Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, October 24, 2013

UU Pornografi: Tamatlah Riwayat ‘’Radar Bolmong’’ (1)


BEBERAPA orang mengirim komentar dan tanggapan terhadap tulisan Terkutuklah Jurnalisme ‘’Radar Bolmong (1) dan (2) yang diunggah Selasa, 22 Oktober 2013. Salah satu yang agak pedas adalah kritik saya hanya tegas tatkala membahas pemajangan empat frame foto cabul dan asusila di Harian Radar Bolmong tergolong sudah berada di luar juridiksi UU Nomor 40/1999 Tentang Pers dan KEJ. ‘’Kalau bukan dijerat dengan pelanggaran UU Tentang Pers dan KEJ, lalu media ini dan pengelolanya melanggar UU apa?’’ gugat salah seorang penanggap.

Gugatan itu sungguh benar. Saya memang tidak dengan gamblang menunjuk UU dan tindak pidana apa yang dilanggar Radar Bolmong terkait isu foto-foto mengoda pikiran liar yang diperankan sepasang oknum yang diduga PNS Pemkab Bolmong itu. Ketidak-tegasan itu sesungguhnya disengaja karena saya menghindari menuding publikasi media ini adalah pelanggaran terhadap UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi yang diundangkan 26 November 2008.

Belajar dari kasus yang menimpa mantan Pemred Majalah Playboy Indonesia, Erwin Arnada, media di negeri ini semestinya memahami sensitivitas isu (termasuk gambar) yang mengandung asusila. Apa yang dialami Erwin bermula pada 2006 ketika Kejaksaan mendakwa dia bersalah melanggar Pasal 282 KUHP. Pendakwaan ini dilakukan atas desakan sejumlah organisasi masyarakat yang menilai isi Playboy Indonesia bertentangan dengan kesusilaan dan kesopanan

Pasal 282 KUHP itu terdiri dari tiga ayat, masing-masing, Ayat (1), ‘’Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.’’

Ayat (2), ‘’Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin, memasukkan ke dalam negeri, meneruskan mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan, atau menunjuk sebagai bisa diperoleh, diancam, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga bahwa tulisan, gambazan atau benda itu me!anggar kesusilaan, dengan pidana paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.’’ Dan Ayat (3), ‘’Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama sebagai pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak tujuh puluh lima ribu rupiah.’’

Di persidangan tingkat pertama di PN Jakarta Selatan, dakwaan Jaksa ditolak, dan Pemred Playboy Indonesia dibebaskan dari segala tuntutan. Demikian pula di tingkat banding di PT DKI Jakarta, putusan hakim sama, Erwin Arnada dinyatakan tidak bersalah. Tetapi di tingkat kasasi, MA memutus Erwin bersalah dan harus menjalani hukuman penjara selama dua tahun. Hukuman ini dieksekusi 9 Oktober 2010 dengan dijebloskannya dia ke LP Cipinang.

Edwin Arnada kemudian hanya menjalani hukuman sekitar 8,5 bulan. Berdasar PK yang didaftarkan ke MA dengan nomor perkara 972 K/Pid/2008, tanggal 29 Juli 2009, pada 25 Mei 2011 Hakim PK yang dipimpin Ketua MA, Harifin Tumpa, memutus dia dibebaskan dari segala hukuman dan dinyatakan tidak bersalah. Namun, namun tetap saja Erwin sudah terlebih dahulu mencicip jeruji besi LP Cipinang.

Pembaca, kasus Playboy Indonesia yang membuat majalah ini ditutup pada 2007 dan Pemrednya dibui, diproses dengan menggunakan KUHP, bukan UU No 44/2008. Dan saya memang cenderung menggunakan pendekatan KUHP untuk skandal empat frame foto cabul dan asusila yang dipublikasi Radar Bolmong dengan pemahaman, bila kebodohan dan kecerobohan sejumlah orang di redaksi koran ini diproses merujuk UU Tentang Pronografi, media ini dapat dipastikan bakal tamat. Hukumannya akan bertumpuk-tumpuk, dari denda bernilai milyaran rupiah, ancaman hukuman badan bertahun-tahun untuk para penanggungjawab redaksi, hingga pencabutan badan hukumnya.

Namun konsumen Radar Bolmong dan pembaca blog ini punya pendapat dan penilaian sendiri yang sepenuhnya benar: Publikasi foto-foto mesum itu melanggar berpasal-pasal dan berayat-ayat UU No 44/2008 dan karenanya aparat berwenang mesti memproses skandal ini dengan penggunakan UU ini.

Secara subtansial publikasi empat frame foto mesum yang dikaburkan (tetapi gagal mengeliminasi kecabulan dan asusila yang dikandungnya) oleh Radar Bolmong melanggar larangan-larangan utama UU Pornografi. Titik beratnya pada memiliki, memanfaatkan, menyebarkan, menjadikan orang lain obyek, dan memberikan akses terhadap material porno pada anak-anak. Mengingat koran ini diterbitkan oleh badan hukum dan menjadi konsumsi publik, penerbitan gambar-gambar itu juga menjerat pihak perusahaan yang membiayai dan para pengurusnya (terutama jajaran redaksi).

Pasal 1, Ayat 1, UU No 44/2008 menuliskan, ‘’Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.’’

Sebab pornografi bertentangan dengan nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur di negeri ini, di Pasal 4, Ayat (1) huruf d dinyatakan, ‘’Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan.’’

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

DKI: Daerah Khusus Ibukota; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana; MA: Mahkamah Agung; Pemred: Pemimpin Redaksi; PK: Pengajuan Kembali; PN: Pengadilan Negeri; PNS: Pegawai Negeri Sipil; PT: Pengadilan Tinggi; dan UU: Undang-undang.