Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, April 25, 2014

Ironi Don Quixote dan Sancho Panza di Bolmong

SIDAK Bupati Bolmong, Salihi Mokodongan, Kamis (24 April 2014), memergoki  Kantor BPMD dan BNK yang nyaris melompong. Situs berita totabuan.com, http://totabuan.co/2014/04/bapati-bolmong-kesal-dua-pintu-kantor-skpd-ditutup/  (judulnya pun salah karena mencantumkan ‘’Bapati’’), menulis, kesal dengan ketak-disiplinan pimpinan dan stafnya, Bupati menutup pintu (utama) dua kantor SKPD ini dan menyerahkan kuncinya pada Kepala Satpol PP yang mendampingi saat inspeksi berlangsung.

Di kabupaten/kota lain, terlebih di tingkat provinsi, tindakan seorang Kepala Daerah seperti yang dilakukan Bupati Salihi itu, bakal membuat gemetar pimpinan SKPD dan stafnya. Tidak demikian di Bolmong, terlebih karena Bupati tak punya kejelasan tindakan lanjutan, setidaknya seperti yang dicerminkan dari pernyataannya, ‘’Senin pekan depan saya akan melakukan rapat evaluasi bersama Baperjakat. Dan tingkat kehadiran pejabat dipastikan akan mendapat catatan.’’

Pejabat dan PNS yang tidak disiplin sekadar mendapat catatan? Sikap macam apa itu?

Kurang bertumpukkah catatan yang dikumpulkan Bupati hingga dari waktu ke waktu? Bukankah sejak menduduki jabatan Kepala Daerah bersama Wabup Yani Tuuk pada 2011, kerjanya hanya sidak dan sidak? Atau karena catatan-catatan sidak Bupati Salihi, terutama yang dapat ditelusuri dari publikasi media, cuma memproduksi himbauan serta penegasan perlunya penegakan disiplin di jajaran birokrasi Pemkab Bolmong; dan karenanya mudah terlupa dan diabaikan?

Kemanakah sanksi yang mestinya ditimpakan di atas kepala dan pundak PNS yang berulah sesuka, seenak, dan semaunya sendiri? Saya mungkin melewatkan informasinya, tapi adakah umum punya rekaman dan ingatan Bupati Salihi pernah mengambil tindakan tegas terhadap jajarannya, yang membuktikan dia serius terhadap pernyataan (terlebih instruksi) di posisi sebagai Kepala Daerah?

Di era Bupati Salihi-Wabup Yani, birokrat dan birokrasi di Bolmong memang liar dan tak terkendali. Pemerintahan di daerah ini bagai bandul yang berpindah dari satu ektrim ke ektrim yang lain. Di bawah rezim Bupati Marlina Moha-Siahaan, para birokrat bagai simpanse dalam kerangkeng. Lalu setelah 10 tahun yang mengekang, terutama dorongan dan fantasi menerabas disiplin, profesionalisme, dan kepatutan perilaku PNS, mereka mendadak bebas se bebas-bebasnya.

Kita, orang Mongondow –dan terutama warga Bolmong— pun menyaksikan kerusakan sistem, tata laksana, tata cara, dan perilaku para birokrat yang belum pernah terjadi di seluruh Bolmong Raya. Hampir semua PNS berlomba memanfaatkan kenaifan, keluguan, ketidak-tahuan, dan ketidak-mengertian (khususnya) Bupati dengan berbagai cara dan trik. Tak mengada-ada bila patut diduga sebagian elit birokrasi Bolmong yang berada di lingkaran Bupati bahkan terang-terangan menipu dan menjerumuskan atasannya.

Pembobolan dana Rp 12 miliar di APBD yang kini tengah ditelisik Polres Bolmong adalah contoh paling aktual bagaimana Bupati dengan sengaja ditelikung jajarannya. Siapa-siapa bangsat yang mempermainkan duit negara itu, biarlah proses hukum yang membuktikan. Hanya saja, omong kosong belaka (sebab itu saya menyakini andai yang bersangkutan lepas, pasti ada duit dan jual-beli hukum yang terjadi) jika Kepala DPPKAD (ketika itu) Amri Arif tidak terlibat atau minimal tahu A-B-C-D dugaan penyelewengan ini.

Informasi sepak-terjang, tidak kompeten, sekaligus kelihaian Amri Arif mendapatkan dan mempertahankan jabatan basah yang disandangnya tidaklah asing buat saya. Itu sebabnya, saya justru heran mengapa Bupati baru mencopot dia setelah hampir tiga tahun petualangannya dengan wewenang terhadap APBD dan uang negara lainnya yang dikucur ke Bolmong. Lebih takjub lagi karena yang bersangkutan secara implisit berani melakukan perlawanan sebagaimana yang dipublikasi pekan lalu di totabuan.co, Dicopot dari Jabatan, Amri Arif Minta Kembalikan ke BPKP (http://totabuan.co/2014/04/dicopot-dari-jabatan-amri-arif-minta-kembalikan-ke-bpkp/).

Enak betul permintaannya agar segera dikembalikan ke institusi asal, BPKP. Amri Arif sepantasnya ‘’diparkir’’ terlebih dahulu sebagai Staf Ahli Bupati sembari menunggu proses pengungkapan dugaan penyelewengan dana Rp 12 miliar yang menyeret namanya. Dia juga mesti turut bertanggungjawab terhadap apapun hasil audit pengelolaan keuangan Pemkab Bolmong, yang tampaknya bukan kejutan bila kembali (tiga kali berturut) mendapat penilaian disclaimer.

Amri Arif hanya salah satu contoh birokrat yang piawai memanupulasi kenaifan, keluguan, ketidak-tahuan, dan ketidak-mengertian Bupati. Sekali pun begitu, dia masih membungkus dengan rapih hingga nyaris tak mengemuka di hadapan publik. Beda dengan Kepala Satpol PP, Linda Lahamesang, yang super over acting dan bahkan melampaui definisi loony. Menyebut nama salah satu selebriti utama di sekitar Bupati Bolmong ini, sebagian pembaca dengan kritis pasti menduga saya sedang mengubar sentimen negatif terhadap yang bersangkutan.

Begini, Pembaca, tulisan ini diawali dengan peristiwa sidak Bupati Salihi ke kantor-kantor SKPD dengan (antaranya) didampingi Kepala Satpol PP. Mengekornya Linda Lahamesang di bokong Bupati, terkait kedinasan atau tidak, bagi saya kian identik dengan pengambaran sastrawan Miguel de Carvantes Saavedra untuk Don Quixote dan Sancho Panza (The Ingenious Gentleman Don Quixote of La Mancha/l ingenioso hidalgo don Quijote de la Mancha, 1605, 1615) yang sungguh melipur lara para pembacanya.

Di foto sidak yang dipajang situs berita totabuan.co, tampak Linda Lahamesang gagah mengenakan pakaian lapangan loreng (patut diduga jenisnya adalah loreng Kopasus), lengkap dengan tanda pangkat dan emblem-emblem kecakapan di dada. Sejak kapan Satpol PP berhak mengenakan loreng (Kopasus)? Apa nanti kalau Bupati sidak ke Dinas Perikanan, Kepala Satpol PP yang mendampingi bersulih pula dengan seragam Laksamana? Mungkin perlu pula disediakan uniform penerbang tempur supaya dia tidak kagok mengantar-jemput Bupati di Bandara Sam Ratulangi. Coba cermati pula tanda pangkat serta emblem-emblem di dadanya, sudah tepatkah atau sekadar karang-karangan yang bahkan tergolong penipuan dan pelanggaran hukum?

Lampiran Peraturan Mendagri Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan Operasional Satuan Polisi Pamong Praja lugas (dilengkapi gambar) menjelaskan hingga detil apa yang wajib dan boleh dikenakan Satpol PP, termasuk Kepala Satuannya. Pakaian yang dikenakan Linda Lahamesang saat mendampingi Bupati melakukan sidak, 100 persen keliru dari kepala hingga ujung kaki; melanggar disiplin; menerabas Peraturan Mendagri; dan bahkan tergolong tindak pidana. Yang dia kenakan bukan seragam Satpol PP, melainkan kostum badut sirkus bagian aksi perang-perangan.

Badut Linda boleh menipu, memanipulasi, atau menduduki kepala Bupati, Wabup, Sekda, Bagian Hukum, bahkan inspektorat, tetapi publik di Mongondow tidaklah bodoh. Dia adalah Sancho Panza yang berlagak jadi kesatria, yang tanda pangkatnya pun patut digugat. Peraturan Mendagri bilang: Satu teratai untuk III/d, dua teratai untuk IV/a, dan tiga teratai untuk IV/b. Apa golongan kepegawaiannya saat ini?

Pada pengidap kelainan jiwa itulah Bupati Bolmong mengamanatkan wewenang turut menegakkan disipin PNS, aturan, serta ketatalaksanaan pemerintahan dan kemasyarakatan di Bolmong. Tidak heran bila birokrasi dan birokrat di daerah ini bertemperasan bagai kambing lepas kandang. Musababnya, Bupati –sadar atau tidak-- meluputkan gajah pelanggaran di pelupuknya sendirinya. Lalu disiplin apa yang dia harapkan dari jajaran lain di bawahnya?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; BNK: Badan Narkotika Kabupaten; BPKP: Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan; BPMD: Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPPKAD: Dinas Pengelolaan Pendapatan, Keuangan, dan Asset Daerah; Mendagri: Menteri Dalam Negeri; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; PNS: Pegawai Negeri Sipil; PP: Pamong Praja; Satpol: Satuan Polisi; Sidak: Inspeksi Mendadak; Sekda: Sekretaris Daerah; SKPD: Satuan Kerja Perangkat Daerah; dan Wabup: Wakil Bupati.