Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, April 12, 2014

Tragedi Kilah Akalbusyukus

MENGHARUKAN betul upaya kawan saya, Pitres Sombowadile, menegakkan ego dan dada agar tak kehilangan muka di depan tuan dan puan junjungannya, serta publik (khususnya Bolmong Raya) yang dia kira mudah mempercayai bual-bual retorik. Kendati sejak awal menyakini dia akan berkelit mati-matian (sebagaimana yang saya tulis Selasa, 8 April 2014, Motif Politis Ular di Balik Tangga), saya tetap terkejut membaca Katamsi yang Dangkal, yang tiba di email dan BBM saya, Kamis malam, 10 April 2014.

Bukannya fokus pada substansi isu, dia malah dengan sengit menyerang, menyepak, dan mencakar-cakar, seolah ada sesuatu yang sangat sensitif yang saya langgar. Padahal, saya cuma mengemukakan dua hal pokok: kejujuran dan pemahaman terhadap etika yang memang menjadi penyakit laten Pitres. Dengan tulisan serangan yang merambat dan mengait kemana-mana, dia mempertontonkan satu lagi problem yang sesungguhnya sejak dulu saya mahfumi: kelicikan persis penggambaran karakter Akalbusyukus oleh Uderzo dan Goscinny di salah satu seri Kisah Petualangan Asterix, Sang Penghasut (Sinar Harapan, 2004).

Baiklah, kita lanjutkan saja saling sahut ini sebagai latihan otot jantung dan perasaan. Bahwa saya agak terlambat merespons, karena tiga hari terakhir menghabiskan waktu menempuh perjalanan panjang yang lumayan menguras energi. Saya kan punya pekerjaan yang harus diurusi, bukan sekadar petantang-petenteng dukung-mendukung politisi yang memang menjadi profesi utama yang telah dilakoni Pitres setidaknya lebih 10 tahun terakhir.

Pertama, Kronik Mongondow adalah blog pribadi dengan aturan yang saya buat sesuka hati. Yang merasa terganggu dengan isinya, silahkan menempuh jalur hukum menggunakan UU ITE; menulis sanggahan, koreksi, keberatan, dan sejenisnya dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dan saya akan mengunggah setara dengan tulisan-tulisan lain; atau, yang lebih elegan, bikinlah  blog sendiri dan isi semau-maunya sebagaimana saya beria-ria dengan Kronik Mongondow.

Dibuka selebar-lebarnya keterlibatan siapa pun menulis di blog ini, sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan, dapat dibuktikan bukan omong kosong. Cukup banyak tulisan yang dikirim ke kronik.mongondow@gmail.com telah dipublikasi, termasuk yang mengkritik saya tanpa tedeng aling-aling.

Kedua, Pitres yang saya kenal memang penulis dengan ide yang tak genah, berputar-putar, tetapi dengan kesenangan terhadap klaim kepahlawan serta keyakinan menjulang dia adalah salah satu yang terbaik di Sulut. Faktanya, saya tidak pernah ingat satu artikel, tulisan, atau apalah, dari dia yang pernah di muat, sekurangnya di media sekelas Koran Tempo, Kompas, atau Media Indonesia.

Maaf, Pit, tapi tulisan Anda memang tidak berkualitas. Miskin ide dan compang-camping dalam bahasa. Contohnya adalah kata ‘’tragika’’ yang dengan baik hati saya koreksi, namun tetap mati-matian Anda kelit. Saya segarkan lagi, ‘’tragika’’ (Esperanto) disamakan dengan ‘’tragic’’ (Inggris). ‘’Tragic’’ sendiri dalam bahasa Indonesia bukan diartikan ‘’tragedi’’, melainkan ‘’tragis’’.

Kamus mana yang saya gunakan? Pertanyaan ini sama dengan pengakuan Pitres bahwa dia sekadar meraba-raba bahasa Esperanto dan sama sekali tidak mengetahui arti sesungguhnya ‘’tragika’’ serta penggunaannya, terutama dalam konteks Indonesia. Maka pantaslah Kantor Balai Bahasa di Manado tidak lagi menggunakan Pitres sebagai nara sumber.

Ketiga, saya pernah menganalisis kiprah politik Drs. Syachrial Damopolii, MBA berkenaan dengan respons terhadap tulisan Pitres? Pit, bolehkah ingatan saya yang dangkal ini disegarkan, di mana dan kapan analisis itu pernah saya tulis atau sampaikan? Tampaknya ada yang mengigau dan kebingungan di antara kita berdua. Yang jelas, bukan saya orangnya.

Dalam soal memahami hegemoni, penguasa, dan kekuasaan (terutama politik) di Mongondow, Pitres yang terlanjur meninggikan derajatnya, buta terhadap sindiran. Saya, yang lahir dan besar di Mongondow dan tidak berada di pinggiran pergaulan sosial, kenal dan tahu persis sepak-terjang pemain-pemain politik utama daerah ini sejak mereka merangkak dari nol hingga ke puncak tangga pengaruh dan kekuasaannya.

Saya bergaul dengan mereka sebagai orang yang datang dengan harga diri dan indepensi. Bukan demi motif pekerjaan, kepentingan perut, sebagaimana yang Anda lakukan selama ini. Kepentingan Anda menemui politisi, pejabat publik, atau tokoh di Mongondow tidak lepas dari menjajakan jasa (atau tepatnya omong kosong) konsultasi politik dan sejenisnya.

Di situlah letak perbedaan mendasar kita, Pit. Tanyakan pada seluruh politisi, pejabat publik, atau tokoh-tokoh masyarakat di seluruh Mongondow, mereka akan memastikan saya hanya hadir dan bertemu bila diundang. Dan kalau itu dilakukan di tempat-tempat umum, cuma sangat sedikit orang (yang jelas adalah Bupati Boltim, Sehan Lanjar, dan Yasti Soepredjo Mokoagow) yang saya izinkan merogoh dompet membayari apa yang saya makan dan minum.

Keempat, tentang keterkaitan Anda dengan Mongondow, Pit, mari kita jujur saja. Anda masuk ke daerah ini, bersikap seolah-olah yang terhebat, dimulai karena Tabloid KABAR (media yang idenya 100 persen lahir dari kepala saya) tengah sekarat setelah kepergian para perintisnya, memerlukan dukungan agar tetap terbit. Anda merapat dan menjadikan KABAR pendukung Bupati (ketika itu) Marlina Moha-Siahaan. Buktinya, jejerkan saja nomor-nomor terakhir sebelum KABAR tewas dan baca kembali apa isinya; atau mari kita undang mantan-mantan wartawannya dan sama-sama mendengarkan kesaksian mereka.

Mongondow, bagi saya, adalah tempat di mana semua orang boleh datang dan diberi tempat terhormat. Anda pun dipersilahkan. Tentu dengan ketahu-dirian, bahwa keterkaitan yang Anda sebut (orangtua berasal dan hidup sekian lama di Sangtombolang, Bolmut, dan Jiko Molobog, Boltim, di 1950-an sebelum pindah ke Manado), tidak serta merta menjustifikasi Anda adalah orang Mongondow. Tunjukkan bukti faktual bahwa Anda yang pernah menjadi Caleg PDIP di Sangihe-Talaud memang memproklamirkan diri sebagai orang Mongondow. Yang sederhana, KTP misalnya.

Klaim sebagai bagian dari Mongondow, lengkap dengan alasan menulis buku ini-itu, adalah upaya mencari ‘’tanah air’’ yang saya sambut dengan kesenangan luar biasa. Tetapi, Pit, Anda mengaku menjadi Mongondow sekarang ini karena hanya di wilayah inilah masih diterima dan mendapatkan gantungan hidup. Tidak lebih dan kurang. Itu pun oleh orang-orang yang jumlahnya kian sedikit dan sempit.

Kelima, saya (sekali lagi) tidak peduli Pitres mau menulis apa dan dibaca oleh siapa; sepanjang dia secara jujur dan terbuka membeberkan indentitas diri, posisi, dan sumber-sumber yang dirujuk. Masalahnya, ketika menulis PAN dan Tragika Yasti dengan mengutip sumber survei yang entah kapan dan oleh siapa, dia adalah anggota tim pendukung Didi Moha, rival politik Yasti di Pemilu 2014. Dua politisi asal dan berlatar Mongondow ini, masing-masing dari PG dan PAN, sama-sama incumbent yang menyasar konstituen Bolmong Raya sebagai basis utamanya.

Dengan takaran apapun, publikasi itu adalah cara tidak etis dan tidak jujur menyerang pesaing politik. Permainan kotor dan tikaman yang seolah-olah demi mendorong kesadaran politik publik pemilih. Seolah-olah sedang menggugah konstituen agar memilih orang yang ‘’bersih’’ dari partai yang pasti lolos parliamentary threshold. Jadi, Anda memang cacat etika, tidak jujur, dan manipulator yang percaya diri ulung dan tak bakal ditelisik atau dikoreksi.

Dan keenam, sangat benar saya pernah dipersoalkan oleh sejumlah aktivis yang kerap berkumpul di LBH Manado, tetapi bukan saat lembaga ini berkantor di Rike, melainkan di Pakowa (ingatan Anda benar-benar celaka payahnya, Pit). Urusannya bukan pula tentang perut atau penghianatan, melainkan keberatan karena saya tak sudi dibatasi berhubungan dengan siapa pun, terutama sejumlah orang yang dianggap sebagai ‘’musuh’’ oleh kelompok pemrotes itu.

Berbeda dengan Anda, saya tak terbiasa menelikung kawan. Toh pada akhirnya, bertahun kemudian mereka yang pernah menjadi pemrotes itu tetap menjadi kawan, bahkan menjalin hubungan dengan orang-orang sejenis yang pernah dijadikan alasan menyerang saya. Hingga saat ini, evolusi kawan-kawan itu (termasuk ideologi yang mereka anut) tidak saya jadikan alat menyerang atau mengolok-olok.

Nah, Pit, sebelum dada Anda kian sesak (lagipula saya risih mengungkap hal-hal yang telah dimaafkan), tolong diingat-ingat bagaimana kami yang pernah seiringan dengan Anda mengikhlaskan ditelikung saat kita sama-sama mengelolah KABAR. Itu saja dulu.

Selebihnya, beber saja data survei mana dan kapan yang dirujuk saat menulis PAN dan Tragika Yasti. Demikian pula, akui saja Anda memang menjadi salah satu tokoh utama tim pendukung pesaing politik Yasti di Pemilu 2014. Akan halnya motif, dengan membuka semua sejujur-jujurnya, saya (dan mungkin segelintir orang yang biasanya sekadar tersenyum kecut) pasti memahami: Apa yang Anda lakukan bukan soal perut, tetapi kerja profesional dengan ideologi dan niat yang tak busuk. Dengan bersembunyi di balik aneka kilah, syak yang paling mungkin Anda memang hanya membela urusan perut agar tetap dipekerjakan.

Akhirnya, tak usahlah menguji integritas, apalagi independensi saya. Isu yang kita bahas bukanlah tentang saya; tetapi tentang integritas Anda. Itu pun kalau Anda memilikinya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolmut: Bolaang Mongondow Utara; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Caleg: Calon Lagislatif; ITE: Informasi dan Transaksi Elektronik; KTP: Kartu Tanda Penduduk; LBH: Lembaga Bantuan Hukum; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pemilu: Pemilihan Umum; dan UU: Undang-undang.