Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, October 27, 2013

Provinsi BMR, Lalu Apa?


SIDANG Paripurna DPR RI, Kamis, 24 Oktober 2013, menyetujui pembentukan 65 DOB, salah satunya adalah Provinsi BMR. Menurut Ketua Komisi II, Agun Gunandjar Sudarsa, sebagaimana dikutip Jurnal Parlemen (http://www.jurnalparlemen.com/view/6606/inilah-65-calon-daerah-otonomi-baru.html), ‘’Jika pemerintah menyetujui usulan itu, maka Presiden akan menerbitkan Kepres menunjuk menteri mewakili pemerintah membahas DOB bersama DPR.’’

Persetujuan DPR RI yang dihadiri Bupati-Wabup dan Walikota-Wawali se BMR itu, anehnya disambut nyaris sangat biasa di Mongondow. Tidak ada kemeriahan seperti ketika masyarakat bersuka di pemekaran KK, Bolmut, Boltim, dan Bolsel. Media (termasuk digital), terutama yang terbit di Kotamobagu, juga memberitakan seadanya. Mungkin karena selama ini isu Provinsi BMR telah berulang kali ditulis dari berbagai angle, hingga di momen puncaknya justru tak ada lagi sisi yang dianggap sangat menarik.

Kemungkinan lain sepinya pemberitaan Provinsi BMR karena media, juga elit-elit dan tokoh yang hadir di Sidang Paripurna, menyadari persetujuan DPR RI barulah langkah membuka pintu. Proses yang bakal dilalui calon provinsi yang melepaskan diri dari Sulut ini masih panjang. Halangan berikut yang menunggu adalah persetujuan pemerintah, yang pasti dilakukan setelah kajian matang dan boleh jadi menggugurkan sejumlah DOB di antara 65 yang diusulkan sebagai hak inisiatif DPR. Lalu ada pembahasan di antara DPR RI dan pemerintah yang pasti memakan waktu sebelum akhirnya dibawa ke Presiden untuk ditanda-tangani sebagai UU.

Masyarakat BMR masih harus bersabar sembari mendorong lima kabupaten dan kota bakal provinsi ini berbenah, menyiapkan diri agar tak gagap dan terantuk-antuk. Sebab kendati gembira terhadap perkembangan bakal terwujudnya Provinsi BMR, warga Mongondow sesungguhnya tahu persis, seluruh elemen yang akan terlibat mengurus bila DOB ini jadi kenyataan, bakal kerepotan.

Sejujurnya, BMR memang memiliki potensi sangat besar yang siap dieksploitasi demi kemakmuran masyarakatnya. Tak ada yang mendebat bahwa dibanding daerah lain di Sulut, BMR-lah yang paling lengkap dan prima potensi SDA-nya. Tetapi tidak dengan SDM, khususnya di sektor birokrasi yang justru jadi jantung dan mesin utama penggerak seluruh sumber daya yang ada. Ringkasnya: Tersediakah cukup SDM birokrasi handal yang mengurus Provinsi BMR kelak ketika cita-cita ini ada di genggaman?

Faktanya, hari-hari ini kita tahu tiap kali diperhadapkan dengan kebutuhan SDM birokrasi siap pakai, lima pasang Bupati-Bawup dan Walikota-Wawali dan jajarannya di BMR mesti rajin mengkonsumsi obat sakit kepala. Para elit pening menimbang-nimbang siapa-siapa yang dipilih sebagai pembantu utama hingga yang terbawa; sedang jajarannya berdebar-debar menanti apakah tetap terpakai atau diparkir sebab dinilai masih memerlukan peningkatan kompetensi. Yang terjadi kemudian adalah bongkar-pasang posisi yang lama-kelamaan menjadi hantu tersendiri bernama ‘’isu rolling’’.

Para kepala daerah se BMR pun menerapkan macam-macam strategi demi menemukan SDM handal yang cocok dengan visi, misi, dan gaya kepemimpinannya. Mulai dari impor birokrat hingga tukar-menukar antar daerah. Hasilnya, jauh dari menggembirakan. Bahkan bagi birokrat yang agak cerdas dan sudah menyandang golongkan di atas IIID, isu rolling adalah jalur cepat mencapai posisi impian. Tak laku di satu daerah, tinggal mengajukan diri ke daerah lain. Sekian dan terima kasih.

Terobosan yang dilakukan Bupati Boltim, Sehan Lanjar, dengan menguji coba hampir seluruh pimpinan SKPD, Badan, serta Lembaga di jajarannya dengan Plt dan Plh, adalah ikhtiar mempromosikan mereka yang dianggap mampu tetapi mesti terlebih dahulu membuktikan kompetensinya. Masalahnya, dengan pendekatan seperti itu Eyang tetap tak bisa mengelak dari problem laten kurangnya SDM. Pimpinan SKPD berstatus Plt atau Plh pada akhirnya sulit digeser karena siapa lagi yang dapat menggantikan?

Di lain pihak, saya mengamati para kepala daerah se BMR yang asyik dengan pendekatan-pendekatan populis dan politis juga abai terhadap peningkatan profesionalisme, kapasitas, dan kapabilitas SDM birokrasinya. Selang tiga tahun terakhir berapa banyak birokrat yang disekolahkan, dikursuskan, atau mengikuti pendidikan penjenjangan? Pertanyaan yang lebih sarkas: Berapa banyak birokrat di BMR yang diberi kesempatan atau didorong melanjutkan pendidikan minimal setingkat master di PT terkemuka di dalam dan luar negeri?

Setiap kali berada di beberapa kota utama di Asia, Australia, dan Eropa, di mana banyak warga Indonesia menempuh pendidikan master atau doktoral, saya kerap bersua dengan birokrat peraih beasiswa dari kabupaten dan kota Sulut, kecuali dari BMR. Ini fakta menyedihkan yang menunjukkan visi profesionalisme umumnya kepala daerah di BMR memang tidak lebih tinggi dari pagar Kantor Pemkab atau Pemkot.

BMR menjadi provinsi sendiri adalah keniscayaan dari harapan warga Mongondow. Mengurusnya dengan benar dan demi kemaslahatan Mongondow dan wilayahnya adalah soal lain yang tidak boleh tidak mesti jadi konsern mendesak. Bila tidak, tata-menata Provinsi BMR bakal tak beda dengan menyelesaikan satu masalah dengan banyak persoalan.

Tentang SDM pula, isu Provinsi BMR membeber fakta lain yang layak jadi catatan kritis warga Mongondow, yaitu lemahnya para politikus dari daerah ini mempersuasi media agar suara dan pemihakan mereka mengaung. Saya mengamati, di pekan-pekan menjelang Sidang Paripurna DPR RI dilangsungkan, politikus yang kerap dikutip menyatakan komitmennya justru Paula Sinjal dari FPD; bukan dua legislator berlatar Mongondow, Didi Moha (FPG) dan Yasti Mokoagow (FPAN).

Saya prihatin dengan ketidak-piawaian dua legislator berlatar Mongondow itu, yang menyia-nyiakan kesempatan politik besar menjaga dan menaikkan performance mereka di tengah persepsi publik BMR. Sama dengan keprihatinan terhadap sejumlah anak muda yang memimpin organisasi kepemudaan (resmi), ‘’bersumbu’’ dan berlangit pendek yang menuding-nuding pihak lain, utamanya Gubernur Sulut, sebagai sandungan aspirasi Provinsi BMR. Dibahas dan disetujui BMR sebagai salah satu di antara 65 DOB mestinya menjadi noda di jidat mereka.

Tentu saya tak perlu mengajari perlunya oknum-oknum itu meminta maaf terbuka pada Gubernur Sulut, sebagaimana tudingan mereka yang juga dipublikasi di ruang publik. Sadar sendiri dan tahu malulah. Demikian pula terhadap sejumlah orang yang di belakang punggung yang mencaci saya di media sosial karena keberatan dengan unggahan di blog ini, Kamis, 17 Oktober 2012 (Para Pencari Panggung di Isu BMR). Bukankah hanya dalam waktu singkat terbukti siapa yang sungguh mendukung pewujudan Provinsi BMR dan siapa-siapa yang cuma jadi sandunga; siapa pula yang punya panggung dan siapa yang memang mencari-cari panggung, bahkan dengan melawan fakta, akal sehat, dan sekadar tuding-menuding gagah-gagahan?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolmut: Bolaang Mongondow Utara; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; DOB: Daerah Otonomi Baru; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; Eyang: Sapaan Akrab Bupati Boltim; FPAN: Fraksi Partai Amanat Nasional; FPD: Fraksi Partai Demokrat; FPG: Fraksi Partai Golkar; KK: Kota Kotamobagu; Plh: Pelaksana Harian; Plt: Pelaksana Tugas; PT: Perguruan Tinggi; RI: Republik Indonesia; SDA: Sumber Daya Alam; SDM: Sumber Daya Manusia; SKPD: Satuan Kerja Perangkat Daerah; Sulut: Sulawesi Utara; Wabup: Wakil Bupati; dan Wawali: Wakil Walikota.