MENUDUH pihak lawan curang sembari memainkan drama teraniaya masih jadi
modus populer kontestasi politik di Indonesia. Calon yang babak-belur dicurangi
dan terseok-seok akibat aniaya (politik), memang mudah mengundang iba dan
simpati konstituen yang akhirnya tanpa ragu menjatuhkan pilihannya.
Konon, strategi didzolimi itu efektif
membawa Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai Presiden RI ke-6 di Pemilu
2004. Padahal ketika itu dia berhadapan dengan petahana, Megawati Soekarno
Putri, didukung PDIP yang tengah kuat-kuatnya, sementara PD yang mengusung SBY
adalah partai ‘’new kids on the block’’.
Saya perhatikan, modus yang sama (lawan
curang dan drama didzolimi) juga mengemuka sebagai strategi sejak KPU KK memulai
tahapan pendaftaran balon independen di Pilwako 2018, kemudian vermin, dan
terakhir verfak. Mula-mula ditiupkan isu ‘’Pilkada yang bermartabat’’, ‘’calon
pilihan rakyat’’, dan balon independen sudah mengantongi tak kurang 15 ribu
dukungan—hampir dua kali lipat syarat yang ditetapkan KPU.
Pesan yang dikandung tiga isu itu
terang-benderang. Balon independen ini adalah politikus hebat sebab berani memainkan
‘’politik bersih’’ sesuai keinginan dan pilihan rakyat, dibuktikan dengan
dukungan melimpah. Secara tidak langsung, isu yang diusung juga memberi pesan
sebagai antitesa terhadap calon usungan parpol yang patut dicurigai
kurang/tidak bermartabat, bukan pilihan (langsung) rakyat, dan hanya mendapat
dukungan representasi.
Harus diakui ‘’kampanye’’ awal itu efektif
dan menyihir. Terlebih dikipas-kipasi bisik-bisik kencang bahwa ada balon lain
yang dengan segala berupaya memborong dukungan parpol (seolah mendapatkan
dukungan parpol yang solid ada langkah tercela). Maka, hampir seluruh elemen
politik, sosial, dan masyarakat di KK majal kritis dan kritik ketika tiga hari
sebelum pendaftaran dilakukan balon independen Walikota ber-zigzag politik
mengubah balon Wawalinya. Apalagi kemudian jumlah dukungan yang disetorkan
ternyata jauh dari angka 10.000 formulir dan tanda tangan.
Warga KK yang agak sadar situasi
paling-paling membathin: oh, yang dikisaran 5.000-an (sebagaimana klaim 15.000
yang lalu lalang di media) barangkali hasil jerih payah balon Wawali—dan
timnya—yang batal digandeng. Maka sepantasnyalah angka dukungan berkurang.
Hampir tak ada yang mempertanyakan kecepatan kilat mendapatkan 10.000-an
formulir dukungan dan KTP sebagai lampirannya dari pasangan balon yang mendadak
disandingkan. Nanti yang mempertanyakan bisa-bisa dituding ‘’tidak bermartabat’’,
‘’bukan rakyat’’, atau lebih celaka lagi dicap ‘’antek kekuasan’’ dan
‘’curang’’.
Benar saja. Saat vermin berlangsung,
suara-suara bahwa ada ‘’invisible hand’’ yang berupaya menghalangi balon
independen mulai digulir. Tuduhan yang cuma klaim dan duga-duga spekulatif ini
kian keras digaungkan saat verfak berlangsung.
‘’Katanya’’—saya menyebut ‘’katanya’’
karena klaim dan tuduhan itu lebih banyak dilontar anonim di media sosial—ada
upaya menggagalkan balon independen dengan ancaman membatalkan program sosial
bagi penerima yang memberikan dukungan; ada ASN yang menekan para pengisi
formulir KWK dan penyumbang KTP dengan aneka ancaman; bahkan ada mobilisasi
penarikan dukungan yang sudah diberikan.
Kartu terniaya (politik) akibat kedzoliman
kekuasaan sudah dimainkan. Pertanyaannya: kekuasaan yang mana? Pihak mana yang
berupaya menghalangi balon independen itu? Memangnya di tahap saat ini sudah
ada balon yang diusung parpol? Siapa pasangan itu?
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa
setidaknya ada tiga tokoh politik yang secara terbuka menyatakan keinginan
menjadi kontestan Pilwako KK 2018: petahana Walikota Tatong Bara; petahana
Wawali yang juga Ketua DPD PAN KK, Jainuddin Damopolii, yang berkeinginan naik
kelas jadi Walikota; dan mantan Walikota yang kini Wakil Ketua DPRD KK,
Djelantik Mokodompit, yang ingin menjajal kembali ‘’kesaktian politiknya’’.
Dengan posisi publik yang ada di tangan, ketiganya punya cukup kekuasaan untuk cawe-cawe mempengaruhi konstelasi dan
konstituen politik di KK.
Jadi siapa yang dimaksud dengan ‘’invisible
hand’’ dan kekuasaan di balik upaya menjegal balon independen? Tatong Bara yang
‘’dengar-dengar’’ sudah mengantongi dukungan cukup dari parpol atau Djelantik
Mokodompit yang haqul yakin bakal
diusung PG—terlebih dia adalah Ketua DPD II PG KK?
Bagaimana kalau dibalik, tidakkah ada
‘’invisible hand’’ yang mendorong majunya Jainuddin Damopolii dan Suharjo
Makalalag? Apakah ‘’tangan-tangan gaib’’ dan ‘’kekuasaan’’ yang menyodorkan mereka
tak lain cukong yang konon memberikan jaminan ada Rp 20 miliar (rumor ini sudah
menjadi bual-bual santapan setiap hari di banyak kelompok masyarakat KK) yang
siap digunakan memenangi Pilwako KK 2018?
Cermati saja: sejak Pilwako KK 2018 mulai
diperbincangkan, Suharjo sama sekali tak terdengar geliatnya. Tidak pula ada
sedikit aksi yang menunjukkan pendekatan sebagai calon independen, apalagi
lewat parpol. Karenanya, jangan salahkan kalau kemudian rumor sokongan cukong
senilai Rp 20 miliar itu layak dipercaya. Walau, memang tidak ada yang salah
jika ada pihak yang menyokong kandidat di Pilkada, sepanjang itu bukan
jual-beli kepentingan publik.
Siapapun pasti bersedia mendadak balon
independen Walikota-Wawali jika diberi segepok duit yang siap digunakan. Hepeng sebanyak Rp 20 miliar bisa untuk
apa saja, termasuk membuat hijau mata dan hati para pemilih, bahkan tidak
tertutup kemungkinan penyelenggara Pilkada yang silau sogokan.
Itu sebabnya, menduga-duga (apalagi
menuduh) dua tokoh ini, Tatong dan Djelantik, di belakang kesulitan yang
dihadapi balon independen, adalah cari perkara serius. Lagipula, jika klaim dan
tuduhan didzolimi itu benar adanya, apa sulitnya mengumpulkan bukti dan
melaporkan ke pihak berwajib dan berwenang? Langkah ini bukan hanya membuat
Pilwako KK 2018 menjadi sangat bermartabat, tetapi juga kampanye gratis yang
sangat menguntungkan balon independen.
Buat saya, kalau 15.000 dukungan (tanda
tangan dan KTP) bisa dikumpul, tentu cemen
belaka membuktikan memang ada ancaman dan tekanan terhadap para pendukung.
Membuat gaduh dengan merengek-rengek seperti kucing terjepit cuma menimbulkan
syak: buruk wajah kok cermin yang
dibelah.
Faktanya, sebagaimana yang diunggah situs
berita kroniktotabuan.com, Kamis, 28
Desember 2017, Ini Temuan Panwascam Selama Proses Verifikasi
Faktual (https://kroniktotabuan.com/ini-temuan-panwascam-selama-proses-verifikasi-faktual/), dalam proses verfak ditemukan berbakul-bakul
tindakkan tidak bermartabat dari balon independen dan bahkan KPU KK serta
organ-organ di bawahnya. Situs ini merinci temuan itu mencakup: pencaplokan KTP
warga; penandatanganan dukungan dilakukan satu orang saja dalam satu keluarga;
pemalsuan tanda tangan warga; menghilangkan barang bukti dukungan; verifikasi
lewat video call tanpa surat keterangan; PPS tidak membawa
B1.KWK perseorangan untuk diperlihatkan kepada masyarakat yang dikunjungi; NIK
ganda; PNS masuk B1.KWK; PPS tidak menulis data lengkap warga di formulir
kunjungan; PPS memasukkan hasil verfikasi faktual melewati batas waktu ditentukan;
laporan warga verifikasi tidak dilakukan sesuai aturan; menarik dukungan karena
pasangan calon tidak sesuai saat didata; dan warga tidak dikunjungi tetapi
dinyatakan memenuhi syarat.
Babarani ngoni bekeng rupa-rupa, kang? Padahal katanya Pilwako 2018 ini bermartabat
dengan calon (independen) yang didukung rakyat.
Jadi siapakah yang
sebenarnya tidak bermartabat, curang, dan dzolim dalam proses Pilwako KK,
setidaknya hingga tahap pleno verfak yang sudah dilaksanakan Jumat, 29 Desember
2017, lalu? Tidak perlu akal dan kewarasan tingkat dewa untuk mengkongklusi
jawabannya. Tidak pula perlu hati malaikat untuk tahu bahwa isu teraniaya cuma
jualan politik murahan, sebab memang demikianlah adanya.***
Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
ASN: Aparatur Sipil Negara; Balon: Bakal Calon; DPD: Dewan Pengurus Daerah; DPRD:
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; KK:
Kota Kotamobagu; KPU: Komisi
Pemilihan Umum; KTP: Kartu Tanda
Penduduk; NIK: Nomor Induk
Kependudukan; PAN: Partai Amanat
Nasional; Panwascam: Panitia
Pengawas Kecamatan; Parpol: Partai
Politik; PD: Partai Demokrat; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pemilu: Pemilihan Umum; PG:
Partai Golkar; Pilkada: Pemilihan
Kepala Daerah; Pilwako: Pemilihan
Walikota (dan Wakil Walikota); PPS:
Panitia Pemugutan Suara; RI:
Republik Indonesia; SBY: Susilo
Bambang Yudhoyono; Verfak:
Verifikasi Faktuan; Vermin:
Verifikasi Administrasi; dan Wawali:
Wakil Walikota.