Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, October 19, 2013

Anatomi ‘’Cash In Radar Bolmong’’: Manajemen Setan Oleh Iblis



KOSAKATA cash in yang bertebaran di tulisan-tulisan yang diunggah sejak Kronik Mongondow mulai menyoroti praktek jurnalisme Harian Radar Bolmong (dan Grup MP umumnya), Rabu 2 Oktober 2013, mengundang banyak keingin-tahuan. Bila disintesa, pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan berkisar pada bagaimana dan dipraktekkan seperti apa konsep yang bak neraka bagi para pewarta profesional ini.

Seorang kawan, jurnalis media terkemuka di Jakarta yang kebetulan berada di Manado pekan lalu dan tidak sengaja membaca blog ini, secara khusus mengontak saya karena penasaran dengan konsep dan praktek cash in. Dia tak percaya Radar Bolmong, yang menjadi bagian dari grup penerbitan besar, secara terbuka mengangkangi seluruh fundamen dan etika jurnalistik. Lebih tidak percaya lagi tatkala diberitahu bahwa Harian MP yang menjadi induk Grup MP telah lama mempraktekkan kewajiban cash in.

Saya menjelaskan, salah satu yang paling telanjang diamati dari implementasi konsep cash in oleh redaksi Grup MP adalah dengan menelisik halaman demi halaman Harian MP. Setelah membolak-balik beberapa edisi Harian MP, kawan itu menyimpulkan, halaman-halaman yang di bagi per daerah (kabupaten dan kota) memang umumnya berisi ‘’berita dan tulisan tentang yang baik-baik saja’’, apalagi ketika mengutip pejabat publik di level elit. Kalau pun ada yang mengindikasikan pengungkapan masalah atau telisikan kritis wartawannya, lebih ditujukan pada kalangan birokrasi di level bawah.

Jurnalis berpengalaman, terlebih setingkat redaktur senior yang merangkak dari reporter di media dengan standar tinggi, mampu mengendus sebuah berita ‘’berbau duit’’ atau ‘’kompromi keterlaluan dari pewartanya’’. Setelah puas mencermati Harian MP, kawan itu berkomentar pendek, ‘’Kelihatannya para wartawannya dengan sengaja dibongsai.’’

Akhirnya saya menemukan jalan masuk menjelaskan berita dan tulisan di halaman-halaman daerah itu memang sengaja dibuat menguntungkan elit yang sedang berkuasa, karena dari merekalah wartawan-wartawan Grup MP mengalirkan cash in, termasuk lewat kontrak pemberitaan. Terbelalaklah mata kawan yang sudah lebih 20 tahu bekerja sebagai wartawan itu. Terlebih ketika saya menunjukkan bahwa ada daerah yang sama sekali diisolasi oleh Harian MP karena Pemkab-nya menolak mengikat kerjasama pemberitaan.

Daerah yang saya maksud adalah Boltim, yang hanya terpaksa diberitakan bila isunya benar-benar menjadi sorotan utama masyarakat. Kawan wartawan itu kembali membuka-membuka Harian MP dan akhirnya mengakui bahwa dari semua edisi yang dia ulak-ulik, empat kabupaten/kota di wilayah BMR punya halaman sendiri, kecuali Boltim. ‘’Diasingkan oleh Koran No 1 di Sulut justru menguntungkan. Sebab dengan begitu Bupati dan jajarannya bisa berbuat sesukanya, sepanjang tidak fatal, pasti tak bakal masuk koran,’’ katanya sembari terbahak-bahak.

Bahkan, dengan raut jahil, kawan wartawan itu menyarankan agar saya mengontak para Bupati/Walikota dan jajarannya serta Gubernur Sulut dan jajarannya supaya menghentikan kontrak kerjasama dengan Harian MP dan media yang ada di bawah payungnya. Dengan begitu, tambahnya dengan tawa yang kian ramai, ‘’Grup media ini jadi tidak punya berita, tidak dapat cash in, dan Bupati, Walikota, serta Gubernur dan jajarannya tak terganggu dengan berita dan tulisan apa pun.’’

Selesai dengan gambaran makro, dia kembali ke topik utama, hal-ihwal penjabaran dan detil cash in, yang juga dipertanyakan sejumlah orang yang menghubungi saya. Baiklah, di tulisan-tulisan sebelumnya isu ini sudah berulang kali saya singgung, tapi memang tidak dalam anatomi yang gamblang dan terstruktur.

Memahami cash in sesungguhnya tidaklah rumit. Konsep yang dipratekkan redaksi Radar Bolmong ini (yang di-copy paste dari induknya) adalah memadukan tugas usaha dan redaksi ke pundak pada wartawannya. Di tingkat praktek, pewarta yang memikul kewajiban ini harus menjadikan berita, tulisan, atau liputannya jadi sumber pemasukan uang tunai. Itu sebabnya kemudian dikenal ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, dan advertorial. Padahal tiga produk wartawan Radar Bolmong ini sebenarnya cuma beda penamaan. Substansinya satu: Apa yang ditulis harus menghasilkan uang dan karena itu mesti yang baik-baik saja agar sumber berita mau merogoh kantongnya.

Sumber utama dari cash in dalam bentuk ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, dan advertorial itu adalah Pemkab/Pemkot serta DPR, Parpol, politisi, kalangan dunia usaha, tokoh publik, atau siapa pun yang kepingin ‘’nampang’’ di media. Gawat? Ya, terlebih karena kewajiban itu ditetapkan dengan jumlah tertentu sesuai pos liputan sang pewarta. Semakin ‘’basah’’ pos yang ditempati, kian besar neraka cash in yang ditanggung. Sebagai misal, biro rata-rata sekitar Rp 30 juta per bulan, liputan kriminal Rp 5 juta bulan, dan liputan politik Rp 15 juta per bulan. Tidak perduli wartawan yang dituntut memasukkan uang segar itu adalah Carep atau wartawan senior yang telah mengabdi bertahun-tahun di Radar Bolmong dan di Grup MP.

Lalu di mana ‘’Gulag’’ konsep dan praktek cash in ini. Mari kita telisik lebih cermat dengan mengambil contoh beban seorang Kepala Biro yang menanggung setoran tunai Rp 30 juta per bulan. Bila di total, per tahun dia wajib memasukkan Rp 360 juta ke kas Radar Bolmong. Namun, nyatanya tidak sesederhana itu, terlebih karena beban ini harus diterima tak lebih dari tanggal 30 per bulan. Kalau tagihan molor sebab masalah administrasi misalnya, wartawan yang bersangkutan harus terlebih dahulu menalangi. Tidak peduli dari kantong sendiri, pinjaman ke rentenir dengan bunga mencekik leher, atau terpaksa menyewa tuyul dan babi ngepet. Tak ada setoran, bersiap-siaplah dicaci hingga ancaman ‘’dibinasakan’’ dari Radar Bolmong oleh Pemred Budi Siswanto.

Puncak kegawatan konsep dan praktek ala tiran komunis era Stalin di Uni Sovyet ini dapat dipetakan dari gambaran seperti ini: Misalnya pada Januari sang Kepala Biro hanya menyetor Rp 25 juta dari kewajiban Rp 30 juta, maka di Februari bebannya naik menjadi Rp 35 juta. Andai yang disetor hanya Rp 25 juta lagi, pada Maret 2013 kewajibannya naik menjadi Rp 40 juta karena selama dua bulan berturut dianggap berhutan masing-masing Rp 5 juta, hingga total Rp 10 juta.

Bagaimana bila di Maret cash in yang berhasil disetorkan sebesar Rp 45 juta, yang berarti lebih besar Rp 10 juta dari kewajiban ditambah dana terhutang di Januari? Apakah kelebihan Rp 10 juta menjadi pengurang beban di Maret, hingga total cash in yang disetor hanya Rp 20 juta? Tidak juga! Kewajiban pada Maret tetap Rp 30 juta dan kelebihan Rp 10 juta di Februari cukup dihargai dengan kalimat, ‘’Tingkatkan terus prestasi Anda.’’

Yang lebih ekstrim lagi, sekali pun di April atau Agustus Kepala Biro yang per tahun harus menyetor cash in total Rp 360 juta berhasil mengumpulkan masing-masing Rp 100 juta dan Rp 250 juta, tidak membuat dia dianggap telah memenuhi target. Pendek kata, tidak peduli berapa besar cash in yang disetor per bulan, kalau jumlahnya kurang dari Rp 30 juta, kekurangannya diperlakukan sebagai hutang. Sebaliknya, bila lebih dari Rp 30 juta, seberapa besar pun kelebihannya tetap tidak mengurangi beban bulan berikutnya dan total target tahunan.

Jelaslah hanya iblis yang menerapkan manajemen setan seperti itu. Saya sudah mencoba beragam pekerjaan dan profesi, tetapi baru di Radar Bolmong dan Grup MP-lah menyua praktek media yang menginjak-injak profesi kewartaan sekaligus akal sehat kemanusiaan.

Ada pembelaan yang disampaikan ke saya, bahwa kebanyakan jurnalis Radar Bolmong sebenarnya tidak menolak kewajiban cash in karena mereka menikmati selisih dari jumlah yang ditagihkan ke sumber ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, dan advertorial dalam bentuk fee. Selisih jumlah yang ditagihkan ke nara sumber (atau pemasang iklan) juga tergolong ‘’setengah penipuan’’ sebab tanpa standar yang jelas. Sepenuhnya tergantung pada kepiawaian pemburu ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, dan advertorial meyakinkan pengguna jasanya, bahwa memang demikian tarif yang ditetapkan Radar Bolmong.

Adanya selisih yang masuk kantong wartawan itu diakui sumber saya, namun dengan keluhan, ‘’Kebanyakan ‘bbi’, ‘bbk’, dan advertorial didapat dari Pemkab/Pemkot, birokrat, atau politikus, yang pembayarannya memerlukan waktu lebih lama. Jadi biasanya ditalangi terlebih dahulu dengan pinjaman ke rentenir, yang bunganya dibayar dengan menggunakan selisih jumlah yang ditagih dan yang disetorkan ke kantor.’’ Gali lobang tutup lobang ini, bagi saya cuma delusi menipu kewarasan dan jalan terakhir sebelum terpuruk menanggung tumpukan hutang, yang akhirnya dituntut dengan cara memalukan oleh Pemred lewat iklan dilengkapi potret wartawan yang dituduh sebagai penghutang cash in.

Usai membeber anatomi cash in Radar Bolmong, dengan geli saya menatap wajah melonggo teman wartawan kawakan itu. Bermenit-menit dia termanggu dan akhirnya menepuk jidat sembari menyemburkan, ‘’Gila betullll...!’’ Setelah itu kami menutup mulut dan larut dalam diam yang bagai telah membekap bertahun-tahun lamanya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

bbi: Berita Berbayar Iklan; bbk: Berita Berbayar Koran; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Carep: Calon Reporter; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; MP: Manado Post; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pemkot: pemerintah Kota; Parpol: Partai Politik; dan Sulut: Sulawesi Utara.