Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, October 6, 2013

‘’Stockholm Syndrome’’ Jurnalis ‘’Radar Bolmong’’


PROTES keras terhadap Ngerinya Gulag ‘’Radar Bolmong’’ (1) dan (2) saya terima dari seorang kawan, Minggu pagi, 6 Oktober 2013. Keberatan yang dia sampaikan tidaklah mengejutkan. Sejak mulai mengkritik, lalu mengungkap bokbroknya jurnalisme yang dipraktekkan Pemred Radar Bolmong, saya tahu pada akhirnya mesti menjawab protes, keberatan, dan pertanyaan ihwal kesahihan data yang saya papar.

Dengan nada tinggi kawan itu mengatakan, ‘’Anda yakin punya bukti-bukti? Di BMR kan banyak gosip dan bisik-bisik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Saya kuatir Anda tidak sadar sedang masuk perangkap agar bermusuhan dengan Grup MP. Ini berbahaya bukan hanya bagi Anda tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap media dan wartawan.’’

Beberapa jenak saya jeda agar tidak meletupkan tawa, juga memformulasikan kalimat yang tepat, sebelum menjawab gugatan itu. Lalu dengan suara yang didingin-dinginkan untuk memberi kesan sangat serius (sejauh ini saya menulis belum sesungguh-sungguh yang dikira), saya mengatakan tidak ada yang memerangkap saya agar bermusuhan dengan Grup MP. Saya bahkan sama sekali tidak menyentuh, menyebut, atau mengait-ngaitkan urusan Radar Bolmong dan Pemrednya dengan grup penerbitan ini.

Perihal bukti, 100 persen saya punya. Lengkap dan sahih dari tangan pertama. Siapa-siapa sumber itu, jajaran manajemen Radar Bolmong dan wartawannya tidak usah saling lirik dan curiga. Ibarat sekte ideologi, orientasi seksual, atau agama, kalian sangat solid. Saya mendapatkan dari sumber lain dan tetap menjadi seperti itu, hingga ke mana pun isu ini berjalan. Di tahap ini, bukan siapa yang memberikan bukti, melainkan apakah bukti-bukti tersebut sahih atau sumir.

Sekali pun bukan jurnalis, kawan yang tampaknya berbakat besar jadi investigator ini tak menyerah. ‘’Kalau punya bukti, kenapa tidak dibuka seluruhnya?’’ Nah, kali ini saya tak bisa menahan tawa. Baiklah, saya akan buka lebih banyak, tetapi juga tidak telanjang.

Di bawah kepemimpinan Budi Siswanto, redaksi Radar Bolmong dibebani target cash in minimal Rp 200 juta per bulan. Bila diakumulasi per tahun seluruh wartawan koran ini harus menghasilkan uang lebih dari Rp 2 miliar. Tidak peduli dengan cara menginjak kaki politikus, mengancam Humas Pemkab, atau menakut-nakuti Bupati-Wabup serta Walikota-Wawali. Bahkan demi target itu, liputan kriminal pun wajib diuangkan karena wartawan di bagian ini dibebani setoran Rp 5 juta per bulan.

Sebagai bonus dari ‘’buka-bukaan sedikit itu, saya menambahkan, penunjukkan Budi Siswanto (yang berlatar pemasaran –makanya, tahu apa dia soal UU No 40/1999 Tentang Pers, Kode Etik Jurnalistik, profesionalisme, independensi media, dan lain sebagainya) sebagai Pemred di Radar Bolmong, memang sejak mula didasarkan demi menggeruk uang sebanyak-banyaknya di wilayah BMR. Direksi Radar Bolmong tampaknya terpukau kepiawaian Budi Siswanto yang ketika ditempatkan di MP Biro Bitung, sanggup menyetor cash in tak kurang Rp 150 juta per bulan.

Paparan dilengkapi bonus (zaman kini apapun biasanya dibonusi) saya stop demi menghemat amunisi. Menghadapi Pemred dan koran sekuat Radar Bolmong, saya sadar mesti mempersiapkan diri menulis puluhan artikel yang didukung fakta dan data tak terbantah. Kalau pun akhirnya itu menjadikan blog ini bikin muntah dan tak lagi dijenguk sesiapa pun, saya tidak risau. Lagipula Radar Bolmong sudah mem-black list dan Pemrednya mengharamkan hubungan apapun dengan saya. Dengan kata lain, saya memang dipersilahkan bersilat, karate, atau menari jaipongan sesukanya. Terima kasih, Meneer Budi Siswanto.

Eh, ibarat wartawan yang tak kenal menyerah atau pemain bola dengan stamina terjaga, kawan itu masih mengejar dengan pertanyaan yang menohok. ‘’Saya tidak percaya pada apa yang Anda tulis. Sangat tidak masuk akal kalau benar sedemikian mengerikannya jadi wartawan di Radar Bolmong, lalu masih banyak yang mau bertahan. Mereka yang keluar itu, saya yakin memang bikin kesalahan atau cenggeng dan gampang menyerah.’’

Pembaca, terjangan langsung ke ulu hati itu justru yang saya tunggu-tunggu. Begini, pernahkah Anda-Anda membaca atau mendengar tentang Stockholm Syndrome yang pertama kali dicetuskan oleh psikolog Nils Bejerot? Sindrom ini berlatar perampokan dan penyanderaan yang terjadi di Kreditbanken, Norrmalmstrog, Stockholm, Swedia, 23 hingga 28 Agustus 1973. Pelakunya adalah sepasang bajingan, Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson.

Selama enam hari penyanderaan terjadi, Olsson dan Olofsson tak hanya menyibukkan polisi dengan aneka tuntutan dan ancaman membahayakan nyawa sandera. Mereka bahkan berhasil memaksa PM Swedia, Olaf Palme, terpaksa ikut campur bernegosiasi langsung.

Di saat yang sama, para sandera mulai memperlihatan perilaku aneh. Bukannya membenci dan mengutuk, mereka justru menunjukkan tanda-tanda setia, bersimpati, menyayangi, dan membela para penyanderanya. Anomali perilaku para sandera itu mencapai puncak, saat dibebaskan mereka justru memeluk dan mencium Olsson dan Olofsson. Seorang sandera, Kristin Enmark, bahkan mengaku jatuh cinta pada Olofsson.

Mungkinkah para jurnalis yang masih bertahan di Radar Bolmong saat ini adalah mereka yang tanpa sadar terjerumus dalam kondisi Stockholm Syndrome? Saya bukan psikolog atau dukun yang mampu menerawang jauh ke dalam pikiran dan lubuk hati manusia. Karena itu saya juga tidak berani mengatakan para pewarta yang berombongan meninggalkan redaksi koran ini, adalah mereka yang mendapat pencerahan yang membebaskan diri dari sindrom itu.

Namun, cetusan tidak sengaja salah seorang mantan wartawan Radar Bolmong berkenaan dengan maraknya BC link Kronik Mongondow, yang disampaikan ke saya Sabtu malam (5 Oktober 2013), cukup jadi petanda. Dia mengatakan turut membaca tetapi segan mem-BC link yang diterima karena kuatir sampai juga ke BB Budi Siswanto. Saya bilang, ‘’Apa urusannya? Anda bukan wartawan atau pegawai Radar Bolmong lagi. Memangnya mereka punya jin atau hantu yang mengawasi punggung Anda 24 jam?’’

Lepas dari kerumitan teori dan pembuktian Stockholm Syndrome, diakui atau tidak, dikeseharian perilaku ‘’bersedia dianiaya’’ atau ‘’sadar dianiaya tetapi menyukai atau jatuh cinta pada penganiaya’’ mudah kita temui di mana-mana. Contoh yang paling gampang, para jurnalis Radar Bolmong dengan sadar memikul tekanan cash in (kendati mereka tidak menanda-tangani satu pun dokumen yang menyatakan kerelaannya), menanggung bunga 15-20 persen karena berhutang pada rentenir agar menyetor tepat waktu, dan tetap takut pada instruksi dan ancaman dari Pemrednya.

Mareka yang masih bertahan pasti mengidap Stockholm Syndrome parah. Sungguh memprihatinkan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BB: BlackBerry; BC: Broadcast (Menyiarkan); BMR: Bolaang Mongondow Raya; Humas: Hubungan Masyarakat; MP: Manado Post; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pemred: Pemimpin Redaksi; PM: Perdana Menteri; UU: Undang-undang; Wabup: Wakil Bupati; dan Wawali: Wakil Walikota.