Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, October 11, 2013

‘’Torturer’’, Jurnalis ‘’Masochist’’, dan Ayat-ayat Suci


DI BALIK riuh lalu-lintas komentar pro-kontra, serius hingga sekadar olok-olok dan asal malontok, isu Pemred, kebijakan, dan praktek jurnalisme di Radar Bolmong yang saya picu menyerakkan percak-percik yang dibuang sayang. Tak ada salahnya potongan-potongan puzzle itu dikumpulkan, siapa tahu bakal menjadi catatan pinggir memperkaya pemahaman perilaku kontemporer publik, khususnya penikmat dan pengkhimat isu-isu yang ditulis blog ini.

Saya memulai dengan celutukan Pitres Sombowadile, tetapi sebelumnya sedikit menjelaskan latar hubungan pertemanan puluhan tahun dengan dia. Pitres adalah kawan dari zaman bergolak, ketika saya linglung memilih menekuni sekolah; jadi seniman; jurnalis; preman bertato bak cetakan batik tulis di sekujur tubuh; atau petani yang bebas merdeka. Dia adalah kawan menelusuri jalanan Manado, berbual-bual menyia-nyiakan waktu di UKM Unsrat, atau berdebat dalam diskusi-diskusi panas Kelompok Titian (yang anggotanya, seperti Suhendro Boromo, Lily Djenaan, Asripan Nani, dan banyak lagi, kini sudah jadi orang-orang hebat).

Pitres bukan hanya lihai silat lidah dengan kekuatan aneka referensi (sejak remaja dia memang fasih ber-Inggris ria, jauh mengalahkan saya yang baru melek bahasa ini bertahun-tahun kemudian), yang kadang-kadang saya duga dia petik sembarangan saja. Nyaris tak ada kuasa melawan kelincahan Pitres menaut judul-judul kitab rujukan terbitan luar yang menyebutkan pun saya –ketika itu— rasanya memerlukan bantuan nafas buatan.

Namun yang paling mengasyikkan adalah humor-humor yang kerap dia lontarkan. Urusan lelucon dan anak-temurunnya, Pitres harus diacungi jempol. Maklum, dia adalah salah satu mantan pentolan grup lawak yang pernah sangat populer di Sulut (bersama –yang juga saya kenal dekat-- Martinus Baroleh yang banting setir jadi dosen dan kini sedang menyelesaikan studi doktor di IPB).

Tersebab kedekatan dari masa antah berantah itu, saya selalu siap adu otot leher dengan Pitres, tetapi juga bebas terbahak-bahak setiap kali bersua atau telepon-teleponan. Tawa bebas itulah yang meledak Jumat, 4 Oktober 2013, ketika via telepon Pitres mengatakan (kurang lebih), ‘’Hebat lei ini Kronik Mongondow. Skarang kalu pigi di pasar-pasar, kalu ada orang mo rupa-rupa, ada yang kase inga, ‘Bae-bae jang dapa lapor ka Kronik kong Katamsi mo tulis lei.’ Deng butul ini.’’ Saya tahu dia sedang mood mengobral lelucon.

Dugaan itu tidak salah, terbukti dari lontarannya ketika bual-bual kami beralih pada tidak adanya respons dari Radar Bolmong terhadap kritik dan kritisasi saya. Saya mengatakan, ‘’Kalu nyanda ada yang tanggapi, somo jadi penganiayaan noh.’’ Pitres dengan cepat menyambar, ‘’Nyanda apa-apa. Ngana memang torturer, kong dorang masochist, jadi so cocok ngoni.’’

Yang memahami konteks celutukan Pitres pasti sangat sependapat bahwa yang dia katakan sejenis humor ‘’tingkat tinggi’’. Bagi saya pribadi, kalau penyiksaan itu harus berlangsung berbulan-bulan, sungguh merepotkan. Yang menikmati siksaan tetap syur, sementara yang menyiksa mesti kreatif menemukaan metode dan alat baru agar tak membosankan.

Tak beda dengan Pitres, beberapa jurnalis yang menjadikan Kopi Jarod Sinindian sebagai ‘’markas’’, nonon-te’ek dengan aneka komentar, salah satunya bahwa yang saya tulis hanya lewat begitu saja. Radar Bolmong dan grup penerbitannya tidak akan melakukan apa. Yang penting cash in, bukan isi koran. Tonte’ek itu agak mereda setelah saya menunjuk bukti media ini cukup terganggu. Setelah kritik saya terhadap narsisme jajaran manajemen dan redaksinya, selang beberapa jam slideshow aneka pose ‘’peragawan’’ dan ‘’peragawati’’ sekuter Radar Bolmong di situs http://www.radarbolmong.com/, raib tanpa bekas.

Namun yang paling lucu adalah nimbrungnya Bambang Hermawan, wartawan Posko Manado dan Ketua PANDU Sulut, yang memulai sok jago dengan menyindir-nyindir di account facebook, disusul mengunggah tulisan cemang-cemong berisi aneka pernyataan untuk meyakinkan heroismenya. Termasuk tekad melaporkan saya ke polisi karena menulis pengancaman serius; membuktikan bahwa tantangan ke depan hukum yang kerap saya lontarkan pada siapa pun yang keberatan dengan isi blog ini tak lebih dari upaya penyembunyian ketakutan.

Rupanya anak kemarin sore yang keasyikan mendongakkan dagu, berkeliaran sebagai wartawan di BMR dan ketua organisasi onderbow Parpol ini, terlalu pongah membuka telinga dan matanya. Oh, belum tahu dia kalau sudah ada daftar pecundang yang pernah disomasi dan prosesnya baru berhenti setelah pasrah menelan seluruh ludah dan iler yang telah disemburkan.

Untuk Bambang Hermawan, walau dia sudah menjilat kembali sesumbar itu, termasuk dengan menghapus sindir-sindiran dan tulisan di account facebook-nya, urusan belum selesai. Dia berhutang ke-‘’laki-laki’’-an yang dengan menyakinkan dia pertaruhkan. Bambang Hermawan, di Mongondow kami menyebut laki-laki yang bukan laki-laki dengan baholo’. Silah tanya kiri-kanan apa artinya.

Sosok lain yang turut meramaikan ping pong isu Pemred, kebijakan, dan prakteks jurnalisme di redaksi Radar Bolmong adalah Korlip Harian MP, Idham Malewa. Saya, kemudian Ahmad Alheid, sudah mengulas BC BBM yang dilayangkan Idham ke mana-mana. Ternyata masih ada BC susulan yang akhirnya diteruskan ke BB saya. Sedap betul menikmati kesia-siaan Idham membela diri dan institusi di mana dia bernaung, bahkan dengan menuduh tulisan saya hanya berdasar informasi dari barisan sakit hati.

Santai saja, Idham, saya pengkonsumsi yang lamban dan cermat, apalagi kalau sajian di hadapan sangat menggugah selera. Cepat atau lambat, setelah selesai dengan Radar Bolmong, saya akan mulai mencicipi porsi yang lebih besar: induknya.

Namun mendadak saya terselak tatkala menjejak bagian di mana ayat Al Qur’an dikutip. Maaf Idham, saya tidak melanjutkan menyimak BC Anda. Kita sedang membongkar praktek busuk pemerasan dan perampokan berkedok jurnalisme, bukan tentang bagaimana caranya orang masuk sorga. Membedah kebijakan dan praktek jurnalisme yang dimotori Pemred di sebuah media di Indonesia mesti menggunakan ayat-ayat UU No 40/1999, KEJ, dan hasil ijtihad para bijak bestari jurnalistik; bukan ayat kitab suci, perkataan dan perbuatan Nabi/Rasul, atau ijtihad para ulama dan orang-orang suci.

Tugas seorang jurnalis mencari, menemukan, menguji, dan akhirnya menuangkan fakta, bukti, dan kesaksian sebagai tulisan atau berita. Tidak ada kaitannya dengan keberagamaan seorang sumber atau haram-halalnya bukti yang ditemukan. Tidak ada pula kaitannya dengan apakah seorang sumber berita sedang sakit hati, patah hati, atau gundah hati, dengan kesahihan dan kredibilitasnya? Di mana Anda belajar jurnalistik, siapa yang mengajari, dan sampai di bab apa? Saya kok merasa Anda belum pantas menyandang jabatan Korlip.

Akan halnya aspirasi lain Idham Malewa yang dia BC, saya sepakat dan aminkan saja. Toh Korlip MP ini hanya mewakili kegundahannya sendiri, bukan atas nama institusi di mana dia bernaung. Siapa yang lebih dipercaya, saya atau orang-perorang dari Radar Bolmong maupun induknya, penilaiannya kita serahkan pada orang ramai serta konsumen media di BMR khususnya dan Sulut umumnya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BB: BlackBerry; BBM: BlackBerry Messenger; BC: Broadcast; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; masochist: Orang yang menikmati penderitaan/penyiksaan; MP: Manado Post; PANDU: PAN Muda untuk Indonesia; sekuter: Selebriti Kurang Terkenal; Sulut: Sulawesi Utara; torturer: Penyiksa; UKM: Unit Kegiatan Mahasiswa; Unsrat: Universitas Sam Ratulangi; dan UU: Undang-undang.