Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, October 16, 2013

Tausyiah ‘’Jurnalisme Bid'ah’’


Jurnalisme, jurnalistik, dan jurnalis bergulir menjadi diskusi yang belum usai di beberapa kalangan, khususnya pewarta di BMR, sejak blog mengedepankan isu Radar Bolmong dan induknya, Grup MP. Penulis tamu, Chendry Mokoginta, yang sebelumnya sudah turut memeriahkan lalu lintas ide terkait isu itu, kembali menulis untuk pembaca.

Oleh Chendry Mokoginta

DI PENGUJUNG 2012 lalu, saya pernah menghadiri sebuah kajian yang membahas tentang perkara syariat yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW oleh guru kami (sebutan afdolnya adalah Ustadz dan ‘’kami’’ karena yang hadir di majelis kala itu tidak saya sendiri), Abu Qotadah. Di hadapan majelis Ustadz membawa muqadimah dengan menyebutkan sebuah hadist yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih seperti ini: ‘’Setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan (alamatnya) di neraka.’’

Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan menulis: ‘’Bid'ah  menurut bahasa diambil dari kata bida’, yakni mengadakan sesuatu tanpa ada contoh.’’ Saya sendiri cenderung mengartikan kata bid'ah sebagai modifikasi  syariat, jauh meninggalkan standar yang dijabarkan dalam tuntunan kitab suci serta panduan turunannya (hadist serta ijma ulama).

Penjelasan singkat perihal bid'ah saya sudahi saja. Terlalu sensitif rasanya saya mengusik perkara syariat meski dengan modal referensi kuat. Toh, kebanyakan orang juga tahu saya bukanlah seorang ustadz yang sering nongol di televisi dan biasanya menjadi idola pemirsa.

Halnya pengutipan firman sebagaimana BC yang beredar yang disebut-sebut hasil ketikan Korlip MP, Idham Malewa, bukanlah masalah serius. Ini justru cara bijak memberi peringatan kepada saudara sendiri yang berlaku salah, entah akibat lupa atau kesengajaan. Cara ini pasti diimpikan teraplikasi dalam bentuk yang lebih kompleks. BC Idham inilah yang kemudian menjadi inspirasi Bang Tamsi melahirkan tulisannya (yang tak pernah melepas ciri khasnya:  kritis, mudah dipahami dan kental dengan loleke. Saya menyebutnya sebagai ahli loleke) dengan judul Grup MP: Begitu Induk, Demikian Anak (1) dan (2)).

Damai rasanya jika dalam tiap dialog ada kata-kata mulia yang didengungkan. Tidak dengan meneriakkan kata-kata kasar, rasis, tidak etis, merusak tatanan, serta berpotensi mengantar pengucapnya ke penjara. Saya membayangkan jika ada pemimpin memberi teguran kepada anak buahnya dengan cara yang halus namun tetap diperhatikan. Contoh kasus: disaat seorang pewarta sedang  kesulitan menyetor biaya advertorial yang belum terbayar lantas diberi teguran dengan mengutip semisal firman berikut: ‘’Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba'.’’

Tanpa penjelasan terperinci lagi, saya sudah memahami jika tak perlu mencari rentenir untuk menutupi setoran advertorial yang belum dibayarkan pengorder. Bukankah Pemberi pinjaman dan peminjam sama-sama terkena peringatan tersebut: riba'.

Bentuk komunikasi semacam itu yang perlahan hilang dan jauh. Tekanan pekerjaan merubah situasi menjadi ekstreem dan mengabaikan nilai-nilai luhur yang sebenarnya efektif diterapkan. Contoh lainnya, saat mendelegasikan seseorang untuk memimpin divisi tertentu di sebuah perusahan lantas menuruti  kalimat berikut: ‘’Setiap perkara yang diserahkan kepada yang bukan ahlinya hasilnya adalah kehancuran.’’

Halnya agama yang memiliki tuntunan, maka jurnalis punya kitab sucinya sendiri (Ahmad Alheid telah menyentilnya lebih dulu):  UU No 40/1999 Tentang Pers dan KEJ sebagai sandaran syariat. Lebih dari itu, ada pula aturan khusus perusahan penerbitan yang mengikat pewartanya. Kita katakan saja aturan ini sebagai ‘’ijma'’’. Selama jurnalis menjadikan tuntunan tersebut sebagai ruh profesinya, inilah ‘’jurnalisme sunnah’’. Lantas yang bid'ah? Tak perlu mengerutkan dahi mencari jawabnya.  Mudah saja, yaitu yang mengangkangi UU Pers dan KEJ. Bentuknya bisa berupa  pemberlakuan sistem kerja yang benar-benar melenceng dari fungsi pers sebagaimana amanat UU tadi.

Aplikasi UU Pers serta KEJ, sudah dipapar panjang kali lebar oleh pemilik blog ini, Bang Tamsi. Pun (dugaan) adanya perusahan yang menabrak aturan tersebut atau memang bid'ah menjalankan syariat pers, telah  diumbar "ahlul silat" di tulisan-tulisannya sebelumnya.

Saya kurang percaya diri jika menjabarkan kembali persoalan ini (karena akan terkesan menggurui). Selain tak cukup kompetensi, pengalaman terbatas, saya pun bukan apa-apa di tempat saya bekerja. Banyak yang lebih mumpuni menjawab beragam dinamika yang kian mengemuka ini. Tak hanya di Radar Bolmong atau grup MP. Namun saya menaruh harap, ada cara-cara bijak yang bisa diterapkan nanti. Jika banyak hal yang sudah melenceng dan telah diingatkan agar disesuaikan, maka perubahan penting segera dilaksanakan. Sebagai jurnalis, lirik lagi panduan tadi. Agar terbebas dari predikat ‘’Jurnalisme Bid'ah’’.

Bang Tamsi, sebelum tulisan ini makin nyeleneh mending saya sudahi saja. Banyak berbusa-busa juga tak akan memberi faedah berarti bagi saya di blog ini, kecuali kepada mereka yang memanfaatkan fungsi otak sebagaimana mestinya. Saya juga masih kuatir dengan sikap kritis dan loleke Anda yang bakal balik menyerang ketika saya mulai ngawur menulis.

Sebab, jika setingkat Pemred saja Anda  juluki  sebagai pomponu dan kelas teri. Apalagi sekelas saya sebagai pewarta pemula (masih dalam hukuman non aktif di Radar Bolmong), bakal tak akan lebih terhormat dari gonone.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BC: Broadcast; BMR: Bolaang Mongondow Raya; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; Korlip: Koordinator Liputan; MP: Manado Post; dan UU: Undang-undang.