seperti koran yang memajang headline hot. Juga ditertawai. Dengan mata seperempat terbukapun kita tahu: tanda tangan di KTP dan di formulir KWK seperti laki-bini habis baku hantam saling lempar piring dan gelas. Yang satu ke Utara, yang lain ke Selatan.

Rahasiakah dokumen itu? Putar bale! Sama putar bale-nya dengan kegigihan KPU KK menyatakan sudah melaksanakan vermin—juga verfak—dengan saksama. Bahkan saking mencoloknya perbedaan antara tanda tangan di KTP dan formulir KWK, warga KK rasanya perlu mendonasikan lup, siapa tahu mata mereka sudah diserang katarak kronis. Dan untuk Timsel KPU KK berikutnya: mohon pemeriksaan mata kandidat komisioner dilakukan ekstra ketat.

Jika demikian adanya, bagaimana sesungguhnya tim pemenangan dan pendukung balon independen mendapatkan dokumen dukungan? Saya kebetulan adalah mahluk urban yang terpontang-panting antara Jakarta-Bogor-lokasi kerja-Manado-Kotamobagu. Ketika Pilgub Jakarta mulai memanas, Gubernur petahana, Basuki Tjahaya Purnama, digadang dicalonkan lewat jalur independen.

Bergeraklah anak-anak muda yang bersimpati dan mendukung Ahok—nama populernya—mengumpulkan KTP dan tanda tangan. Tidak main-main: mereka membuka booth di hampir seluruh penjuru Jakarta, termasuk di pasar dan mal. Tidak mengherankan, saat itu, bila menemui ada antrian panjang di hall mal, jangan mengira ada produk yang lagi laris manis senyum kimpul. Itu rombongan simpatisan dan pendukung yang menunggu mengisi formulir, membubuhkan tanda tangan, dan menyetorkan copy KTP.

Dalam waktu tak lama, Ahok mengantongi 1 juta dukungan dan copy KTP. Melampaui target yang ditetapkan.

Lalu peraturan berubah. Formulir dukungan harus sudah mencantumkan balon Gubernur dan Wagub. Pusing 13 keliling-lah tim pengumpul dukungan sebab prosesnya musti diulang. Hebatnya, sekali lagi orang-orang yang sudah membubuhkan tanda tangan dan menyetorkan copy KTP, bersedia mengulang proses yang melelahkan dan menjengkelkan itu.

Bahwa Ahok, yang akhirnya berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat di Pilgub 2017 dan dicalonkan melalui jalur parpol, kalah dari pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, adalah persoalan lain. Dia dan anak-anak muda sadar politik yang sebelumnya mengikhtiarkan jalur independen sudah membuktikan: bukang gampang kerja teknis mengumpulkan dukungan (tanda tangan dan KTP) orang per orang.

Di KK, sejak kapan ada halo-halo pengumpulan dukungan untuk balon independen Walikota-Wawali? Hanya para balon dan timnya yang tahu. Ataukah ini ‘’operasi main-main intelejen’’, dilakukan dalam sunyi dan senyap? Tapi jangan lupa, ada empat kecamatan dan 33 kelurahan/desa di KK. Demi memenuhi persayaratan persebaran, maka minimal di setiap kelurahan/desa harus terdapat 260 dukungan. Bila per rumah tangga setidaknya terdapat tiga pemilih terdaftar dan sah, maka tim balon independen harus mengujungi minimal 86 rumah tangga.

Kecuali para tetangga bilog dan bongol, operasi sunyi dan senyap pengumpulan dukungan dan KTP dapat dilaksanakan dengan sukses-sejahtera. Masalahnya, kebudayaan mulu-mulu dan simpit di KK, terlebih dengan dukungan media sosial, membuat pengumpulan dukungan balon independen itu (saya berani bertaruh tanah dan rumah), jika benar dilakukan sebagaimana mestinya, pasti sudah jadi trending topic di fb, twitter, instagram, dan grup WA.

Lain soal kalau dilakukan dengan metode bulk. Kelompok tani didatangi dengan iming-imingi pupuk dan bibit; kelompok pengajian dikunjungi dengan janji bantuan masuk sorga; masyarakat ekonomi lemah diilusi bedah rumah dan bantuan kesejahteraan; orang-orang muda didelusi janji pekerjaan dan beasiswa. Ringkasnya: dengan jurus dan silat putar bale.

Tidak heran dalam proses verfak protes berhamburan dan bersiliweran. Umumnya berkisar pada keheranan: ‘’Haila, na’-anta KTP tua pinake’ bi’ kon Pilwako?’’ Terujung karena terujung iming-iming bertarung di Pilwako dan terpilih sebagai Walikota-Wawali, ada pula balon yang menuduh protes dan keberatan itu dikreasi oleh calon pesaing. Tuduhan itu bahkan diikuti sesumbar, siapapun yang akan menghalangi akan diperkarakan dan yang memimpin (paling depan) adalah sang kandidat balon.

Siapa pesaing yang dimaksud? Sebut saja. Bukankah sepanjang dapat dibuktikan, ulah pesaing yang mendzolimi pasti akan menguntungkan yang didzolimi.  Soalnya adalah: yang saya amati, ‘’permainan didzolimi’’ ini sekadar alat menarik simpati yang kian hari kian tak laku. Dan ini putar bale lainnya yang merendahkan kesadaran warga KK terhadap politik dan demokrasi.

Maka demi berlangsungkan pesta demokrasi Pilwako KK 2018 sebagaimana amanat dan niatnya, menurut hemat saya, mari kita cermati apakah KPU KK serta tim, pendukung, dan simpatisan balon independen yang sekarang pura-pura bongol, bilog, bo pikiran dia’ ko badan, tetap tumon-bilog, tumon-bongol, bo tumon-linda’. Bila demikian adanya, mereka perlu segera dirujuk ke RS terdekat.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Balon: Bakal Calon; fb: Facebook; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; KTP: Kartu Tanda Penduduk; Panwaslu: Panitia Pengawas Pemilu; Pemilu: Pemilihan Umum; Pilgub: Pemilihan Gubernur (dan Wakil Gubernur); Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); PKPU: Peraturan Komisi Pemilihan Umum; RS: Rumah Sakit; Timsel: Tim Seleksi; Verfak: Verifikasi Faktual; Vermin: Verifikasi Administrasi; WA: WhatsApp; Wagub: Wakil Gubernur; dan Wawali: Wakil Walikota.