Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, May 2, 2014

Drama Pak Guru, Siswi, dan Oknum-oknum Polisi

DUGAAN penggelapan telepon selular oleh pengajar KKPI di SMK Negeri 1 Kotamobagu, Kuswindra Kadayow, yang dituduhkan siswinya, Febri Pandeirot, berakhir anti klimaks, Kamis, 1 Mei 2014. Tidak demikian dengan aduan Pak Guru Kuswindra ke Propam Polres Bolmong karena tak terima ditonjok dan ditoyor oknum polisi Minggu, 27 April 2014, lalu.

Dua isu yang saling berkelindang dan mendadak jadi perhatian warga Bolmong Raya umumnya dan khususnya kalangan sekolah dan pendidik ini, terkait satu dengan yang lain. Sekadar meringkas kembali, kejadiannya dipicu penyitaan telepon selular milik Febri (yang hanya asik dengan gadget-nya saat belajar-mengajar berlangsung) oleh Pak Guru Kuswindra. Keberatan dengan tindakan itu, keluarga Febri (Tante yang juga guru serta yang mengaku Paman dan anggota Reskrim Polres Bolmong) ikut campur.

Yang mengaku Paman Febri kemudian ‘’memerintah’’ Kuswindra hadir di ruang Reskrim Polres Bolmong. Bukannya penyelesaian masalah atau proses hukum yang terjadi, tapi silang-selisihnya kian runcing sebab beberapa oknum polisi memperlakukan Pak Guru tidak dengan semestinya. Urusan yang mulanya hanya soal penegakan disiplin saat proses belajar-mengajar di sekolah, berubah jadi isu kekerasan terhadap guru oleh segelintir oknum polisi.

Orang-orang pun bergerak. Pesan berantai dipertukarkan dan Kamis, 1 Mei 2014, saat sedianya Kuswindra mesti memenuhi panggilan diperiksa sebagai tersangka penggelapan telepon selular (Polres Bolmong mungkin tidak punya almanak hingga memanggil tersangka di tanggal merah), ratusan pelajar dan guru SMK Negeri 1 Kotamobagu siap berunjuk rasa. Mereka akhirnya tetap menggelar aksi, sementara di Aula Polres dilakukan pertemuan yang dimediasi Kapolres, AKBP Hisar Siallagan, antara Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Kotamobagu, Ketua PGRI KK, Kuswindra, Febri dan keluarganya.

Hasil pertemuan itu, seperti dilaporkan totabuan.co (http://totabuan.co/2014/05/kapolres-semua-sepakat-berdamai/), pihak-pihak yang berseberangan sepakat berdamai. Di luar itu, informasi yang saya terima menyebutkan, Propam Polres Bolmong tetap memproses pemukulan yang dilakukan oknum-oknum polisi terhadap Kuswindra.

Penyelesaian yang diinisiasi Kapolres patut diapresiasi. AKBP Hisar Siallagan sudah menunjukkan komitmen tinggi terhadap penyelesaian masalah dengan cara yang proporsional dan pada tempatnya. Mengembalikan urusan penyitaan telepon selular Febri pada pihak sekolah, menunjukkan Kapolres menghormati tata tertib dan aturan internal di SMK negeri 1 Kotamobagu.

Langkah apa yang akan diambil pihak sekolah, biar menjadi urusan dapur institusi pendidikan ini. Namun, karena isunya sudah menjadi konsumsi umum, langkah yang diambil SMK Negeri 1 Kotamobagu selayaknya juga ditransparansi. Perdamaian di Aula Polres Bolmong harus tidak meniadakan proses internal di sekolah, yaitu mengusut tuntas dan memberikan sanksi terhadap murid yang melanggar tata tertib; demikian pula terhadap guru yang mungkin bertindak melampaui kewajibannya sebagai pengajar.

Kapolres sudah menunjukkan niat baik dengan tetap memproses oknum-oknum polisi yang melanggar etika profesionalnya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Menurut saya, itikad Kapolres menegakkan reputasi dan integritas korpsnya ini semestinya menjadi satu lagi catatan positif yang layak dipublikasi kalangan media agar diketahui khalayak yang lebih luas.

Walau demikian, setidaknya ada dua hal yang masih menganjal. Pertama, Propam Polres Bolmong hanya memproses oknum-oknum polisi yang melayangkan bogem dan menoyor kepala Kuswindra. Bagaimana dengan oknum yang mengaku Paman Febri dan anggota Reskrim yang ‘’memerintahkan’’ Kuswindra menghadap?

Penganiayaan terhadap Kuswindra adalah kekerasan telanjang (hard violence) yang melanggar hukum dan etika anggota Kepolisian RI; tetapi ‘’perintah’’ menghadap semata karena posisi sebagai Paman yang anggota Reskrim, adalah tindakan kekerasan halus (soft violence) yang justru lebih berbahaya. Propam mestinya turut memproses oknum polisi yang mengaku Paman Febri itu, karena dia dengan sengaja menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya.

Lagipula, bila si oknum pengaku Paman ini tak ’’memerintahkan’’ Kuswindra menghadap ke ruang Reskrim Polres Bolmong, kita dapat menyakini peristiwa pemukulan juga tak bakal terjadi. Karenanya, sikap adil Kapolresta patut digugat jika dia hanya memerintahkan Propam memproses mereka yang diduga melakukan kekerasan fisik; sebaliknya mengabaikan tindakan terhadap oknum yang kasat mata menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya.

Dan kedua, bagaimana sebenarnya disiplin di kalangan murid dan para pengajar SMK Negeri 1 Kotamobagu ditegakkan? Dari lalu lintas informasi yang saya terima terkait peristiwa yang melibatkan Pak Guru Kuswindra dan Febri, larangan membawa telepon selular (apalagi memainkan di tengah proses belajar-mengajar) sekadar tata tertib macan ompong.

Gunjang-ganjing mirip drama yang melibatkan Pak Guru, murid, dan oknum-oknum polisi ini harus menjadi titik balik penting bagi SMK Negeri 1 Kotamobagu. Sekolah ini, terutama Kepala Sekolah dan jajarannya, perlu merumuskan kembali –khususnya—larangan membawa telepon selular ke sekolah (yang seharusnya berlaku sama untuk guru dan murid) dengan mengidahkan lebih dari sekadar trend modern. Bagaimana pun juga komunikasi digital sudah menjadi keniscayaan.

Yang paling rasional adalah: Siswa dan guru boleh membawa telepon selular ke sekolah. Tetapi, sebagaimana di banyak sekolah yang menegakkan disiplin dengan tegas dan tanpa pandang bulu, telepon selular harus di-off selama proses belajar mengajar berlangsung. Alat komunikasi ini hanya boleh di-on sebelum waktu belajar mengajar dimulai, saat rehat, dan setelah jam sekolah usai. Bagi mereka yang melanggar aturan ini, telepon selularnya hanya boleh diambil di sekolah oleh wali atau orangtua, itupun setelah mereka menandatangani pernyataan sang murid tak akan mengulang perbuatan yang sama.

Bila tata tertib dan disiplin tak ditegakkan dengan sungguh-sungguh, kasus Pak Guru Kuswindra dan Febri Pandeirot pasti hanya menunggu waktu sebelum berulang kembali, lengkap dengan bumbu, duga-duga, dan spekulasi. Sudah menjadi rumor dan bisik-bisik, bahwa peristiwa guru versus murid SMK Negeri 1 Kotamobagu itu lebih dari sekadar urusan disiplin. Agar tak menjadi fitnah, terutama yang merugikan integritas Pak Guru Kuswindra dan nama baik sekolah, perdamaian di Aula Polres Bolmong harus ditindaklanjuti dengan penuntasan akar masalahnya.

SMK Negeri 1 Kotamobagu wajib memeriksa Pak Guru Kuswindra dan Febri dengan didampingi keluarganya; mengungkap tuntas kejadian penyitaan telepon selular itu dan motif dibaliknya; lalu menjatuhkan sanksi sesuai tata tertib sekolah dan kepatutan yang melekat pada setiap institusi pendidikan. Kami, masyarakat umum yang lima hari terakhir dilaruti  haru-biru ‘’sinetron’’ isu penyitaan telepon selular itu, tak sabar menunggu akhir kisah yang sesungguhnya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AKBP: Ajun Komisaris Besar Polisi; Bolmong: Bolaang Mongondow; Kapolres: Kepala Kepolisian Resor; KKPI: Keterampilan Komputer Pengelola Informasi; Polres: Kepolisian Resor; Propam: Profesi dan Pengamanan; Reskrim: Reserse Kriminal; dan SMK: Sekolah Menengah Kejuruan.