Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, January 7, 2018

Memborong Dukungan Parpol


SITUS berita kroniktotabuan.com, Sabtu, 6 Januari 2018, memajang unggahan Besok Sembilan Partai Deklarasikan Tatong-Nayodo (https://kroniktotabuan.com/besok-sembilan-partai-deklarasikan-tatong-nayodo/). Sembilan yang dimaksud adalah delapan parpol yang memiliki kursi di DPRD KK (PAN, PG, PDIP, PD, Gerindra, Hanura, PKS, dan PKB) ditambah Nasdem yang pertama kali ikut Pemilu pada 2014 dan belum beroleh kursi di KK.

Dukungan Sembilan partai terhadap Tatong Bara-Nayodo Kurniawan sebagai balon Walikota-Wawali menjadikan mereka satu-satunya pasangan yang sudah pasti bertarung di Pilwako KK 2018. Apalagi proses vermin dan verfak pasangan balon independen, Jainuddin Damopolii-Suharjo Makalalag, yang telah lebih dahulu mendaftar menghasilkan banyak temuan yang mengancam keikutsertaan mereka ke tahap berikut Pilwako.

Mendapatkan dukungan independen di Pilkada (provinsi dan kabupaten/kota) sesungguhnya perkara gampang-gampang sulit. Tergantung pada jumlah penduduk, khususnya pemilih dalam DPT. Semakin besar jumlah pemilih dalam DPT, tingkat kesulitan mengumpulkan dukungan kian tinggi. Di KK, dengan jumlah pemilih (sesuai data terakhir, Pilgub 2015) sebanyak 86.808, diperlukan minimal 8.681 dukungan sah—serta tersebar merata di seluruh daerah pemilihan—untuk balon independen di Pilwako 2018.

Dalam skala politik, 8.681 dukungan relatif kecil. Jika dikonversi ke perolehan kursi di DPRD KK, cukup tiga kursi dengan rata-rata 3.000 suara per kursi. Namun masalahnya menjadi tidak sederhana karena setiap dukungan yang diberikan untuk calon independen harus diperoleh atas kerelaan dan persetujuan individu pendukung.

Kerelaan dan persetujuan inilah yang sedang jadi masalah untuk pasangan Jainuddin-Suharjo, setidaknya demikian fakta-fakta yang mengemuka dalam proses verfak yang dilaksanakan KPU KK. Alhasil, selain secara administratif pasangan ini kekurangan 72 dukungan (dan harus disempurnakan dengan menambah dua kali lipat), faktualnya dukungan yang mereka genggam belum tentu solid.

Itu sebabnya, menurut hemat saya, klaim dan ‘’kampanye’’ (terutama dari para pendukung dan simpatisan) bahwa Jainuddin-Suharjo adalah ‘’pilihan rakyat’’—tinggal lantik jo—hanya bertumpu pada cara pikir ‘’otak dikit’’. Sama dengan menyatakan bahwa parpol pemilik kursi di DPRD KK tidak pilih oleh rakyat (barangkali yang memilih mereka adalah mangkubi dan puntianak); dan bahwa pengurus parpol dan wakil mereka di DPRD bukanlah bagian dari rakyat dan masyarakat KK.

Klaim dan ‘’kampanye’’ yang terlalu pede dan menghina nalar umum itu memang menjengkelkan: kalau Anda goblok dan baru bisa A-B-C-D politik, ya, mohon jangan mengajari publik yang sudah khatam A hingga Z. Tolong tutup mulut rapat-rapat dan ikat jari-jemari saja. Membuat gaduh, khususnya di media sosial, cuma menunjukkan para pelakunya semata sekelas (meminjam istilah yang dipopulerkan seorang kawan, Geiz Chalifah) ‘’kecebong kebun’’.

Salah satu sesumbar, tudingan, dan tuduhan setara pengetahuan ‘’kecebong kebun’’ adalah soal dukungan seluruh parpol pemilik kursi di DPRD KK terhadap pasangan Tatong-Nayodo. Tidak sekali-dua saya membaca komentar—atau tepatnya sinisme dan insinuasi—, bahwa pasangan ini sedang memborong dukungan parpol. Bahwa (dan cara pikir ini yang sangat gawat) dukungan 100% dari parpol pemilik kursi di DPRD KK terhadap pasangan balon Walikota-Wawali di Pilwako 2018 adalah ‘’kematian demokrasi’’ di kota ini.

Orang yang berpikiran demikian, terlebih mengkampanyekannya, jelas sejenis makluk yang bisa baca-tulis dan bersuara tetapi tak cukup bersekolah. Memangnya jika 100% parpol yang punya kursi di DPRD KK mendukung satu pasang balon, lalu ada UU dan turunannya di negeri ini yang dilanggar? Ada praktek politik dan demokrasi yang dikangkangi? Apa bedanya bentuk dukungan itu dengan pemilihan aklamasi yang banyak kita praktekkan? Demokrasi mana yang dilanggar dan dibunuh?

Di atas semua itu, aspek terpenting dari kontestasi politik seperti Pilkada adalah: Apa pra syarat dan syarat yang ditetapkan oleh parpol untuk memberikan dukungannya terhadap individu/pasangan politikus? Apakah pra syarat dan syarat itu sesuai kehendak dan keinginan konstituennya?

Di KK, parpol yang sadar terhadap posisinya sebagai saluran politik orang banyak, tentu tidak akan mengorbankan visi, misi, dan cita-cita jangka panjangnya hanya karena salah pilih balon Walikota-Wawali. Menduga, terlebih menuduh, parpol-parpol pemilik kursi di DPRD KK menetapkan dukungan terhadap Tatong-Nayodo bukan berdasar alasan politik paling rasional, adalah penistaan yang keterlaluan; atau lebih buruk lagi tak lain bentuk penyebaran kebencian yang terencana.

Kontestasi politik semacam Pilwako, bagi masyarakat KK yang relatif cukup maju cara pikir dan praktek berdemokrasinya, selayaknya adalah sebuah pesta yang lebih dari sekadar kuat-kuatan pengaruh. Dia mesti menjadi wacana dan praktek mencerdaskan umum. Bahwa Pilwako bukan terminal akhir pengujian kinerja dan citra; melainkan proses panjang penyiapan generasi ke generasi pemimpin dengan rekam jejak dan reputasi teruji.

Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, saya berpendapat, dukungan 100% dari parpol-parpol pemilik kursi di DPRD KK terhadap Tatong-Nayodo di Pilwako 2018, telah mencerminkan keawasan terhadap regenerasi kepemimpinan yang diharapkan di BMR. Tatong, dengan usia di kisaran 50 tahunan dan Nayodo sekitar pertengahan 40 tahunan, menunjukkan adalah regenerasi dan bahwa generasi saat ini cocok dengan tantangan yang dihadapi KK khususnya dan Indonesia umumnya.

Dan memang, sudah waktunya yang tua-tua dan seharusnya telah puas dengan kekuasaan (politik), minggir dari arena. Sebab, sekalipun ambisi boleh saja tak ada batasnya, tapi tahu diri dan tahu era semestinya perlu dipertimbangkan oleh para generasi tua yang masih maniso tertatih-tatih tak berhenti dengan kehausannya terhadap kekuasaan.

Lebih banyak mudaratnya, pribadi dan publik, jika seorang politikus tua kalah di kontestasi politik, apalagi jika di saat yang sama dia masih berada di puncak karir; ketimbang mundur dengan dada dan kepala tegak sembari mempersilahkan generasi lebih muda dan telah siap mengambil alih urusan dan hajat hidup orang banyak. Tersungkur dalam politik di usia muda hanya menunda pesta. Kalah di usia tua, berakhir tak lebih dari tiang bendera yang patah. Sekadar jadi hiasan museum ingatan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Balon: Bakal Calon; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; DPT: Daftar Pemilih Tetap; Gerindra: Gerakan Indonesia Raya; Hanura: Hati Nurani Rakyat; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; Nasdem: Nasional Demokrat; PAN: Partai Amanat Nasional; Parpol: Partai Politik; PD: Partai Demokrat; Pemilu: Pemilihan Umum; PG: Partai Golkar; Pilgub: Pemilihan Gubernur (dan Wakil Gubernur); Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); PKB: Partai Kebangkitan Bangsa; PKS: Partai Keadilan Sejahtera: Verfak: Verifikasi Faktual; Vermin: Verifikasi Administrasi; dan Wawali: Wakil Walikota.