Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, August 11, 2017

‘’Maniso’’ dan ‘’Gatotel’’, Berakhir dengan Bisik-bisik dan Cubit-cubitan

BUPATI Boltim, Sehan Landjar, memang selalu jadi darling media. Urusan kecil yang tak penting-penting amat, sekadar baku sedu dan kekenesan penggunaan bahasa, asal terkait atau dikaitkan dengan Eyang, bisa sontak dapat perhatian dan diviralkan seolah dunia di BMR sedang bergetar.

Tapi itulah Eyang, Bupati yang bagi saya sedekat saudara dan karib—dalam arti seutuhnya. Yang mudah ‘’meledak’’ tapi juga gampang tertawa dan mewek. Bahkan setelah bertahun-tahun mengenal dia, saya masih kerap kepeleset menafsir, apakah Eyang sedang serius atau cuma bercanda. Sedang berakting sebagai Bupati dan politikus piawai, atau ternyata lagi memainkan peran orang Mongondow kelahiran Boltim yang doyan lawak dan berbual.

Eyang yang sama itulah yang ‘’disentil’’ Wagub Sulut, Steven Kandouw, saat memberikan sambutan di acara Road Show Perpustakaan tingkat provinsi yang dilaksanakan di Lapangan Motoboi Kecil, Kecamatan Kotamobagu Selatan, Rabu, 9 Agustus 2017. Wagub yang sejatinya bicara tentang buku dan budaya baca-membaca, mendadak berbelok membahas rencana Bupati Boltim membangun RS, dikaitkan dengan disiapkannya RS Kotamobagu sebagai RS Rujukan regional di BMR.

Ketika itu, tulis kroniktotabuan.com di berita Steven: Sampaikan ke Sehan Landjar Jangan Maniso Buat RSUD Baru, Rabu, 9 Agustus 2017 (https://kroniktotabuan.com/boltim/steven-sampaikan-ke-sehan-landjar-jangan-maniso-buat-rsud-baru), Wagub mengatakan, ‘’Jadi bilang ke Bupati Sehan Landjar, tidak usah maniso-maniso bangun rumah sakit baru lagi. Karena untuk BMR sudah disiapkan RSU Kotamobagu untuk rujukan.’’

Dirunut lebih cermat, Wagub Steven tidaklah melarang Eyang membangun RS di wilayahnya. Hanya saja, tipe RS yang bakal didirikan tidak setara dengan RS Kotamobagu. Dengan begitu, di regional BMR hanya ada satu RS rujukan agar sumber daya (manusia dan dana) yang dialokasikan terfokus, optimal, dan tepat sasaran.

Sampai di situ, menurut hemat saya, tidak ada yang salah dengan substansi pernyataan Wagub Steven. Lagipula, dengan situasi anggaran negara saat ini, sekalipun fasilitas kesehatan menjadi salah satu perhatian utama pemerintahan Presiden Jokowi-Wapres Jusuf Kalla, membangun RS (sekadar tipe D) memerlukan persyaratan—dan biaya—tidak sederhana. Permenkes No. 56/2014 Tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit sudah jelas dan tuntas memaparkan. Ditambah lagi berbagai tetek-bengek yang ujung-ujungnya adalah sertifikasi layak-tidaknya fasilitas yang dibangun dioperasikan sebagai RS.

Memang bukang gampang membangun RS. Tidak sekadar maniso-maniso.

Alih-alih menjadikan substansi, yakni persyaratan berat dan kebutuhan dana besar untuk pembangunan RS, media justru menyoroti bahasa yang dipilih Wagub dalam pidatonya. Itupun cuma kata ‘’maniso-maniso’’ yang lalu disorot seolah negatif bagai ‘’cap lepra’’. Kata ini pulalah yang membuat Eyang—sebagai subyek yang dituju—langsung meradang. Mengingat dia adalah salah satu elit ‘’kesayangan’’ media (sebab komentar-komentarnya memang hampir selalu ‘’bocor alus’’ dan amat sangat layak kutip), reaksi Bupati Boltim segera pula menghiasi jagad media (siber) di BMR.

Situs berita totabuan.co, Kamis, 10 Agustus 2017, memajang judul Sehan: Wakil Gubernur Steven Kandouw Belum Pintar Gunakan Kalimat (http://totabuan.co/2017/08/sehan-wakil-gubernur-steven-kandouw-belum-pintar-gunakan-kalimat/), yang mengutip, ‘’Sekelas Wakil Gubernur tapi belum pintar menggunakan kalimat dan masih kurang paham tentang kaidah. Tapi saya memahami bahwa setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda soal tata bahasa.’’ Persahutan ini dengan segera jadi ‘’dabu-dabu’’ dibalas dengan ‘’rica-rica’’.

Media lain, Tribun Manado, menurunkan berita Sehan: Soal Tipe Rumah Sakit Bukan Wewenang Pemkab Boltim (http://manado.tribunnews.com/2017/08/10/sehan-soal-tipe-rumah-sakit-bukan-wewenang-pemkab-boltim), lebih lunak dan hati-hati. Namun, tetap saja situs ini mengutip komentar Eyang yang tak kalah pedas, bahwa, ‘’Saya katakan bahwa Steven Kandow belum pintar menggunakan kalimat dan masih kurang paham tentang kaidah bahasa, sehingga beliau sampai gunakan bahasa yang kurang etis untuk pejabat sekelas Wakil Gubernur.’’


Tanpa bermaksud membela Wagub Steven—yang juga bertahun-tahun saya kenal akrab—, dalam perspektif bahasa di Sulut, pilihan katanya (menggunakan ‘’maniso’’) semestinya tidaklah heboh-heboh amat dan perlu ‘’dikompor-kompori ‘’ hingga menjadi pemantik perbenturan pribadi dengan Eyang. ‘’Maniso’’ adalah bahasa Manado untuk ‘’genit’’. Dan KBBI mengartikan ‘’genit sebagai ‘’bergaya-gaya (tingkah lakunya); banyak tingkahnya; keletah’’ (https://kbbi.web.id/genit).

Telahaan yang lebih populis, sekadar duga-duga budaya berbahasa (lebih jelasnya biarlah urusan ahlinya), dalam pandangan saya, pernyataan Wagub adalah ekspresi karena dia menempatkan Eyang sederajat. Kata-kata seperti ‘’maniso’’, dalam konteks umum seperti saat Wagub Steven menyampaikan pidatonya, lebih menunjukkan kedekatannya dengan Eyang ketimbang maklumat permusuhan.

Apa bedanya kalimat awal yang menggunakan ‘’maniso’’ dengan: ‘’Jadi bilang ke Bupati Sehan Landjar, tidak usah bergaya-gaya bangun rumah sakit baru lagi’’? Atau, ‘’Jadi bilang ke Bupati Sehan Landjar, tidak usah banyak gaya bangun rumah sakit baru lagi’’? Memang tetap bikin jengkel, tapi tidak bermaksud menghina, apalagi mengaitkan dengan ‘’laki-laki gatotel’’ atau—lebih buruk lagi—‘’pria sundal’’.

Maka, demi kemaslahatan semua pihak, barangkali ada baiknya isu ‘’maniso’’ ini dikembalikan pada subtansinya, bahwa: kabupaten/kota mustahak membangun fasilitas kesehatan yang memadai, sesuai kebutuhan masyarakat dan wilayahnya. Sejalan dengan itu, berkenaan dengan konteks BMR, wajib pula didirikan dan dioperasikan sebuah fasilitas kesehatan (RS) yang menjadi rujukan regional.

Selebihnya, dengan timbangan yang adil, harus diakui dalam pidatonya Wagub memang ‘’maniso’’ memilih kata bersayap yang multi tafsirnya cenderung risih; sedang Eyang juga serta-merta mendidih hati dan ‘’gatotel’’ bikin pernyataan yang melebar dan meluber-luber. Tapi, dengan mengenal baik Wagub dan Eyang, tampaknya solusi terbaik dari silang mulut dua elit di Sulut ini gampang belaka: selesaikan di rumah kopi dengan bisik-bisik dan cubit-cubitan.

Dan untuk urusan perbisikan dan percubitan itu, saya berani bertaruh, Eyang akan menang mutlak dari Wagub Steven.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BMR: Bolaang Mongondow Raya; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Jokowi: Joko Widodo; KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia; Permenkes: Peraturan Menteri Kesehatan; RS: Rumah Sakit; RSU: Rumah Sakit Umum; Sulut: Sulawesi Utara; Wagub: Wakil Gubernur; dan Wapres: Wakil Presiden.