Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, October 25, 2013

In Memoriam JA Damopolii: Sebuah Catatan Personal


DUKA itu dikabarkan Kamis siang, 24 Oktober 2013, oleh salah seorang kawan, Tauffan Damopolii. ‘’Haji JA Damopolii –atau dikenal akrab dengan sapaan Tete Geri—dipanggil Sang Khalik,’’ tulisnya di BBM yang saya terima. Mantan Bupati Bolmong 1981-1991 ini menghembuskan nafas terakhir sekitar pukul 12.00 Wita di RS Advent Manado.

Beberapa jenak saya membayangkan Almarhum Jambat Arsyad Damopolii, mendoakan Beliau serta keluarga yang ditinggalkan. Kepergiannya adalah kehilangan besar bagi Mongondow dan warganya, yang disaat yang sama sedang bunggah setelah DPR RI memutuskan proses Provinsi BMR akan dilanjutkan ke tahap berikut sebelum dimaktubkan dalam UU DOB.

JA Damopolii adalah salah seorang tokoh yang mesti diakui memberi banyak sumbangsih terhadap Mongondow, bahkan Sulut, terutama selama menduduki jabatan Bupati. Ayah lima orang anak dan kakek 15 cucu kelahiran Motoboi Kecil, 25 Juli 1937, ini juga yang mulai mencetuskan pemekaran Bolmong dengan ide menjadikan Kotamobagu sebagai Kota Administratif pada 1986.

Jejak-jejaknya bertebaran di Mongondow. Seingat saya di periode kepemimpinan JA Damopolii-lah pembangunan Mesjid Raya Baitul makmur berhasil dirampungkan, setelah bertahun-tahun terbengkalai sejak dirintis oleh Bupati Oe N Mokoagow. MBRM hanyalah salah satu tapak besar kepemimpinan JA Damopolii, yang sedihnya diruntuhkan ketika Djelantik Mokodompit menduduki kursi Walikota KK. Kini, di saat kita berduka dan menderaskan doa untuk Almarhum, MBRM versi baru masih berupa kolom, balok-balok beton, dan sebagian diding bata yang sedang dinaikkan.

Namun saya tak hendak menulis prestasi dan puja-puji perihal mantan Bupati, birokrat handal, politikus yang pernah menjadi Ketua DPW PAN Sulut yang secara pribadi saya sapa ‘’Om Jambat’’ ini. Saya hanya ingin menulis persentuhan-persentuhan personal dengan seorang manusia, orang Mongondow, dan orangtua, terutama di paruh masa remaja dan sebelum saya terlampau sibuk bekerja di luar Sulut hingga sekitar delapan tahun silam.

Nama Om Jambat tidaklah asing di kuping saya di awal usia belasan. Motoboi Kecil di mana dia kerap disebut-sebut penuh respek dan bangga adalah tempat saya berkeliaran usai jam sekolah. Di sekitar rumah tua berhalaman luas di ruas jalan ke arah Pobundayan yang ‘’katanya’’ menjadi kediaman keluarga besar Damopolii, bermukim banyak kerabat dari Nenek pihak ayah. Ke sanalah saya sering menyalurkan energi berlebih remaja tanggung, mondar-mandir menunggang sepeda dengan kecepatan yang mengundang teriakan orang-orang tua yang melihat.

Tapi JA Damopolii baru menjadi perhatian saya beberapa pekan sebelum dia dilantik menjadi Bupati Bolmong. Saya masih ingat, ketika itu dalam perjalanan –dengan berjalan kaki dari jalan Amal-- ke sekolah di SMP Negeri 1 Kotamobagu, menjelang Bioskop Totabuan (kini Paris Supermarket), berserak selebaran yang mengundang keingintahuan. Saya memungut salah satu selebaran itu dan membaca isinya yang aduhai penuh tuduhan negatif terhadap JA Damopolii.

Selebaran itu menjadi persentuhan nyata pertama saya dengan politicking, provokasi, dan agitasi (dua yang terakhir saya pelajari dengan serius ketika di PT). Toh Om Jambat tetap dilantik sebagai Bupati hingga dua kali masa jabatan dengan banyak terobosan yang umumnya kini masih kita sua. Kantor Bupati Bolmong di Kotabagon, rumah Dinas Bupati di Bukit Ilongkow, RSI Moonow, Pasar Serasi, Universitas Dumoga Kotamobagu, dan Gelora Ambang. Seiring usia Om Jambat yang menua, sebagian fasilitas-fasilitas publik itu juga renta dan tak terurus di bawah kepemimpinan para penerusnya.

Waktu berjalan hingga saya menginjak bangku SMA, terlibat banyak aktivitas sembari berjarak dengan pikuk politik dan birokrasi. Di tahun-tahun awal SMA pula saya mengenal salah satu putri Om Jambat, Indri Damopolii, di Festival Kesenian Pelajar yang dihelat di Manado. Saya hadir sebagai salah satu wakil Bolmong, Indri tampil mewakili Kota Manado. Itu pun sebatas membathin, ‘’O, rupanya inilah putri Bupati Bolmong.’’

Di masa SMA pula untuk pertama kali saya berhadapan langsung dengan Om Jambat ketika dipilih sebagai wakil Bolmong untuk turne ke Jakarta, termasuk mengagumi produksi dalam negeri di PPI. Saya bersama beberapa pelajar lainnya diantar Drs Umar Sowikromo (ayah dari dr Bambang Sowikromo) ke Bukit Ilongkow dan sempat menikmati pemandangan Kotamobagu dari teras rumah jabatan sembari menerima taklimat dari Bupati. Tetap segar di ingatan bagaimana ekspresi jengkel Om Jambat (yang memang dikenal mudah naik darah terhadap ketidak-beresan semasa menjabat Bupati) melihat rambut gondrong dan seragam saya yang tak sesuai sandar anak sekolahan.

Saya tak pernah tahu apa yang disampaikan Pak Umar Sowikromo pada Bupati berkaitan dengan rambut dan seragam sekolah yang acak-acakkan. Tapi saya lolos dari omelan Bupati dan tetap dikirim sebagai salah satu duta Bolmong.

Selepas SMA, selama menempuh pendidikan PT, saya menceburkan diri pada aneka aktivitas dan nyaris tak pernah bersentuhan langsung dengan politik, birokrasi dan elit-elitnya di Bolmong. Berakhirnya masa jabatan Om Jambat pun saya ikuti sambil lalu. Kursi Bupati maksimal hanya 10 tahun dan dia sudah menunaikan tanggungjawab dan kewajibannya.

Tetapi setelah tidak lagi menjabat sebagai Bupati-lah saya kemudian banyak berhubungan dengan Om Jambat. Beberapa kali kami dipanel sebagai pembicara (Om Jambat dipilih karena ketokohannya, saya sendiri entah dengan alasan apa). Pertemuan dengan Om Jambat kian intens tatkala dia menjadi Ketua DPW PAN. Masa-masa itu saya akhirnya mengetahui dia bukanlah sosok yang sangat serius sebagaimana yang kerap digambarkan. Di banyak kesempatan Om Jambat adalah orang yang memang mudah jengkel, tetapi juga gampang tertawa dan senang pada percakapan-percakapan lepas dan rileks.

Dia tidaklah ‘’seseram’’, birokratis, dan temperamental seperti yang sempat tertanam di kepala saya selama bertahun-tahun. Om Jambat boleh didebat, terbuka terhadap argumen dan pertimbangan rasional, dan memberi ruang yang luas terhadap alternatif-alternatif terbaik, khususnya ketika isu yang dikedepankan berkaitan dengan hajat hidup Mongondow dan orang Mongondow.

Satu malam bertahun-tahun lalu, setelah bermobil dari Manado, saya tiba di kediaman Om Jambat di Jalan Mantan. Malam itu majelis yang hadir membahas siapa tokoh yang paling mungkin menjadi pesaing Ny Marlina Moha-Siahaan di Pilkada langsung pertama di Bolmong. Setelah diskusi dan debat panjang-pendek, saya mengajukan nama Djelantik Mokodompit. Tidak perlu waktu lama untuk mendapatkan persetujuan (khususnya) dari Om Jambat, yang diharap menjadi motor menggerakkan dukungan dari PAN.

Djelantik memang menjadi calon penantang Bupati petahana dan kalah. Saya tak pernah menanyakan bagaimana perasaan Om Jambat atau tokoh lain semisal Pemred Harian MP (ketika itu Hendro Boroma) yang sedikit-banyak punya andil mendukung Djelantik. Yang saya tahu, kekalahan selalu membawa kecewa.

Kekalahan Djelantik membuat saya cukup lama menutup buku keterlibatan langsung dengan politik praktis di Mongondow. Dengan Om Jambat sendiri, sekali-dua saya masih menyambangi dia di Jalan Mantan, tetapi percakapannya tidak lagi tentang dinamika sosial dan politik, melainkan hal-ihwal durian dan aneka tanaman yang merimbuni pekarangan luas kediamannya.

Waktu berjalan dan jarak membatasi hubungan-hubungan antar manusia. Demikian pula komunikasi dan pertemuan saya dengan Om Jambat. Kendati begitu, Senin, 14 Otober 2013, setiba di Kotamobagu saya sempat bertanya kabar Om Jambat pada salah seorang kerabat, sebelum reriuangan di Kopi Jarod Sinindian. Sebatas itu hingga Kamis, 24 Oktober 2013, saya menerima kabar berpulangnya Om Jambat ke hadirat-Nya. Satu lagi ‘’tiang’’, yang dengan caranya sendiri turut menopang Mongondow selama tahun-tahun kehidupannya, rebah.

Ingatan-ingatan dan nostalgi pribadi saya tentang Om Jambat berpercikan. Di kejauhan, saya hanya dapat menziarahi Almarhum dengan doa. Selamat jalan, Om. Sebagaimana pun engkau dan yang ditorehkan sepanjang hayat selalu hidup di bumi kita, Mongondow.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; DOB: Daerah Otonomi Baru; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; DPW: Dewan Pengurus Wilayah; MP: Manado Post; PAN: Partai Amanat Nasional; Pemred: Pemimpin Redaksi; PPI: Pemeran Produksi Indonesia; PT: Perguruan Tinggi; RI: Republik Indonesia; RS: Rumah Sakit; SMA: Sekolah Menengah Atas; SMP: Sekolah Menengah Pertama; Sulut: Sulawesi Utara; dan UU: Undang-undang.