MASYARAKAT Mongondow, khususnya di BMR, tahu persis: dalam soal politik
dan—terutama—jabatan publik (terlebih ketika menjadi Walikota KK 2008-2013),
Djelantik Mokodompit dan saya bagai musuh bebuyutan. Hampir tak ada tindakan
dan kebijakannya yang luput dari kritikan (bahkan sangat pedas dan sarkas)
saya.
Begitu kerapnya saya menulis tentang DjM
hingga beberapa karib pernah menanyakan, ‘’Yang Anda lakukan memang karena
kepentingan umum atau sudah sentiment pribadi.’’ Pertanyaan ini normatif belaka.
Dan jikapun harus dijawab, saya yakin tidak ada yang pribadi antara DjM dan
saya. Bukan sebab politik perlu drama; melainkan karena setiap pemimpin yang
bertanggung jawab terhadap hajat hidup orang banyak memang mutlak harus dikontrol.
Sama dengan kita—bukan hanya saya—,
setidaknya di BMR, harus punya kesadaran berpartisipasi mengontrol para Bupati
dan Walikota serta jajarannya di daerah ini. Hanya dengan demikian, politik
(dan pemerintahan) benar-benar berada di arasnya sebagai pelayan kemaslahatan
dan kemakmuran umum.
Saya membuktikan tak ada yang pribadi atau
sentimentsubyektif dengan DjM dengan tak lagi mengusik dia paska digantikan
Tatong Bara yang memenangi Pilwako 2013. Memang, sejak menjabat sebagai
Walikota 2008-2013, kemudian Wakil Ketua DPRD KK 2014-2019, hampir tak ada
persuaan fisik antara saya dengan DJM. Sekalipun KK adalah kota yang relatif
kecil dan hampir setiap bulan saya ada di rumah orangtua di Mogolaing
(kelurahan di mana DjM juga bermukim), saya hanya melihat dia di Idul Fitri
atau Idul Adha. Itupun DjM di deretan VIP di shaf depan, saya (biasanya bersama anak-anak) berada tiga-empat shaf di belakang.
Di lain pihak, saya haqul yakin, DjM tahu persis kritik brutal dan kejam yang kerap saya
lontarkan terhadap dia. Tapi, seingat saya, kendati DjM pasti sakit hati
(sesuatu yang sangat wajar dan manusiawi), tak pernah ada tindakan (baik
langsung maupun lewat pihak lain) yang dia lakukan terhadap saya; juga
adik-adik yang kebetulan berprofesi sebagai birokrat dan berada di bawah
kekuasaannya di KK.
Sebagai politikus yang sadar terhadap
risiko politik dan kekuasaan yang ada di genggaman, dalam pandangan saya, DjM
mampu dengan baik mengelolah emosinya. Bahwa merespons frontal, apalagi penuh
amarah dan amuk, terhadap ordinary people
seperti saya, lebih banyak membawa mudharat
ketimbang manfaat. Kritik (bahkan umpatan dan caci) boleh disemburkan setiap
saat, tetapi Walikota berhak pula untuk tak ambil pusing.
Dalam posisi yang subyektif saya
klasifikasikan berseberangan politik, dengan tak terpancing berkeruh-keruh
publik, secara pribadi membuat saya menyimpan respek dan hormat tersendiri
terhadap DjM. Dia pribadi yang baik, dengan kelemahan-kelemahan politik dan
kekuasaan yang tidak harus dicampur-adukkan dengan penilaian terhadap sosok
personalnya.
Sekitar dua bulan lampau, secara tidak
sengaja saya melihat DjM berjalan sendiri, agak tergesa, di Mantos. Spontan
saya menyambangi, menegur, dan bahkan menemani dia ke salah satu optik untuk
memperbaiki kacamata yang tampaknya agak tidak nyaman digunakan.
Pertemuan tak sengaja itu berlanjut dengan
ngopi bersama sembari mempercakapkan hal-ihwal politik, termasuk Pilwako KK
2018 dan rencananya kembali menguji pengaruh di kontestasi ini. Kepada DjM,
saya menyatakan, bila dia—juga Jainuddin Damopolii dan petahana Walikota,
Tatong Bara—mendapatkan dukungan menjadi kandidat Walikota di Pilwako 2018,
menang atau kalah sangat ditentukan oleh calon wakil yang digandeng.
Saya menegaskan, kurang lebih, ‘’Pilih
wakil yang menambah suara. Bukan yang justru menggerus dukungan.’’ Pendapat ini
bukan tanpa alasan. Baik DjM, Jainuddin, maupun Tatong, sudah sangat dikenal di
KK dan memiliki modal sosial yang melimpah. Andai mereka bertiga menjadi
kandidat Walikota KK 2018-2023, saya menyakini dukungan konstituen tidak akan
jauh berbeda. Dan kita bahkan bakal melihat bagaimana dinamisnya swing voters terjadi.
Kontestasi yang seru dan dinamis tentu
memberikan pendidikan politik yang meruah untuk masyarakat KK. Karenanya,
sekali lagi dengan mempertimbangkan keunggulan-keunggulan nama-nama yang sudah
mengemuka berkeinginan bertarung di Pilwako KK 2018, saya menyarankan: ada
baiknya DjM mempertimbangkan untuk berpasangan dengan Jainuddin Damopolii. DjM
sebagai balon Walikota—sebab UU dan turunannya tidak membolehkan lagi dia turun
derajat menjadi Wawali— dan Jainuddin sebagai balon Wawali.
Sekadar ide, usulan itu barangkali
realistis. Namun bukankah tidak mudah bagi para ‘’jagoan politik’’ yang
masing-masing sudah punya nomor punggung untuk saling mengalah?
Hari ini, Senin, 8 Januari 2018, fakta
kontestasi politik Pilwako KK adalah: Jainuddin Damopolii-Suharjo Makalalag
maju sebagai balon independen; Tatong Bara-Nayodo Kurniawan turun gelanggang dengan
didukung 100% parpol peraih kursi di DPRD KK; dan DjM (sebagai Ketua DPD II PG
KK) tereliminasi karena tidak mendapatkan dukungan dari partainya sendiri.
Apakah ini ironi? Tidak juga. Politik, bagaimanapun adalah tanjakan, turunan,
dan kelokan yang tak terduga dan teramalkan. Anda baru tahu apa yang ada di
hadapan ketika ‘’sesuatu itu’’ sudah ada di depan mata. Dalam bentuk hitam di
atas putih.
DjM pasti menyimpan kecewa yang sangat
ketika mengetahui partainya memilih mendukung Tatong-Nayodo. Sebagai Ketua DPD
II PG, warga KK akan memahfumi bila dia memilih tak ikut serta mendaftarkan
pasangan yang didukung partainya ke KPU. Namun yang dia pertunjukkan hari ini
adalah kebesaran hati: DjM hadir, mendampingi, dan menandatangani pendaftaran
Tatong-Nayodo. Dia sukses memkompromikan kekalahan dari Tatong Bara di Pilwako
2013, kegagalan mendapatkan mandat partainya di Pilwako 2018 ini,
dan—barangkali—patah hati politik dari kader yang semestinya sudah membuktikan
dedikasi dan loyalitas total.
Politik ada medan yang kejam dan brutal.
Hanya mereka yang memiliki jiwa lapang yang mampu tetap tegak dan tersenyum,
kendati berulang kali terpukul (atau dipukul) jatuh. DjM membuktikan dia tak
hanya politikus piawai yang kenyang asam gunung dan garam lautan, tetapi juga
pribadi yang—dalam konteks Pilwako KK 2018—patut mendapat hormat tinggi.
Maka, izinkan saya menyampaikan: Salut
sepenuh hati dan tulus dari saya, untuk Anda, Bung DjM!
Senyampang dengan dua jempol untuk DjM,
saya juga menyesali tak hadirnya Ketua DPD PAN KK, Jainuddin Damopolii, bersama
petinggi parpol pendukung Tatong Bara-Nayodo Kurniawan di KPU KK. Membaca
pemberitaan media, yang mengesankan Tatong-Nayodo sebagai pasangan yang
didukung PAN KK sama sekali tak berkomunikasi dengan Ketua DPD-nya, saya dapat
memahami mengapa Jainuddin engan menunaikan tugasnya.
Namun, jika dilihat dalam perspektif
politik yang lebih subtil, sebagai pesaing independen dari Tatong-Nayodo, jika
Jainuddin hadir (tanpa perlu diminta) dan membubuhkan tanda tangannya, dia
sesungguhnya mendapatkan keuntungan berlimpah. Publik akan menilai tindakannya lebih
dari kebesaran hati. Orang banyak bakal mempersepsi dia bukan hanya
pesaing yang gagah dan gentle, tetapi
juga orang tua yang lebih matang dan bijaksana dibanding ‘’anak-anak kemarin
sore’’ seperti Tatong-Nayodo.
Hadir, mengantar, dan mengabsahkan
pendaftaran Tatong-Nayodo menempatkan Jainuddin pada posisi yang mau tak mau
mendulang simpati dan empati para pemilih. Politikus yang sadar dan awas tahu
persis: tak ada magnet politik yang lebih kuat menarik para pemilih untuk tak
ragu menjatuhkan pilihannya kecuali simpati dan empati yang tulus dan tanpa
syarat.
Sayang Jainuddin melewatkan momen emas itu.
Saya berharap, di saat jeda dan teduh, tatkala merenungkan kembali langkah,
strategi, dan, dan taktik politiknya di Pilwako KK 2018 ini, Jainuddin tidak
akan menyesali keabaiannya.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Balon: Bakal Calon; BMR:
Bolaang Mongondow Raya; DPD: Dewan
Pimpinan Daerah; DPRD: Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah; DjM:
Djelantik Mokodompit; KK: Kota Kotamobagu;
KPU: Komisi Pemilihan Umum; Mantos: Manado Town Square; PAN: Partai Amanat Nasional; Parpol: Partai Politik; PG: Partai Golkar; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); UU: Undang-undang; VIP: Very Important Person; dan Wawali: Wakil Walikota.