Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, October 18, 2013

Amabom yang Tak Beradat dan Tak Tahu Adat


BEBERAPA saat setelah mengunggah Lembaga Adat, Dewan Adat, Majelis Adat, Mainkan Saja.... (Sabtu, 12 Oktober 2013), saya tercengang membaca Totabuannews.Com. Di situs berita yang menitik-beratkan content-nya pada peristiwa dan publik Mongondow ini, Jumat, 11 Oktober 2013, terpampang berita Beri Gelar Adat, AMABOM Kujungi Walikota dan Wawali (http://totabuanews.com/2013/10/11/beri-gelar-adat-amabom-kujungi-walikota-dan-wawali/).

Di tubuh berita dijelaskan, dalam rangka pemberian gelar adat kepada Walikota-Wawali KK 2013-2018, Amabom sudah melakukan kunjungan ke dua pejabat publik ini. Rencananya, gelar (katanya) adat tersebut masing-masing Kolano untuk Walikota TB dan Simpal in Kalano pada Wawali JD. Penganugerahan gelar ini, mengutip Walikota, akan disiapkan di waktu yang tepat agar tidak bertabrakan dengan agenda lain.

Minta ampun, tampaknya memang banyak yang bengkok dari cara pikir dan laku sebagian warga Mongondow yang merasa elit, tokoh, atau yang dielit dan ditokohkan. Kali ini saya benar-benar jengkel terhadap Jemmy Lantong dan Amabom-nya, yang sudah dengan sengaja melampaui batas toleransi mo-o-aheran di antara sesama orang Mongondow. Sesama pewaris dan pemilik ke-Mongondow-an, terutama budaya, adat, dan tradisinya.

Pertama, siapa Amabom? Amabom adalah LSM atau Ornop yang bergiat di bidang budaya, adat, dan tradisi masyarakat Mongondow. Apa tepatnya aktivitas mereka, harus dirujuk ke statuta, AD/ART, atau akta pendiriannya.  Yang jelas mereka bukanlah wakil dan representasi resmi orang Mongondow dalam urusan budaya, adat, dan tradisi. Secara spesifik, orang-orang yang berhimpun dan bergiat di Amabom tidaklah pernah dipilih, ditunjuk, atau didaulat (formal dan informal) menjadi rujukan, apalagi mercu suar adat.

Dengan kata lain, Amabom tidak punya wewenang, terlebih hak, didengar atau dipatuhi oleh orang Mongondow. Karenanya, adalah pelanggaran adat kalau tiba-tiba mereka mengambil alih hak budaya, adat, tradisi, dan sosial dengan seenaknya menganugerahkan gelar pada Walikota-Wawali KK.

Kedua, adat adalah aturan yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; atau wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan menjadi satu sistem. Kemana penganugerahan gelar adat pada elit atau tokoh-tokoh, khususnya yang berada di jabatan publik tertentu, dirujuk? Kalau referensi yang digunakan adalah budaya dan tradisi Kerajaan Bolaang Mongondow, yang kemudian menjadi adat orang Mongondow, maka bagian dan versi yang mana? Versi Mongondow di dataran Passi dan Lolayan, versi Molibagu-Pinolosian, versi Bintauna, atau versi Bolaang?

Versi mana pun dari praktek zaman lampau yang dijadikan tautan mesti pula diverifikasi konteksnya dengan kekinian. Apakah Walikota-Wawali dapat diindentikkan dengan Raja dan wakilnya, serta lembaga yang menyematkan gelar sama seperti Dewan Kerajaan? Bila demikian adanya, maka DPR KK-lah (dengan asumsi bahwa lembaga ini sama dengan Dewan Kerajaan) yang paling pantas memberi anugerah adat. Tapi itu pun tidak terbatas Walikota-Wawali, melainkan pula terhadap Sekkot, Dandim, Kapolres, Kejari, dan Ketua PN. Dan posisi orang nomor dua bukan Wawali, tetapi Sekkot sebagai padanan ‘’Perdana Menteri’’.

Orang-orang tua mengatakan, ‘’Adat sepanjang jalan, cupak sepanjang betung’’ (Segala sesuatu ada tata caranya). Kalimat arif ini tidak sekadar agar satu komunitas atau entitas menghormati hal-hal yang agung dan luhur yang dijaga, dipelihara, dan terus ditegakkan; tetapi supaya segala sesuatu itu dilaksanakan sepantas, selayak, dan sebagaimana mestinya.

Janganlah budaya, adat, dan tradisi Mongondow dijadikan main-mainan sejumlah petualang yang kini berhimpun di Amabom dan merasa mendapat amanat langit seenaknya memberikan gelar. Memahami Mongondow, jangankan gelar adat, sekadar menetapkan batas antar kampung pun diperlukan tata cara dan tata laksana tertentu, termasuk melibatkan orang banyak dengan mobakid.

Sesiapa saja yang telah dilibatkan oleh Amabom berkenaan dengan rencana anugerah gelar adat pada Walikota-Wawali? Kenapa pula gelarnya Kolano dan Simpal in Kolano (penggunaan ‘’in’’ juga keliru se-keliru-kelirunya, karena seharusnya ‘’i’’)? Apakah gelar ini menunjukkan jenis kelamin penyandangnya adalah laki-laki atau boleh pula untuk perempuan? Urusan bahasa Mongondow saja belum genap, berani-beraninya mereka bicara gelar, disemati pula dengan ‘’adat’’.

Kalau Amabom yang LSM/Ornop boleh sesukanya dan ditoleransi menganugerahkan gelar adat, maka perhimpunan pecinta ayam jago dan ‘’kase bakalae ayam’’ juga absah melakukan hal yang sama, sepanjang memiliki selembar legalitas hukum dan sejumlah orang sebagai pengurus dan anggota. Lalu, setelah itu kita proklamirkan saja wilayah Mongondow sebagai bagian dari konsersium Kerajaan Langit yang berpusat di Mongolia Lama.

Dan ketiga, saya mencermati, sejak pendiriannya, Amabom tiba-tiba mengambil peran sebagai institusi yang melegitimasi budaya, adat, dan tradisi Mongondow. Mereka lupa bahwa sebagai LSM/Ornop, fungsinya tak lebih dari fasilitator, advocator,  dan mediator. Fungsi ini pun dengan catatan kritis, orang-orang yang berhimpun di organisasi ini memang lebih tahu, paham, dan khatam soal budaya, adat, dan tradisi daerah ini. Mereka adalah orang-orang terpilih dan layak menjadi rujukan, tempat bertanya, dan moki-na’onda di tengah masyarakat Mongondow.

Demikiankah Amabom dan sosok-sosok yang berhimpun dan menjalankan aktivitas organisasi ini? Kelakuan menerabas kepantasan dengan mendatangi Walikota-Wawali untuk mengatur anugeraha gelar adat sudah menunjukkan seberapa tinggi adab dan adat mereka dalam menghormati budaya dan tradisi yang seolah-olah ingin diagungkan. Bagi saya, penerabasan itu tidak berbeda dengan mempertontonkan bahwa Amabom dan orang-orangnya memang tak beradat dan tidak tahu adat.

Sekadar menjadi fasilitator lahirnya Perda Lembaga Adat (atau apapun namanya), menurut saya organisasi ini masih pantas didukung seluruh warga. Tetapi lain soal kalau mereka kemudian mengambil alih penafsir budaya dan tradisi orang Mongondow dengan menjadi lembaga pengatur, termasuk dengan menganugerahi gelar adat pada siapa pun (terutama pejabat publik) sesuka selera mereka sendiri.

Walikota dan Wawali yang juga penuh suka-cita menyambut rencana anugerah gelar itu tampaknya sama buta-tuli dalam soal budaya, adat, dan tradisi Mongondow. Padahal, sebagaimana yang dipercayai di daerah ini, mereka bukan hanya pemimpin formal pemerintahan; tetapi juga pemangku adat.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AD: Anggaran Dasar; Amabom: Aliansi Masyarakat Adat Bolaang Mongondow; ART: Anggaran Rumah Tangga; Dandim: Komandan Kodim; JD: Jainudin Damopolii; Kapolres: Kepala kepolisian Resort; Kejari: Kepala Kejaksaan Negeri; KK: Kota Kotamobagu; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; Ornop: Organisasi Non Pemerintah; Perda: Peraturan Daerah; PN: Pengadilan Negeri; Sekkot: Sekretaris Kota; TB: Tatong Bara; dan Wawali: Wakil Walikota.