Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, March 26, 2013

Palsu-Palsu Memang Menggoda


DI MONGONDOW, khususnya Bolaang Mongondow Timur (Boltim), selain Bupati Sehan Lanjar, ada dua politisi yang selalu mengundang perhatian saya. Mereka adalah Sopian Alhabsyi dan Sunarto Kadengkang.

Tiap kali bersua Sopian Alhabsyi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Boltim dari Partai Bintang Reformasi (PBR) yang lebih populer sebagai Aba Um, saya menikmati percakapan penuh semangat. Tentu ditemani kopi dan kepul-kepul asap kretek bagai cerobong kereta api berbahan bakar batubara. Dalam soal ceplas-ceplos dan keterus-terangan, Aba Um hampir setara Eyang (sapaan akrab Bupati Boltim ini selalu saya tuliskan dengan penuh respek).

Dengan Eyang dan Aba Um, saya bagai berada di tengah karib yang tumbuh bersama dari masa kanak. Membahana dalam tukar cerita, tertawa lepas, bahkan tak ada halangan mengulas topik-topik sensitif dan very-very confidential.

Di sisi lain, sikap easy going Aba Um dibarengi pula dengan temperamennya yang mirip balon. Salah sentuh sedikit, dia bakal meledak. Sekaligus gampang teduh. Bagi Aba Um tampaknya tak ada yang benar-benar dimasukkan dalam hati, kecuali yang menggores harga diri dan kehormatannya.

Sikap terbuka (dan berani) Aba Um tak pandang bulu pula. Mencuatnya dugaan penyalahgunaan anggaran Makan Minum (MaMi) di DPR Boltim, misalnya, dengan enteng dia tanggapi. Menurut Aba Um’, sebagaimana dikutip Kontra Online (http://kontraonline.com/11561/alhabsyi-siap-ungkap-informasi-dugaan-korupsi-dana-ma-mi-dprd-boltim/), dia akan kooparatif memberikan semua keterangan yang diperlukan pihak berwenang. Kita patut menduga, pernyataan itu diam-diam mengundang geram koleganya yang ‘’mungkin’’ bakal turut terjerat.

Politisi lain adalah Sunarto Kadengkang yang (setidaknya sampai saat ini) duduk di DPR Boltim lewat Partai Golkar (PG). Saya tidak akrab dengan sosok yang dikenal dengan panggilan Om To’ (dia juga mungkin sama sekali tak tahu tentang saya) ini. Namun dalam percaturan percakapan politik Mongondow, Om To’ kerap disebut, terutama urusan humor-humor segar dan original-nya. Tanpa terkatan, telah lama saya menjadi fans Om To’ dalam pengertian sebenarnya.

Karena tak cukup dekat mengenal Om To’, sulit bagi saya menggambarkan seperti apa dia di balik permukaan. Namun dengan mengikuti dinamikanya sebagai politikus, terutama yang dipublikasi di media, saya menyimpulkan Om To’ dan Aba Um punya kemiripan dalam soal ceplas-ceplos. Apapun yang mereka komentari, dengan gaya dan cara masing-masing, mengalir bebas dan tanpa beban.

***

Sebagai pengagum Om To’, saya menjadi salah satu warga Mongondow yang kaget ketika mengetahui dia ditangkap polisi atas dugaan penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang (Narkoba). Saya bersimpati dan berempati. Setiap orang berpotensi keliru dan bertindak salah. Dan itu tidak menghapus kesan baik, lucu, dan manusiawi dari benak saya terhadap Om To’.

Dukungan saya hanyalah, semoga  Om To’ dapat melewati proses hukum yang kini dijalaninya dengan tabah. Badai pasti berlalu.

Ketersentakan yang sama menghantam saya ketika isu materai palsu mencuat dan nama yang terkait adalah Aba Um. Sintesa dari lalu lintas informasi yang saya ketahui menyebutkan, materai palsu yang jadi pokok soal bersumber dari Aba Um. Fakta ini tak dibantah, bahkan diperjelas, antara lain lewat Kontra Online, Jumat (22 Maret 2013), Soal Materai Palsu, Alhabsyi Mengaku Ditipu Wanita Pramuria Jakarta (http://kontraonline.com/11773/soal-materai-palsu-alhabsyi-mengaku-ditipu-wanita-pramuria-jakarta/).

Aba Um tanpa tedeng aling-aling membeberkan riwayat hingga materai palsu yang kini jadi dugaan tindak pidana tiba ke tangannya. Dia juga mengungkap barang palsu ini beredar karena niatnya membantu yang memerlukan. Misalnya kelompok nelayan yang mengurus dokumen yang membutuhkan materai.

Terang-benderanglah hal ihwal palsu itu. Dengan kata lain, Aba Um adalah korban penipuan dan dia berhak mendapatkan perlindungan hukum. Apalagi sebagai korban dia tidak menggunakan barang palsu yang dikuasai untuk mendapatkan keuntungan, tetapi dimanfaatkan demi kepentingan yang bersifat sosial dan suka rela.

Kita tentu tidak perlu mengutak-ngatik lebih jauh mengapa pelaku penipuan terhadap Aba Um adalah ‘’wanita pramuria’’ di salah satu pub di Jakarta. Mengulik informasi tidak perlu hanya melahirkan spekulasi dan gosip. Bisa-bisa kemudian ada pertanyaan: Ketemunya di pub ya? Dalam rangka studi banding, konsultasi DPR, bimbingan teknis, atau jalan-jalan pribadi?

Aba Um, harap maklum, mulut iseng di Mongondow memang suka mencari-cari celah, menggali cerita yang dapat dipertukarkan sebagai menu tambahan di warung kopi, arisan, atau sekadar reriungan berbual membuang-buang waktu. Saya kira pertanyaan tidak penting seperti itu tak perlu ditanggapi.

Penipuan yang dilakukan ‘’wanita pramuria’’ sudah dilaporkan ke pihak berwajib. Polisi telah pula mengusut. Sebagai korban, Aba Um dan para pengguna materai palsu itu tak boleh dikriminalisasi.

***

Selesaikah masalahnya? Tidak juga. Menurut pendapat saya, kita memang mesti mewaspadai merajalelanya segala yang palsu. Sekadar cinta palsu, hubungan palsu, janji palsu (khususnya di musim kampanye), ijazah palsu, bahkan polisi dan tentara palsu, sudah jadi konsumsi harian kita. Jangan ditanya lagi barang-barang konsumsi palsu yang bahkan banyak di antara kita bangga menggunakannya.

Memang mana tahan melihat barang-barang palsu, yang di tangan pemalsu kelas empu tampak lebih luar biasa dan tanpa cela bahkan dibanding aslinya. Saya tentu tak sedang bicara tentang kaos, celana, sepatu, jam tangan, tas, atau perhiasan ber-merk yang di-KW-kan. Melainkan yang tak dilebeli dan hanya dapat dideteksi oleh para pakarnya.

Dengan terlebih dahulu meminta maaf, siapa sih (termasuk politisi dan anggota DPR berpengalaman seperti Aba Um) yang mampu mendeteksi senyum sumringah dari wajah ayu, tubuh bagai dewi Yunani, dengan kepribadian aduhai, ternyata semuanya palsu. Senyumnya hasil latihan akting, wajah manis adalah kreasi ahli bedah plastik di Singapura, dan tubuh moi ternyata tak beda dengan body mobil, penuh plastik, dempul, dan disempurnakan dengan sedot lemak.

Yang palsu tapi sukar dideteksi ini menjadi pintu masuk membanjirnya palsu-palsu yang lain. Soalnya adalah kita tak bisa membandingkan, seperti menyanding Nike atau Adidas original dan KW, yang cukup dilakukan dengan membawa ‘’barang terduga palsu’’ ke gerai yang digaransi memang hanya menjual produk asli.

Nah, sebelum saya melantur dan mengundang kecaman dari para penggiat gender dan advokasi perempuan, kita tutup saja tulisan ini. Lagipula, peringatan terhadap godaan palsu ini bukan hanya pada kaum pria semata. Para wanita pun sebaiknya siaga terhadap senyum menggoda, wajah flamboyan, dan postur macho. Boleh jadi itu juga hasil pemalsuan, pembuka pintu menuju palsu-palsu selanjutnya. Terlebih kalau yang bersangkutan mengaku anggota DPR, pejabat tinggi, perwira teras, atau pengusaha terkemuka.***