SITUS berita kroniktotabuan.com,
Sabtu, 6 Januari 2018, memajang unggahan Besok
Sembilan Partai Deklarasikan Tatong-Nayodo (https://kroniktotabuan.com/besok-sembilan-partai-deklarasikan-tatong-nayodo/).
Sembilan yang dimaksud adalah delapan parpol yang memiliki kursi di DPRD KK
(PAN, PG, PDIP, PD, Gerindra, Hanura, PKS, dan PKB) ditambah Nasdem yang
pertama kali ikut Pemilu pada 2014 dan belum beroleh kursi di KK.
Dukungan Sembilan partai terhadap Tatong
Bara-Nayodo Kurniawan sebagai balon Walikota-Wawali menjadikan mereka
satu-satunya pasangan yang sudah pasti bertarung di Pilwako KK 2018. Apalagi
proses vermin dan verfak pasangan balon independen, Jainuddin Damopolii-Suharjo
Makalalag, yang telah lebih dahulu mendaftar menghasilkan banyak temuan yang
mengancam keikutsertaan mereka ke tahap berikut Pilwako.
Mendapatkan dukungan independen di Pilkada
(provinsi dan kabupaten/kota) sesungguhnya perkara gampang-gampang sulit. Tergantung
pada jumlah penduduk, khususnya pemilih dalam DPT. Semakin besar jumlah pemilih
dalam DPT, tingkat kesulitan mengumpulkan dukungan kian tinggi. Di KK, dengan
jumlah pemilih (sesuai data terakhir, Pilgub 2015) sebanyak 86.808, diperlukan
minimal 8.681 dukungan sah—serta tersebar merata di seluruh daerah pemilihan—untuk
balon independen di Pilwako 2018.
Dalam skala politik, 8.681 dukungan relatif
kecil. Jika dikonversi ke perolehan kursi di DPRD KK, cukup tiga kursi
dengan rata-rata 3.000 suara per kursi. Namun masalahnya menjadi tidak
sederhana karena setiap dukungan yang diberikan untuk calon independen harus
diperoleh atas kerelaan dan persetujuan individu pendukung.
Kerelaan dan persetujuan inilah yang sedang
jadi masalah untuk pasangan Jainuddin-Suharjo, setidaknya demikian fakta-fakta
yang mengemuka dalam proses verfak yang dilaksanakan KPU KK. Alhasil, selain
secara administratif pasangan ini kekurangan 72 dukungan (dan harus
disempurnakan dengan menambah dua kali lipat), faktualnya dukungan yang mereka
genggam belum tentu solid.
Itu sebabnya, menurut hemat saya, klaim dan
‘’kampanye’’ (terutama dari para pendukung dan simpatisan) bahwa
Jainuddin-Suharjo adalah ‘’pilihan rakyat’’—tinggal
lantik jo—hanya bertumpu pada cara pikir ‘’otak dikit’’. Sama dengan
menyatakan bahwa parpol pemilik kursi di DPRD KK tidak pilih oleh rakyat
(barangkali yang memilih mereka adalah mangkubi
dan puntianak); dan bahwa pengurus
parpol dan wakil mereka di DPRD bukanlah bagian dari rakyat dan masyarakat KK.
Klaim dan ‘’kampanye’’ yang terlalu pede dan menghina nalar umum itu memang
menjengkelkan: kalau Anda goblok dan baru bisa A-B-C-D politik, ya, mohon
jangan mengajari publik yang sudah khatam A hingga Z. Tolong tutup mulut
rapat-rapat dan ikat jari-jemari saja. Membuat gaduh, khususnya di media sosial,
cuma menunjukkan para pelakunya semata sekelas (meminjam istilah yang
dipopulerkan seorang kawan, Geiz Chalifah) ‘’kecebong kebun’’.
Salah satu sesumbar, tudingan, dan tuduhan
setara pengetahuan ‘’kecebong kebun’’ adalah soal dukungan seluruh parpol
pemilik kursi di DPRD KK terhadap pasangan Tatong-Nayodo. Tidak sekali-dua
saya membaca komentar—atau tepatnya sinisme dan insinuasi—, bahwa pasangan ini
sedang memborong dukungan parpol. Bahwa (dan cara pikir ini yang sangat gawat)
dukungan 100% dari parpol pemilik kursi di DPRD KK terhadap pasangan balon
Walikota-Wawali di Pilwako 2018 adalah ‘’kematian demokrasi’’ di kota ini.
Orang yang berpikiran demikian, terlebih
mengkampanyekannya, jelas sejenis makluk yang bisa baca-tulis dan bersuara
tetapi tak cukup bersekolah. Memangnya jika 100% parpol yang punya kursi di
DPRD KK mendukung satu pasang balon, lalu ada UU dan turunannya di negeri ini
yang dilanggar? Ada praktek politik dan demokrasi yang dikangkangi? Apa bedanya
bentuk dukungan itu dengan pemilihan aklamasi yang banyak kita praktekkan? Demokrasi
mana yang dilanggar dan dibunuh?
Di atas semua itu, aspek terpenting dari
kontestasi politik seperti Pilkada adalah: Apa pra syarat dan syarat yang
ditetapkan oleh parpol untuk memberikan dukungannya terhadap individu/pasangan
politikus? Apakah pra syarat dan syarat itu sesuai kehendak dan keinginan konstituennya?
Di KK, parpol yang sadar terhadap posisinya
sebagai saluran politik orang banyak, tentu tidak akan mengorbankan visi, misi,
dan cita-cita jangka panjangnya hanya karena salah pilih balon Walikota-Wawali.
Menduga, terlebih menuduh, parpol-parpol pemilik kursi di DPRD KK menetapkan
dukungan terhadap Tatong-Nayodo bukan berdasar alasan politik paling rasional,
adalah penistaan yang keterlaluan; atau lebih buruk lagi tak lain bentuk
penyebaran kebencian yang terencana.
Kontestasi politik semacam Pilwako, bagi
masyarakat KK yang relatif cukup maju cara pikir dan praktek berdemokrasinya,
selayaknya adalah sebuah pesta yang lebih dari sekadar kuat-kuatan pengaruh.
Dia mesti menjadi wacana dan praktek mencerdaskan umum. Bahwa Pilwako bukan
terminal akhir pengujian kinerja dan citra; melainkan proses panjang penyiapan
generasi ke generasi pemimpin dengan rekam jejak dan reputasi teruji.
Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, saya
berpendapat, dukungan 100% dari parpol-parpol pemilik kursi di DPRD KK terhadap
Tatong-Nayodo di Pilwako 2018, telah mencerminkan keawasan terhadap regenerasi
kepemimpinan yang diharapkan di BMR. Tatong, dengan usia di kisaran 50 tahunan
dan Nayodo sekitar pertengahan 40 tahunan, menunjukkan adalah regenerasi dan
bahwa generasi saat ini cocok dengan tantangan yang dihadapi KK khususnya dan
Indonesia umumnya.
Dan memang, sudah waktunya yang tua-tua dan
seharusnya telah puas dengan kekuasaan (politik), minggir dari arena. Sebab,
sekalipun ambisi boleh saja tak ada batasnya, tapi tahu diri dan tahu era
semestinya perlu dipertimbangkan oleh para generasi tua yang masih maniso tertatih-tatih tak berhenti
dengan kehausannya terhadap kekuasaan.
Lebih banyak mudaratnya, pribadi dan
publik, jika seorang politikus tua kalah di kontestasi politik, apalagi jika di
saat yang sama dia masih berada di puncak karir; ketimbang mundur dengan dada
dan kepala tegak sembari mempersilahkan generasi lebih muda dan telah siap
mengambil alih urusan dan hajat hidup orang banyak. Tersungkur dalam politik di
usia muda hanya menunda pesta. Kalah di usia tua, berakhir tak lebih dari tiang
bendera yang patah. Sekadar jadi hiasan museum ingatan.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Balon: Bakal Calon; DPRD: Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah; DPT:
Daftar Pemilih Tetap; Gerindra:
Gerakan Indonesia Raya; Hanura: Hati
Nurani Rakyat; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; Nasdem: Nasional Demokrat; PAN: Partai Amanat Nasional; Parpol: Partai Politik; PD: Partai Demokrat; Pemilu: Pemilihan Umum; PG: Partai Golkar; Pilgub: Pemilihan Gubernur (dan Wakil Gubernur); Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil
Walikota); PKB: Partai Kebangkitan
Bangsa; PKS: Partai Keadilan
Sejahtera: Verfak: Verifikasi
Faktual; Vermin: Verifikasi
Administrasi; dan Wawali: Wakil
Walikota.