Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, January 2, 2018

‘’Babarani Ngoni’’ di Pilkada yang Bermartabat

MENUDUH pihak lawan curang sembari memainkan drama teraniaya masih jadi modus populer kontestasi politik di Indonesia. Calon yang babak-belur dicurangi dan terseok-seok akibat aniaya (politik), memang mudah mengundang iba dan simpati konstituen yang akhirnya tanpa ragu menjatuhkan pilihannya.

Konon, strategi didzolimi itu efektif membawa Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai Presiden RI ke-6 di Pemilu 2004. Padahal ketika itu dia berhadapan dengan petahana, Megawati Soekarno Putri, didukung PDIP yang tengah kuat-kuatnya, sementara PD yang mengusung SBY adalah partai ‘’new kids on the block’’.

Saya perhatikan, modus yang sama (lawan curang dan drama didzolimi) juga mengemuka sebagai strategi sejak KPU KK memulai tahapan pendaftaran balon independen di Pilwako 2018, kemudian vermin, dan terakhir verfak. Mula-mula ditiupkan isu ‘’Pilkada yang bermartabat’’, ‘’calon pilihan rakyat’’, dan balon independen sudah mengantongi tak kurang 15 ribu dukungan—hampir dua kali lipat syarat yang ditetapkan KPU.

Pesan yang dikandung tiga isu itu terang-benderang. Balon independen ini adalah politikus hebat sebab berani memainkan ‘’politik bersih’’ sesuai keinginan dan pilihan rakyat, dibuktikan dengan dukungan melimpah. Secara tidak langsung, isu yang diusung juga memberi pesan sebagai antitesa terhadap calon usungan parpol yang patut dicurigai kurang/tidak bermartabat, bukan pilihan (langsung) rakyat, dan hanya mendapat dukungan representasi.

Harus diakui ‘’kampanye’’ awal itu efektif dan menyihir. Terlebih dikipas-kipasi bisik-bisik kencang bahwa ada balon lain yang dengan segala berupaya memborong dukungan parpol (seolah mendapatkan dukungan parpol yang solid ada langkah tercela). Maka, hampir seluruh elemen politik, sosial, dan masyarakat di KK majal kritis dan kritik ketika tiga hari sebelum pendaftaran dilakukan balon independen Walikota ber-zigzag politik mengubah balon Wawalinya. Apalagi kemudian jumlah dukungan yang disetorkan ternyata jauh dari angka 10.000 formulir dan tanda tangan.

Warga KK yang agak sadar situasi paling-paling membathin: oh, yang dikisaran 5.000-an (sebagaimana klaim 15.000 yang lalu lalang di media) barangkali hasil jerih payah balon Wawali—dan timnya—yang batal digandeng. Maka sepantasnyalah angka dukungan berkurang. Hampir tak ada yang mempertanyakan kecepatan kilat mendapatkan 10.000-an formulir dukungan dan KTP sebagai lampirannya dari pasangan balon yang mendadak disandingkan. Nanti yang mempertanyakan bisa-bisa dituding ‘’tidak bermartabat’’, ‘’bukan rakyat’’, atau lebih celaka lagi dicap ‘’antek kekuasan’’ dan ‘’curang’’.

Benar saja. Saat vermin berlangsung, suara-suara bahwa ada ‘’invisible hand’’ yang berupaya menghalangi balon independen mulai digulir. Tuduhan yang cuma klaim dan duga-duga spekulatif ini kian keras digaungkan saat verfak berlangsung.

‘’Katanya’’—saya menyebut ‘’katanya’’ karena klaim dan tuduhan itu lebih banyak dilontar anonim di media sosial—ada upaya menggagalkan balon independen dengan ancaman membatalkan program sosial bagi penerima yang memberikan dukungan; ada ASN yang menekan para pengisi formulir KWK dan penyumbang KTP dengan aneka ancaman; bahkan ada mobilisasi penarikan dukungan yang sudah diberikan.

Kartu terniaya (politik) akibat kedzoliman kekuasaan sudah dimainkan. Pertanyaannya: kekuasaan yang mana? Pihak mana yang berupaya menghalangi balon independen itu? Memangnya di tahap saat ini sudah ada balon yang diusung parpol? Siapa pasangan itu?

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa setidaknya ada tiga tokoh politik yang secara terbuka menyatakan keinginan menjadi kontestan Pilwako KK 2018: petahana Walikota Tatong Bara; petahana Wawali yang juga Ketua DPD PAN KK, Jainuddin Damopolii, yang berkeinginan naik kelas jadi Walikota; dan mantan Walikota yang kini Wakil Ketua DPRD KK, Djelantik Mokodompit, yang ingin menjajal kembali ‘’kesaktian politiknya’’. Dengan posisi publik yang ada di tangan, ketiganya punya cukup kekuasaan untuk cawe-cawe mempengaruhi konstelasi dan konstituen politik di KK.

Jadi siapa yang dimaksud dengan ‘’invisible hand’’ dan kekuasaan di balik upaya menjegal balon independen? Tatong Bara yang ‘’dengar-dengar’’ sudah mengantongi dukungan cukup dari parpol atau Djelantik Mokodompit yang haqul yakin bakal diusung PG—terlebih dia adalah Ketua DPD II PG KK?

Bagaimana kalau dibalik, tidakkah ada ‘’invisible hand’’ yang mendorong majunya Jainuddin Damopolii dan Suharjo Makalalag? Apakah ‘’tangan-tangan gaib’’ dan ‘’kekuasaan’’ yang menyodorkan mereka tak lain cukong yang konon memberikan jaminan ada Rp 20 miliar (rumor ini sudah menjadi bual-bual santapan setiap hari di banyak kelompok masyarakat KK) yang siap digunakan memenangi Pilwako KK 2018?

Cermati saja: sejak Pilwako KK 2018 mulai diperbincangkan, Suharjo sama sekali tak terdengar geliatnya. Tidak pula ada sedikit aksi yang menunjukkan pendekatan sebagai calon independen, apalagi lewat parpol. Karenanya, jangan salahkan kalau kemudian rumor sokongan cukong senilai Rp 20 miliar itu layak dipercaya. Walau, memang tidak ada yang salah jika ada pihak yang menyokong kandidat di Pilkada, sepanjang itu bukan jual-beli kepentingan publik.

Siapapun pasti bersedia mendadak balon independen Walikota-Wawali jika diberi segepok duit yang siap digunakan. Hepeng sebanyak Rp 20 miliar bisa untuk apa saja, termasuk membuat hijau mata dan hati para pemilih, bahkan tidak tertutup kemungkinan penyelenggara Pilkada yang silau sogokan.

Itu sebabnya, menduga-duga (apalagi menuduh) dua tokoh ini, Tatong dan Djelantik, di belakang kesulitan yang dihadapi balon independen, adalah cari perkara serius. Lagipula, jika klaim dan tuduhan didzolimi itu benar adanya, apa sulitnya mengumpulkan bukti dan melaporkan ke pihak berwajib dan berwenang? Langkah ini bukan hanya membuat Pilwako KK 2018 menjadi sangat bermartabat, tetapi juga kampanye gratis yang sangat menguntungkan balon independen.

Buat saya, kalau 15.000 dukungan (tanda tangan dan KTP) bisa dikumpul, tentu cemen belaka membuktikan memang ada ancaman dan tekanan terhadap para pendukung. Membuat gaduh dengan merengek-rengek seperti kucing terjepit cuma menimbulkan syak: buruk wajah kok cermin yang dibelah.

Faktanya, sebagaimana yang diunggah situs berita kroniktotabuan.com, Kamis, 28 Desember 2017, Ini Temuan Panwascam Selama Proses Verifikasi Faktual (https://kroniktotabuan.com/ini-temuan-panwascam-selama-proses-verifikasi-faktual/), dalam proses verfak ditemukan berbakul-bakul tindakkan tidak bermartabat dari balon independen dan bahkan KPU KK serta organ-organ di bawahnya. Situs ini merinci temuan itu mencakup: pencaplokan KTP warga; penandatanganan dukungan dilakukan satu orang saja dalam satu keluarga; pemalsuan tanda tangan warga; menghilangkan barang bukti dukungan; verifikasi lewat video call tanpa surat keterangan; PPS tidak membawa B1.KWK perseorangan untuk diperlihatkan kepada masyarakat yang dikunjungi; NIK ganda; PNS masuk B1.KWK; PPS tidak menulis data lengkap warga di formulir kunjungan; PPS memasukkan hasil verfikasi faktual melewati batas waktu ditentukan; laporan warga verifikasi tidak dilakukan sesuai aturan; menarik dukungan karena pasangan calon tidak sesuai saat didata; dan warga tidak dikunjungi tetapi dinyatakan memenuhi syarat.

Babarani ngoni bekeng rupa-rupa, kang? Padahal katanya Pilwako 2018 ini bermartabat dengan calon (independen) yang didukung rakyat.

Jadi siapakah yang sebenarnya tidak bermartabat, curang, dan dzolim dalam proses Pilwako KK, setidaknya hingga tahap pleno verfak yang sudah dilaksanakan Jumat, 29 Desember 2017, lalu? Tidak perlu akal dan kewarasan tingkat dewa untuk mengkongklusi jawabannya. Tidak pula perlu hati malaikat untuk tahu bahwa isu teraniaya cuma jualan politik murahan, sebab memang demikianlah adanya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; Balon: Bakal Calon; DPD: Dewan Pengurus Daerah; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; KTP: Kartu Tanda Penduduk; NIK: Nomor Induk Kependudukan; PAN: Partai Amanat Nasional; Panwascam: Panitia Pengawas Kecamatan; Parpol: Partai Politik; PD: Partai Demokrat; PDIP: Partai Demokrasi  Indonesia Perjuangan; Pemilu: Pemilihan Umum; PG: Partai Golkar; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); PPS: Panitia Pemugutan Suara; RI: Republik Indonesia; SBY: Susilo Bambang Yudhoyono; Verfak: Verifikasi Faktuan; Vermin: Verifikasi Administrasi; dan Wawali: Wakil Walikota.