Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, August 5, 2017

Pilkada KK, Mendadak Politikus, dan Parpol Omong-kosong

PAN membuka pendaftaran Cawali dan Cawawali KK 2018-2022. Langkah parpol penguasa kursi terbanyak di DPRD KK 2014-2019 ini segera diikuti oleh Hanura, PG, dan PDIP. Kita, entah orang banyak yang sadar—atau justru sedikit yang masih memelihara kewarasan—menyaksikan politik di KK (barangkali pula BMR, dan bahkan Indonesia, umumnya) adalah percampuran menggelikan dari ambisi, kebodohan, dan parpol yang tak beda dengan lembaga para calo.

Jauh sebelum keriuhan politik Pilkada 2018 mengeliat di KK, saya kerap ditanya apakah berminat maju sebagai Cawali atau Cawawali. Saya tahu, kebanyakan orang yang melontarkan pertanyaan itu sebenarnya sekadar berbasa-basi, demi kesantunan sosial sebelum memulai percakapan lebih masuk akal dan serius. Beberapa lainnya (terutama mereka yang jengkel dengan ‘’kecerewetan’’ saya) adalah sindiran yang dapat diartikan: ‘’Nyanda usah banya mulu. Kalu butul orang percaya, noh maju jadi Cawali atau Cawawali dang.’’

Menggunakan kepercayaan diri yang agak keterlaluan, saya yakin ada satu-dua penduduk KK yang percaya saya mampu menjadi pemimpin (politik dan birokrasi). Secara pribadi, saya menghormati diri sendiri dengan mempercayai: karir profesional yang tak linier 30 tahun terakhir telah cukup memberi bekal pengetahuan, keterampilan, kompetensi, dan kapabilitas menjadi pemimpin. Minimal tidaklah memalukan bila mesti memimpin rapat atau pidato di depan orang banyak.

Pendek kata: ‘’Kalu jadi Walikota atau Wawali cuma modal banya mulu, boleh rayu pohong pisang sampe dia barasa pohong kalapa, kita pasti minimal dapa angka 9.’’  Ihwal biaya politik yang biasanya jadi momok di negeri ini, gampang belaka. Ketika seseorang menjadi Cawali atau Cawawali dan dianggap punya peluang terpilih, dia dengan mudah menemukan ‘’teman’’ berkantong tebal. Tentu saja, ‘’tak ada makan siang gratis.’’ Hari ini Anda ditraktir, besok gantian Anda mentraktir.

Mereka yang terus-menerus hanya mau ditraktir: jika bukan dhuafa berkelanjutan, maka pastilah tak punya otak permanen.

Untunglah, saya tahu persis, halusinasi kepingin jadi Cawali atau Cawawali harus diimbangi dengan ketahutempatan dan ketahudirian. Saya bukan kader parpol. Tidak tercatat sebagai anggota salah satu parpol. Hanya simpatisan. Itupun saya bersimpati pada PAN karena jajaran elitnya (di Sulut) kebanyakan adalah teman atau kenalan baik.  Saya bersimpati pada PDIP, sebab punya sejarah dan kedekatan pribadi dengan sepak-terjang parpol ini sejak zaman Orba. Saya bersimpati pada PG karena—menurut pandangan sangat individual saya—sudah benar-benar jadi lembaga politik; bukan lagi organisasi fans tokoh tertentu. Saya bersimpati pada PKS, bahkan pernah melamar jadi anggota dan sukses ditolak, sebab ingin belajar dan mempraktekkan ‘’politik Islam yang tawadu’ dan kaffah’’, yang nyatanya ‘’pret’’ belaka.

Buru-buru masuk parpol menjelang Pilkada KK, demi impian jadi Cawali atau Cawawali, cuma mengaminkan potongan lirik lagu: ‘’terlambat sudah kau datang padaku….’’ Pilihan satu-satunya yang terhormat, sejalan dengan konstitusi, dan sehat bagi demokrasi, adalah jalur independen. Ini perkara maha sulit. Kehidupan pribadi saya dan keluarga (termasuk keluarga besar) baru sampai taraf cukup dengan sedikit kelebihan. Belum berlebih-lebihan.

Menjadi politikus independen yang ikut kompetisi politik hanya bermodal baliho dan Insya Allah terpilih, menurut pandangan saya, adalah kejumudan yang keterlaluan. Apalagi praktek politik kita masih dengan sengaja digiring agar tetap tradisional dan transaksional. Jangan berharap orang banyak berbondong mengerahkan sumber dayanya demi mendukung tokoh yang dianggap pantas dan layak didudukkan sebagai pemimpin (politik dan birokrasi).

Parpol yang mayoritasnya masih lembaga fans dan kebanyakan politikus yang doyan membeli konstituen, berhasil mendidik masyarakat, bahwa: Pemilu, Pilkada, atau peristiwa politik besar pasti membawa rezeki pada para pemilih. Tim sukses artinya pekerjaan. Simpatisan berarti ada biaya penggantian waktu dan tenaga. Dan bahkan ke TPS-pun ada harganya.

Tapi, masih ada harapan, walau setipis rambut. Parpol sebagai lembaga politik, institusi yang menyiapkan pemimpin politik (dan publik), juga berperan sebagai talent scouting. Di luar mendidik dan mengkaderkan anggota atau simpatisannya, parpol yang berorientasi pada kualitas, seharusnya berperan aktif menemukan outsider dan outlier, membawa masuk dan secara selektif memberi mereka kesempatan.

Dalam pandangan saya, membuka pendaftaran Cawali atau Cawawali (pula Caleg, Cabup-Cawabup, Cagup-Cawagub, bahkan Capres-Cawapres) adalah peran aktif parpol dengan cara malas dan tak berkualitas. Parpol tidak difungsikan sebagaimana klaim omong besar selama ini: sebagai institusi kader. Pendaftaran calon kepala daerah/negara atau anggota legislatif menjelang pelaksanaan Pilkada atau Pemilu, tak beda dengan percaloan. Menjual karcis bioskop di luar booth resmi, sesaat sebelum pertunjukan dimulai.

Ada calo, tentu ada pula konsumennya yang jumlahnya ternyata ‘’astaga’’. Lihat saja bagaimana di Pilkada KK yang sudah menggeliat, orang-orang (dari politikus, pengangguran banyak gaya, ASN, pedagang, hingga wartawan) berbondong mendadak politikus, menyodorkan diri ke parpol-parpol yang membuka pendaftaran bakal kandidat. Politik Pilkada pada akhirnya menjadi sekadar ajang pencarian bakat semacam Indonesian Idol, KDI, atau AFI.

Ketika ambisi kekuasaan merasuk, akal sehat perlahan mati. Mereka yang bukan politikus bersesakan mendaftar sebagai calon kepala daerah di parpol-parpol yang membuka pendaftaran, apapun alasannya, memang mengambil jalan pintas. Namun politikus, kader parpol, apalagi yang masih menduduki jabatan politik sebagai Walikota atau Wawali, dengan bangga ikut mendaftar ke partainya sendiri dan partai lain, dalam pandangan saya adalah politikus idiot.

Untuk apa mereka berpartai? Terlebih jika dia adalah Ketua DPW, DPD, DPC, apalagi DPP, dan terbukti telah meraih jabatan politik elit. Bagaimana pula mekanisme di dalam parpolnya? Bikin apa saja sang parpol selama lima tahun hingga tak punya sistem penyiapan dan indikator siapa kadernya yang diterima dan didukung oleh konstituen?

Praktek politik ‘’tiba saat, tiba masalah’’ hanya menghasilkan para pemimpin pencitraan berbiaya mahal, yang akhirnya cuma jadi predator terhadap orang banyak yang dia pimpin. Yang menempatkan seluruh kita tak beda dengan kerbau dungu yang gagal memetik pelajaran dari pengalaman praktek politik ‘’pemilihan langsung’’ setidaknya dalam 19 tahun terakhir.

Itu sebabnya, di tengah keriuhan bermunculannya nama-nama yang mendaftar di parpol-parpol yang tengah menjaring kandidat untuk Pilkada KK 2018, saya bersyukur sembari mengusap dada. Setidaknya, sekalipun—dengan sejujurnya—punya mimpi jadi kandidat Cawali atau Cawawali, saya masih terlalu waras untuk merendahkan diri jadi korban percaloan. Sekadar demi pernah mencatatkan diri sebagai kandidat.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AFI: Akademi Fantasi Indonesia; ASN: Aparatur Sipil Negera; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Cabup: Calon Bupati; Caleg: Calon Legislatif; Capres: Calon Presiden; Cawabup: Calon Wakil Bupati; Cawagub: Calon Wakil Gubernur; Cawali: Calon Walikota; Cawapres: Calon Wakil Presiden; Cawawali: Calon Wakil Walikota; DPC: Dewan Pimpinan Cabang; DPD: Dewan Pimpinan Daerah; DPP: Dewan Pimpinan Pusat; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; DPW: Dewan Pimpinan Wilayah; Hanura: Hati Nurani Rakyat; KDI: Kontes Dangdut Indonesia; KK: Kota Kotamobagi; Orba: Orde Baru; PAN: Partai Amanat Nasional; Parpol: Partai Politik; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pemilu: Pemilihan Umum; PG: Partai Golkar; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Sulut: Sulawesi Utara; TPS: Tempat Pemungutan Suara; dan Wawali: Wakil Walikota.