Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, April 8, 2014

Motif Politis Ular di Balik Tangga

TAUTAN FB tiba di BBM saya bersama turunnya malam di langit Jakarta, Selasa (8 April 2014). Oh, rupanya kawan saya, Pitres Sombowadile, terusik dengan Yasti yang saya unggah di blog ini, Rabu (2 April 2014. Tulisan yang memang menyentil artikel PAN dan Tragika Yasti di www.okemanado.com, Selasa (25 Maret 2014), tampaknya membuat Pitres ‘’gatal-gatal’’ lalu menulis pembelaan diri berapi-api, Ular Tangga Yasti untuk Katamsi di FB-nya.

Pit (ini sapaan karib saya pada dia), santai saja. Saya tidak terganggu dengan PAN dan Tragika Yasti. Yang mengganggu saya adalah motif Anda, yang nanti akan diuraikan setelah saya mengklarifikasi beberapa hal mustahak yang mesti dibeber terlebih dahulu.

Pertama, siapakah orang-orang yang ingin menanggapi tulisan di blog saya yang tidak diberi kesempatan? Simpulan bahwa saya berlaku digjaya, selfi, bahkan komunikasi masturbasi, berdasar bisik-bisik, aku-mengakui, atau hasil terawangan dan nujuman Anda? Email yang disediakan sebagai ‘’Kotak Pos’’ untuk para penanggap selalu dicek dan pesan yang masuk terakhir tercatat pada Jumat, 28 Maret 2014, dari Yodi A Marendes, SE. Artikel yang dikirim Yodi tidak ada hubungan dengan aneka tulisan yang diunggah di Kronik Mongondow, baik sebagai tanggapan, komentar, apalagi kritik.

Sebelum menulis artikel ini pun saya masih mengecek kronik.mongondow@gmail.com, apakah Pitres Sombowadile yang mengagungkan dialog, komunikasi, dan jawab-menjawab, mengirim sesuatu karena merasa terusik dengan blog saya? Tentu tidak, karena keluhan ‘’penanggap yang tidak diberi kesempatan’’ di Kronik Mongondow, memang sekadar karang-karangan belaka. Dan tuduhan Pitres itu pantas didudukkan sebagai cara berkelit yang tidak terpuji.

Kedua, perkara kata ‘’tragika’’, saya tahu persis itu berasal ‘’bahasa’’ Esperanto yang dikreasi oleh L. L. Zamenhof dan dipopulerkan lewat buku Unua Libro (1887). Masalahnya, apakah ‘’tragika’’ yang dimaksud Pitres sama dengan pengertian tragika menurut Zamenhof? Yang paling gampang googling ‘’tragika’’ dan perhatikan bahwa pengertian bahasa Inggris-nya adalah ‘’tragic’’; yang bila di-cross check berarti: 1) Causing or characterized by extreme distress or sorrow; 2) of or relating to tragedy in a literary work.

Dengan demikian, Pit, harus Anda terjemahkan apa ‘’tragika’’ yang dimaksud di tulisan PAN dan Tragika Yasti? Menulis (sesuatu yang bukan puisi) tak cuma pamer kemampuan mengulak-alik bahasa hingga seolah aneh, luar biasa, dan memukau; juga plastisitas sebagaimana pujian Anda pada Fahri Damopolii yang dianggap lebih hebat menulis dari saya (sayangnya saya belum pernah melihat sepotong pun tulisan dari penulis hebat ala Pitres ini di media mainstream Indonesia); melainkan merunutkan ide dan mengemas menjadi sesuatu yang dipahami jernih dan terang-benderang.

Setelah malang-melintang menulis bertahun-tahun, Anda kok tidak lulus-lulus juga urusan sepele yang mestinya khatam di kalangan para penulis (pemula sekali pun), ya, Pit? Soal menaruh kata yang tepat di tempat yang sesuai. Judul yang salah sudah menunjukkan sejak mula sebuah tulisan memang tidak membawa kandungan ide yang sincere dan linier.

Ketiga, mari diaminkan saya memang tidak mengerti hegemoni para politisi asal atau berlatar Bolmong Raya; pula dangkal memahami rajutan dan kelindang relasi penguasa dan kekuasaan di wilayah Mongondow. Tapi memangnya Pitres punya pemahaman yang lebih baik dan komprehensif?

Wajar bila saya tidak tahu aspek-aspek luar biasa dan wah perihal hegemoni, tetek-bengek penguasa, dan kekuasaan, terlebih yang politik dan politis. Saya bukan tokoh publik, politisi, apalagi konsultan politik. Cuma penulis blog yang kerap bikin jengkel politisi, lebih khusus lagi pendukung fanatik (tak pakai otak) dan konsultan politiknya.

Lain soal kalau Pitres yang tidak paham hegemoni, aneka biludak penguasa serta kusu-kusu kekuasaan, bisa-bisa politisi yang dia konsultani (atau yang didukung) gagal terpilih, semisal kasus kalahnya Cabub-Cawabup Limi Mokodompit-Meydi Pandeiroth di Pilkada Bolmong 2010 lalu. Dan sebagai kawan, saya memang kuatir, kian hari kian banyak politisi yang dalam timnya terdapat Pitres bakal gagal, karena karena konsultan (atau penasehat) politiknya lebih sibuk mengurus lawan dan ‘’tragika’’-nya ketimbang menelaah tragedi yang menghadang kandidat jagoannya.

Dan keempat, dugaan saya-lah yang akan dimajukan oleh PAN dan Yasti merespons tulisannya, cuma cara mengekspresikan kesombongan orang kepepet. Pit, saya memang bertemu Yasti Soperedjo Mokoagow pada Rabu malam (26 Maret 2014) di Kotamobagu. Namun, maaf saja, percakapan kami (juga disaksikan sejumlah orang) hingga menjelang Kamis pagi (27 Maret 2014), sama sekali tidak menyinggung Anda, apalagi tulisan Anda. Banyak hal lebih penting yang layak dibahas ketimbang perkara sepele megalomania Anda.

Terlebih jauh-jauh hari saya sudah mengingatkan Yasti soal parliamentary threshold PAN. Supaya tidak sekadar debat kusir dan kuda bendi, baca saja Menimbang Mama Didi, Didi Moha, dan Yasti Mokoagow (http://www.kronikmongondow.blogspot.com/2013/07/menimbang-mama-didi-didi-moha-dan-yasti.html) yang diunggah Selasa, 30 Juli 2013, di blog ini. Boleh dibilang, Pit, apa yang Anda tulis tujuh bulan kemudian, buat saya sudah basi, terkalkulasi, dan sama sekali tak menarik lagi.

Maka tibalah kita pada motif Pitres menulis PAN dan Tragika Yasti dan yang terkini, apalogi Ular Tangga Yasti untuk Katamsi. Saya memulai dengan pertanyaan: Apa kepentingan Pitres hingga secara khusus menelisik elektabilitas PAN di Sulut dan peluang Yasti (sebagai salah satu petahana) terpilih lagi ke DPR RI dari Dapil Sulut di Pemilu 2014 ini? Pitres adalah warga Sulut, tetapi dengan attachment minimal dengan Mongondow; kecuali bahwa dalam 10 tahun terakhir dia melibatkan diri dalam pikuk politik di Bolmong Raya sebagai konsultan, penasihat, atau mendukung politisi tertentu di Pileg, Pilkada, dan Pilwako.

Kalau alasan bahwa dia analis, pengamat, pemerhati, tukang telisik, bahkan penggosip politik, ada isu lain di skala Sulut yang yang lebih besar dan menarik. Misalnya, bagaimana bila PDIP berhasil meraih lebih dari dua kursi lalu tiba-tiba lokomotif utamanya, Olly Dondokambey, dijerat KPK sebagaimana rumor yang bersiliweran belakangan ini? Apa jadinya andai tokoh GMIM, Pendeta Nico Gara, yang dicalonkan Nasdem meraih suara terbanyak tapi partainya gagal mencapai parliamentary threshold?

Lebih ekstrim lagi, apa kata dunia kalau Caleg Nomor Urut 1 PG Dapil Sulut untuk DPR RI yang juga incumbent, Didi Moha, ternyata gagal terpilih karena kalah suara dengan pesaing dari partainya sendiri? Contoh terakhir tentu lebih maha penting bagi Pitres Sombowadile yang kini –sebagaimana Pemilu 2009— adalah bagian (kalau bukan tokoh sentral) tim pendukung Didi.

Saya mohon maaf sebesar-besarnya pada Didi Moha karena terpaksa menyebutkan keterkaitannya dengan Pitres. Tetapi, penyebutan ini sekaligus pengingat, posisi seorang politisi dengan konsultan, penasehat, atau pendukung utamanya tak beda dengan wayang dan dalang. Ketika dalang melompat masuk panggung meninggalkan wayangnya; pertunjukan cerai-berai dan tahulah kita etika macam apa yang dianut dalang tak tahu diri itu.

Alih-alih menasehati, melatih, mengkreasi strategi dan taktik agar politisi yang didukungnya sukses, Pitres justru naik pentas menyerang Yasti Mokoagow yang memang (sebagaimana Didi Moha) menggarap Bolmong Raya sebagai basis dukungan utamanya. Itu sebabnya, saya menilai PAN dan Tragika Yasti adalah belittling. Bentuk kampanye negatif (yang susah payah dibungkus agar halus dan elegan) dengan tujuan menggerus kepercayaan konsituen terhadap Yasti.

Dapatkah Pitres mendebat motif tak elok itu? Saya percaya dia masih punya banyak kelitan yang siap dijadikan alasan. Meminjam pengandaian yang dia rujuk, siapa yang tahu ular seperti apa yang ada di balik tangga?

Karenanya, demi berjaga-jaga, saya menyiapkan hadiah buku-buku etika dan sebotol St. Emilion Bordoux. Barangkali dengan dikawani wine lezat lebih mudah buat Pitres menyesap dan meresap etika seperti apa yang mesti ketat dianut seorang ‘’dalang politik’’. Bukankah begitu baiknya, Pit?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; Cabup: Calon Bupati; Caleg: Calon Legislatif; Cawabup: Calon Wakil Bupati; Dapil: Daerah Pemilihan; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; FB: Facebook; GMIM: Gereja Masehi Injili Minahasa; KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi; Nasdem: Nasional Demokrat; PAN: Partai Amanat Nasional; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pemilu: Pemilihan Umum; PG: Partai Golkar; Pilbub: Pemilihan Bupati (dan Wakil Bupati); Pileg: Pemilihan Legislatif; Pilwako; Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); RI: Republik Indonesia; dan Sulut: Sulawesi Utara.