Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, January 8, 2018

Salut untuk Djelantik Mokodompit!

MASYARAKAT Mongondow, khususnya di BMR, tahu persis: dalam soal politik dan—terutama—jabatan publik (terlebih ketika menjadi Walikota KK 2008-2013), Djelantik Mokodompit dan saya bagai musuh bebuyutan. Hampir tak ada tindakan dan kebijakannya yang luput dari kritikan (bahkan sangat pedas dan sarkas) saya.

Begitu kerapnya saya menulis tentang DjM hingga beberapa karib pernah menanyakan, ‘’Yang Anda lakukan memang karena kepentingan umum atau sudah sentiment pribadi.’’ Pertanyaan ini normatif belaka. Dan jikapun harus dijawab, saya yakin tidak ada yang pribadi antara DjM dan saya. Bukan sebab politik perlu drama; melainkan karena setiap pemimpin yang bertanggung jawab terhadap hajat hidup orang banyak memang mutlak harus dikontrol.

Sama dengan kita—bukan hanya saya—, setidaknya di BMR, harus punya kesadaran berpartisipasi mengontrol para Bupati dan Walikota serta jajarannya di daerah ini. Hanya dengan demikian, politik (dan pemerintahan) benar-benar berada di arasnya sebagai pelayan kemaslahatan dan kemakmuran umum.

Saya membuktikan tak ada yang pribadi atau sentimentsubyektif dengan DjM dengan tak lagi mengusik dia paska digantikan Tatong Bara yang memenangi Pilwako 2013. Memang, sejak menjabat sebagai Walikota 2008-2013, kemudian Wakil Ketua DPRD KK 2014-2019, hampir tak ada persuaan fisik antara saya dengan DJM. Sekalipun KK adalah kota yang relatif kecil dan hampir setiap bulan saya ada di rumah orangtua di Mogolaing (kelurahan di mana DjM juga bermukim), saya hanya melihat dia di Idul Fitri atau Idul Adha. Itupun DjM di deretan VIP di shaf depan, saya (biasanya bersama anak-anak) berada tiga-empat shaf di belakang.

Di lain pihak, saya haqul yakin, DjM tahu persis kritik brutal dan kejam yang kerap saya lontarkan terhadap dia. Tapi, seingat saya, kendati DjM pasti sakit hati (sesuatu yang sangat wajar dan manusiawi), tak pernah ada tindakan (baik langsung maupun lewat pihak lain) yang dia lakukan terhadap saya; juga adik-adik yang kebetulan berprofesi sebagai birokrat dan berada di bawah kekuasaannya di KK.

Sebagai politikus yang sadar terhadap risiko politik dan kekuasaan yang ada di genggaman, dalam pandangan saya, DjM mampu dengan baik mengelolah emosinya. Bahwa merespons frontal, apalagi penuh amarah dan amuk, terhadap ordinary people seperti saya, lebih banyak membawa mudharat ketimbang manfaat. Kritik (bahkan umpatan dan caci) boleh disemburkan setiap saat, tetapi Walikota berhak pula untuk tak ambil pusing.

Dalam posisi yang subyektif saya klasifikasikan berseberangan politik, dengan tak terpancing berkeruh-keruh publik, secara pribadi membuat saya menyimpan respek dan hormat tersendiri terhadap DjM. Dia pribadi yang baik, dengan kelemahan-kelemahan politik dan kekuasaan yang tidak harus dicampur-adukkan dengan penilaian terhadap sosok personalnya.

Sekitar dua bulan lampau, secara tidak sengaja saya melihat DjM berjalan sendiri, agak tergesa, di Mantos. Spontan saya menyambangi, menegur, dan bahkan menemani dia ke salah satu optik untuk memperbaiki kacamata yang tampaknya agak tidak nyaman digunakan.

Pertemuan tak sengaja itu berlanjut dengan ngopi bersama sembari mempercakapkan hal-ihwal politik, termasuk Pilwako KK 2018 dan rencananya kembali menguji pengaruh di kontestasi ini. Kepada DjM, saya menyatakan, bila dia—juga Jainuddin Damopolii dan petahana Walikota, Tatong Bara—mendapatkan dukungan menjadi kandidat Walikota di Pilwako 2018, menang atau kalah sangat ditentukan oleh calon wakil yang digandeng.

Saya menegaskan, kurang lebih, ‘’Pilih wakil yang menambah suara. Bukan yang justru menggerus dukungan.’’ Pendapat ini bukan tanpa alasan. Baik DjM, Jainuddin, maupun Tatong, sudah sangat dikenal di KK dan memiliki modal sosial yang melimpah. Andai mereka bertiga menjadi kandidat Walikota KK 2018-2023, saya menyakini dukungan konstituen tidak akan jauh berbeda. Dan kita bahkan bakal melihat bagaimana dinamisnya swing voters terjadi.

Kontestasi yang seru dan dinamis tentu memberikan pendidikan politik yang meruah untuk masyarakat KK. Karenanya, sekali lagi dengan mempertimbangkan keunggulan-keunggulan nama-nama yang sudah mengemuka berkeinginan bertarung di Pilwako KK 2018, saya menyarankan: ada baiknya DjM mempertimbangkan untuk berpasangan dengan Jainuddin Damopolii. DjM sebagai balon Walikota—sebab UU dan turunannya tidak membolehkan lagi dia turun derajat menjadi Wawali— dan Jainuddin sebagai balon Wawali.

Sekadar ide, usulan itu barangkali realistis. Namun bukankah tidak mudah bagi para ‘’jagoan politik’’ yang masing-masing sudah punya nomor punggung untuk saling mengalah?

Hari ini, Senin, 8 Januari 2018, fakta kontestasi politik Pilwako KK adalah: Jainuddin Damopolii-Suharjo Makalalag maju sebagai balon independen; Tatong Bara-Nayodo Kurniawan turun gelanggang dengan didukung 100% parpol peraih kursi di DPRD KK; dan DjM (sebagai Ketua DPD II PG KK) tereliminasi karena tidak mendapatkan dukungan dari partainya sendiri. Apakah ini ironi? Tidak juga. Politik, bagaimanapun adalah tanjakan, turunan, dan kelokan yang tak terduga dan teramalkan. Anda baru tahu apa yang ada di hadapan ketika ‘’sesuatu itu’’ sudah ada di depan mata. Dalam bentuk hitam di atas putih.

DjM pasti menyimpan kecewa yang sangat ketika mengetahui partainya memilih mendukung Tatong-Nayodo. Sebagai Ketua DPD II PG, warga KK akan memahfumi bila dia memilih tak ikut serta mendaftarkan pasangan yang didukung partainya ke KPU. Namun yang dia pertunjukkan hari ini adalah kebesaran hati: DjM hadir, mendampingi, dan menandatangani pendaftaran Tatong-Nayodo. Dia sukses memkompromikan kekalahan dari Tatong Bara di Pilwako 2013, kegagalan mendapatkan mandat partainya di Pilwako 2018 ini, dan—barangkali—patah hati politik dari kader yang semestinya sudah membuktikan dedikasi dan loyalitas total.

Politik ada medan yang kejam dan brutal. Hanya mereka yang memiliki jiwa lapang yang mampu tetap tegak dan tersenyum, kendati berulang kali terpukul (atau dipukul) jatuh. DjM membuktikan dia tak hanya politikus piawai yang kenyang asam gunung dan garam lautan, tetapi juga pribadi yang—dalam konteks Pilwako KK 2018—patut mendapat hormat tinggi.

Maka, izinkan saya menyampaikan: Salut sepenuh hati dan tulus dari saya, untuk Anda, Bung DjM!

Senyampang dengan dua jempol untuk DjM, saya juga menyesali tak hadirnya Ketua DPD PAN KK, Jainuddin Damopolii, bersama petinggi parpol pendukung Tatong Bara-Nayodo Kurniawan di KPU KK. Membaca pemberitaan media, yang mengesankan Tatong-Nayodo sebagai pasangan yang didukung PAN KK sama sekali tak berkomunikasi dengan Ketua DPD-nya, saya dapat memahami mengapa Jainuddin engan menunaikan tugasnya.

Namun, jika dilihat dalam perspektif politik yang lebih subtil, sebagai pesaing independen dari Tatong-Nayodo, jika Jainuddin hadir (tanpa perlu diminta) dan membubuhkan tanda tangannya, dia sesungguhnya mendapatkan keuntungan berlimpah. Publik akan menilai tindakannya lebih dari kebesaran hati. Orang banyak bakal mempersepsi dia bukan hanya pesaing yang gagah dan gentle, tetapi juga orang tua yang lebih matang dan bijaksana dibanding ‘’anak-anak kemarin sore’’ seperti Tatong-Nayodo.

Hadir, mengantar, dan mengabsahkan pendaftaran Tatong-Nayodo menempatkan Jainuddin pada posisi yang mau tak mau mendulang simpati dan empati para pemilih. Politikus yang sadar dan awas tahu persis: tak ada magnet politik yang lebih kuat menarik para pemilih untuk tak ragu menjatuhkan pilihannya kecuali simpati dan empati yang tulus dan tanpa syarat.

Sayang Jainuddin melewatkan momen emas itu. Saya berharap, di saat jeda dan teduh, tatkala merenungkan kembali langkah, strategi, dan, dan taktik politiknya di Pilwako KK 2018 ini, Jainuddin tidak akan menyesali keabaiannya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Balon: Bakal Calon; BMR: Bolaang Mongondow Raya; DPD: Dewan Pimpinan Daerah; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; DjM: Djelantik Mokodompit; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; Mantos: Manado Town Square; PAN: Partai Amanat Nasional; Parpol: Partai Politik; PG: Partai Golkar; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); UU: Undang-undang; VIP: Very Important Person; dan Wawali: Wakil Walikota.