Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, April 22, 2014

Kebodohan Belum Berujung di Dumoga

PERTIKAIAN antar warga Desa Ikhwan dan Doloduo, Dumoga, Kabupaten Bolmong, meletus Sabtu malam (19 April 2014). Dari yang saya baca di sejumlah situs berita, rusuh ini dipicu ulah mabuk-mabukkan sejumlah anak muda kurang kerjaan, lalu merembet jadi tawur massal. Di saat yang sama satuan Brimob yang usai melakukan pengamanan pleno KPU Bolsel melintas di TKP.

Entah harus disebut apa kondisi itu: api bertemu bensin, atau bensin bersua kobaran. Yang jelas peluru berhamburan dan korban pun jatuh.

Ada dua fakta yang lalu jadi konsumsi umum: Pertama, versi kelompok yang mengaku korban, yang beredar di media-media sosial –termasuk BC Sehan Ambaru yang mengklaim sebagai juru bicara keluarga korban-- bahwa polisi bertindak semena-mena. Melentuskan bedil tanpa pandang bulu. Enam orang mesti digotong ke RS. Maka patut dituduh ada pelanggaran HAM berat. Dan kedua, sebagaimana keterangan Kapolres Bolmong, AKBP Hisar Siallagan, Minggu (20 April 2014), polisi bertindak tegas demi menggendalikan massa yang kalap. Ajudan Kapolres bahkan terkena peluru senapan angin.

Dengan simpati dan empati terhadap para korban yang jatuh, dua versi yang mengemuka itu sepantasnya diterima dengan pandangan kritis yang sama. Versi pertama, khususnya ‘’kampanye’’ bahwa polisi melakukan pelanggaran HAM berat, menurut hemat saya adalah provokasi pahlawan kesiangan. Bertahun-tahun pertikaian antar komunitas, antar desa, di Dumoga tak kunjung terselesaikan. Dia hanya mereda ketika aparat berwenang turun tangan dengan cara melampaui tegas.

Seingat saya, demi menjaga stabilitas dan keamanan, ada satu masa TNI mesti dikerahkan membantu polisi di wilayah ini. Jangan tanya lagi berapa banyak korban jiwa dan harta benda yang jatuh karena rusuh yang umumnya dipicu urusan-urusan kecil: mabuk-mabukkan berujung perkelahian, penghadangan dan pemerasan, dan sejenis kriminalitas kelas teri lainnya. Tatkala dua kelompok massa berhadap-hadapan dan memakan korban, kemana otak HAM PNS yang tetap gatal mengaku-ngaku aktivis seperti Sehan Ambaru?

Korban yang jatuh, terlebih yang terkena peluru aparat (entah sekadar terserempet hingga yang telak menghujam daging), pantas mendapat keadilan dengan diusut tuntasnya peristiwa ini. Tentu dengan memilah siapa korban yang tersebab memang ikut serta di kerumunan massa yang saling merengsek; dan mana yang dihajar peluru samata karena salah sasaran. Masalahnya, setidaknya yang tergambar di media, para korban tidaklah dilanggar timah panas saat meringkuk di balik selimut; selonjoran menonton televisi; atau sedang khusyuk sholat atau doa malam.

Mereka, sekali pun berjarak (demikian pengakuan yang saya simak di situs berita) cukup jauh dari kelompok yang sedang berhadap-hadapan dengan parang terhunus, seliweran panah wayer, dan tembakan senapan angin, semuanya berada di luar rumah. Risiko dari terlibat atau sekadar menonton bentrok massa adalah turut terseret. Kalau bukan akhirnya menjadi pelaku, ya, jatuh sebagai korban.

Sebaliknya, versi polisi bahwa tembakan diletuskan karena massa yang bertikai tak lagi terkendali, mulanya tak saya telan mentah-mentah. Satuan yang secara kebetulan memergoki rusuh adalah Brimob yang memang dilatih dan terlatih sebagai pasukan pemukul; bukan jenis polisi yang terampil menangani huru-hara dengan pendekatan persuasif. Dugaan saya, begitu menyua massa yang saling lantak, senjata dikokang dan peluru disemburkan. Terlebih mereka sedang dalam kondisi lelah setelah berhari-hari ditugaskan di mengawal pelaksanaan Pemilu.

Kombinasi penat jiwa dan raga, sejarah rusuh yang kunjung padam di Dumoga, serta massa yang jelas-jelas mengobarkan gangguan keamanan dan ketertiban, efektif memantik tindakan tanpa kompromi dari Satuan Brimob. Simpulannya, tak berlebihan bila tak ada cukup tindakan penenangan terhadap massa yang beringas sebelum peluru bicara.

Semasa masih berhobi demonstrasi, dua jenis aparat yang membuat kuduk bergidik adalah Brimob dan TNI (tak peduli dari angkatan dan satuan mana): Mereka biasanya menggebuk dulu baru bertanya. Beda dengan aparat kepolisian yang lebih terlatih dengan pendekatan yang tak semata-mata tegas (misalnya) dari satuan Sabhara, Intel, bahkan Reserse, yang umumnya bertanya dulu baru melayangkan tempeleng atau bogem.

Namun, Senin siang (21 April 2014), saya menganulir konklusi itu tatkala menerima kabar dari seorang kawan jurnalis yang sedang berada di TKP, bahwa bentrok Ikhwan dan Doloduo) berlanjut lagi. Tanpa peluru polisi, korban tak henti berjatuhan. Setidaknya, sebagaimana yang dipublikasi situs totabuan.co (http://totabuan.co/2014/04/dua-kelompok-masa-kembali-saling-serang-empat-orang-kena-senapan-angin-dan-panah-wayer/), empat orang lagi jadi korban kebodohan massal yang belum berujung di Dumoga akibat hujaman panah wayer dan pelor senapan angin.

Kemana akal sehat dan kewarasan warga dua desa ini? Tokoh-tokohnya, para orang tua, termasuk aktivis yang biasanya gempita bersuara? Masak sih khalayak yang lebih luas dari sekadar dua kelompok yang senang bertikai kalah pengaruh dan kekuatan? Atau memang warga di dua desa ini lebih suka menyelesaikan masalah paling sepele sekali pun dengan tebas-tebasan, panah-panahan, tembak-tembakan (dengan senapan angin), dan bakar-bakaran? Kalau begitu adanya, yang pantas dilakukan otoritas dan aparat berwenang adalah mengungsikan sesiapa yang tidak berniat berkonflik dan selebihnya mempersilahkan yang berkehendak bunuh-bunuhan untuk saling menghabisi.

Saya yakin orang banyak di Bolmong Raya sudah muak dan sakit perut dengan kelakuan segelintir orang yang gemar berhuru-hara itu. Kita juga tak habis pikir mengapa tawuran massal antar desa telah menjadi semacan budaya (mirip pesta panen) yang kian dilestarikan di wilayah Dumoga. Sama halnya dengan tanda-tanya seberapa serius aparat berwenang mengusut tuntas peristiwa sejenis, menyeret dalang dan aktor-aktornya ke bui dengan hukuman maksimal agar ada efek jera permanen. Pula, sejauh mana aparat sungguh-sungguh menjamin keamanan dan ketertiban dengan tak segan-segan menembak di tempat setiap perusuh yang tak kapok diperingatkan.

Akan halnya ancaman pelanggaran HAM, memangnya cuma orang-orang tak berotak itu yang punya hak asasi?

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AKBP: Ajun Komisaris Besar Polisi; BC: Broadcast; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Brimob: Brigade Mobil; HAM: Hak Asasi Manusia; Kapolres: Kepala Kepolisian Resort; KPU: Komisi Pemilihan Umum; Pemilu: Pemilihan Umum; PNS: Pegawai Negeri Sipil; RS: Rumah Sakit; TKP: Tempat kejadian Perkara; dan TNI: Tentara Nasional Indonesia.