Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, April 5, 2014

‘’Mulu-mulu Politik, Politik Mulu-mulu’’

KAMPANYE Pileg, kata anak muda dengan rambut dicukur pendek beranting bulat menggantung di telinga kanannya, ‘’Adalah kesempatan jual diri di tengah riuhnya para penjaja menawarkan komoditi yang sama.’’ Saya tak sengaja mendengar tausiah sang bijak yang dia sampaikan pada empat kawannya –dari tampilan tampaknya mereka mahasiswa— saat suntuk menunggu KRL Commuter Bogor-Jakarta, Kamis petang (3 Maret 2014).

Kendati kagum dan tertarik dengan lanjutan analisis si kepala rapi beranting bajak laut, perlahan saya beringsut menjauh. Tak enak rasanya diam-diam menguping pembicaraan orang. Namun tak urung pernyataan cerdas yang dia lontarkan mengiang-ngiang di benak, bahkan hingga saya tiba di rumah selepas dibelit kemacetan ruas Jalan Sudirman, Jakarta.

Belum lagi surut pesona kalimat itu, yang dengan sederhana berhasil menyimpulkan fenomena politik (politisi dan pra pendukungnya) di kampanye Pemilu yang berakhir Minggu, 6 April 2014, ini, kabar lain tiba dari Bolmong: ‘’Kiapa kong Ketua DPD PAN Bolmong kase kampanye pa EE Mangindaan, bukang Yasti Mokoagow?’’ Informasi berbentuk tanya ini jelas menggelitik, tetapi saya menahan diri tak berkomentar. Di situasi yang serba sensitif, menyahuti sepotong info, sebaris kabar, bisa berkonsekwensi macam-macam.

Saya tak ingin terperosok merepotkan diri. Tiga nama yang disebutkan itu bukan orang biasa. Mereka adalah tokoh-tokoh publik dan politik lokal, regional, dan nasional. Dua di antaranya bahkan tergolong ‘’papan atas’’ di negeri ini. Sebaiknya mulut yang biasanya gampang mengumbar sinisme dan celetukan pedas ini, bersegera dikatup serapat-rapatnya.

Tapi penasaran terlanjur bersarang di batok kepala, mendorong saya mengontak beberapa adik-adik, dan akhirnya berhasil mendapatkan pernyataan utuh yang ditafsir sebagai kampanye Ketua DPD PAN Bolmong yang untuk Caleg Nomor Urut 1 PD Dapil Sulut untuk DPR RI, EE Mangindaan, dan konteksnya. Rupanya, di satu kesempatan kampanye yang berlangsung beberapa waktu lalu, Ketua DPD PAN yang juga Bupati Bolmong, Salihi Mokodongan, menginformasikan adanya komitmen Menhub EE Mangindaan merealisasikan proyek infrastruktur perhubungan vital di Bolmong.

Kalimat Ketua DPD PAN Bolmong tidak selesai sampai di situ, karena dilanjutkan (kurang lebih) dengan frasa, anggaran proyeknya tak lepas dari kontribusi anggota Komisi V yang juga Caleg Nomor Urut 6 PAN Dapil Sulut untuk DPR RI di Pemilu 2014 ini, Yasti Soepredjo Mokoagow. Menyebarkan hanya setengah fakta pernyataan Salihi Mokodongan, adalah jenis ‘’kampanye hitam’’ yang jauh dari elegan dan etis. 

Di posisi formalnya sebagai Bupati, tidak ada yang salah jika Salihi Mokodongan menyampaikan apresiasi terhadap Menhub EE Mangindaan. Namun lain soal bila dikonteksnya dengan kampanye Pemilu. Jika ketidak-lengkapi pernyataan yang disebarkan itu tak buru-buru dikoreksi, orang banyak mudah menyimpulkan Salihi Mokodongan menghianati partainya dan relasinya (politik, bahkan pribadi) dengan Yasti telah tak karuan. ‘’Bagitu noh ini politik skarang di Bolmong Raya. Lebe banya’ politik mulu-mulu,’’ kata salah seorang adik yang saya kontak, sembari menyemburkan sejumlah serapah yang demi sopan-santun haram saya kutipkan.

Politik mulu-mulu? Ini juga penyederhanaan yang tepat dari fenomena politik, khususnya di Bolmong Raya. Teringatlah saya satu ketika di awal masa kampanye pencalonan Tatong Bara-Jainuddin Damopolii sebagai Walikota-Wawali KK di Pilwako 2013 lalu, ada yang mengirim kisikan, ‘’Ketua DPD PAN KK tidak diberi peran karena dia kurang disukai oleh Tatong Bara dan Yasti Mokoagow.’’ Ketua DPD yang dimaksud adalah Begie Gobel, yang sepengetahuan saya justru menjadi salah-satu penggerak dukungan terhadap kandidat yang diusung partainya.

Hingga Pilwako usai dan Tatong Bara-Jainuddin Damopolii terpilih sebagai Walikota-Wawali KK 2013-2018, saya tak pernah mengecek dari mana sumber info tak bertanggungjawab itu dating. Tidak pula menanyakan benarkah Tatong Bara dan Yasti Soepredjo Mokoagow tidak menyukai Begie? Bagi saya, kalau keduanya tidak suka (politis dan pribadi), gampang saja: Copot Begie dari jabatannya. Tatong adalah Ketua DPW PAN Sulut, Yasti tak lain Bendahara DPP PAN. Apa susahnya mereka menyingkirkan Begie?

Saya juga tidak peduli tatkala dibisiki, di kampanye Pemilu 2014 ini ada ‘’instruksi’’ yang dimotori Kepala SKPD (pertemuannya pun dilakukan di kantor instansi Pemkot) yang mengarahkan di Dapil Kotamobagu Barat (di mana Begie terdaftar sebagai Caleg Nomor Urut 9 PAN untuk DPR KK), Caleg yang harus didukung adalah si Fulin, bukan Begie Gobel. Instruksi itu konon datang dari Walikota yang lebih mem-favoritkan si Fulin (kader baru PAN) ketimbang Begie Gobel yang Ketua DPD.

Gila betul ‘’politik mulu-mulu’’ itu. Faktanya memang ada pertemuan seperti yang dikisahkan dengan bisik-bisik itu ke saya. Tapi melibatkan PNS dan fasilitas pemkot KK, apalagi dengan atas nama ‘’instruksi’’ Walikota, agak di luar nalar. Kecuali kalau Walikota KK saat ini sama bodoh dengan pendahulunya yang mengedepankan kekuasaan ketimbang menggugah kesadaran publik.

Di masa kampanye ini, tiap hari gosip, bisik-bisik, dan batata’ politik seperti itu (dengan Caleg dan Parpol berbeda-beda) tiba di telepon saya, terutama berbentuk SMS dan BBM. Sungguh informasi cemen yang menempatkan kita, para konstituen, seolah bernalar dan pengetahuan rendah. Sama halnya dengan kabar bahwa salah satu Caleg DPR RI berlatar Mongondow lain tanpa malu-malu mengklaim massifnya pembangunan infrastruktur perhubungan, perumahan, irigasi, dan fasilitas publik lain, adalah juga hasil kinerja optimalnya.

Saya berkeyakinan, informasi sesat itu tak bakal laku di tengah masyarakat Sulut umumnya dan Bolmong Raya khususnya, yang relatif sudah terpapar informasi anggota DPR RI mana yang duduk di komisi apa; lengkap dengan apa yang sudah mereka kerjakan dan capaiannya. Masyarakat khatam mengetahui infrastruktur teknis itu berada di wilayah Komisi V DPR RI dimana Yasti Soperedjo Mokoagow menjadi anggota (bahkan pernah menjadi ketua)-nya. Beda dengan Komisi IX, misalnya, yang mengurusi kesehatan atau pendidikan, yang bila infrastrukturnya berantakan di Bolmong Raya, tentu selayaknya harus ditanyakan pada anggota DPR RI asal Sulut lain yang duduk di komisi ini.

Tapi siapa yang mampu menghentikan jalaran info ‘’politik mulu-mulu’’ itu? Terlebih, sekali pun lebih banyak karang-karangan dan duga-duganya,  saya yakin ‘’mulu-mulu politik’’ punya sedikit (atau malah banyak) kebenaran. Dan sedikit kebenaran selalu membuka ruang dikreasi dan dibumbui para penerusnya di warung kopi, arisan ibu-ibu, bual-bual hajatan sosial, bahkan bisik-bisik antar suami-istri di ruang pribadi.

Masalahnya, maukah kita ramai-ramai menyerahkan keputusan nasib kualitas anggota DPR, kontrol efektif terhadap jalannya pemerintahan, dan aspirasi terhadap kemaslahatan bersama pada informasi ‘’politik mulu-mulu’’, sekadar klaim, atau atas nama? Saya kira, masyarakat Bolmong Raya adalah entitas cerdas dan tersadarkan yang lebih dari mampu dengan jernih membeda yang mana substansi dan yang sekadar bumbu atau penyedap.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; Caleg: Calon Legislatif; Dapil: Daerah Pemilihan; DPD: Dewan Pimpinan Daerah; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; DPW: Dewan Pimpinan Wilayah; KK: Kota Kotamobagu; KRL: Kereta Rel Listrik; Menhub: Menteri Perhubungan; PAN: Partai Amanat Nasional; PD: Partai Demokrat; Pemilu: Pemilihan Umum, Pileg: Pemilu Legislatif, Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); RI: Republik Indonesia; SMS: Short Message/Pesan pendek; SKPD: Satuan Kerja Pemerintah Daerah; Sulut: Sulawesi Utara; dan Wawali: Wakil Walikota.