Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, October 12, 2013

Grup MP: Begitu Induk, Demikian Anak (2)


INSTITUSI yang mampu memaksakan sesuatu yang bertolak belakang dengan standar, norma, dan etika umum; yang sukses menggiring sejumlah banyak orang berpendidikan majal akal-pikirnya; adalah kamp konsentrasi seperti Gulag. Atau, lembaga indoktrinasi dan cuci otak yang pernah sukses dipraktekkan rezim Nazi dan komunisme Uni Sovyet.

Saya tidak tahu dan tidak mau menyimpulkan apakah para pewarta di Radar Bolmong (juga mungkin di induknya), yang kini masih bertahan memikul kewajiban cash in, adalah sejenis Blu yang lain, hasil sugesti massal, produk pengindoktrinasi dan pencuci-otak handal, atau karena ada faktor semacam kesetiaan sesama ‘’anggota perkumpulan perompak’’, dimana semuanya dengan sumringah menikmati hasil jarahan sesuai pangkat dan kontribusi masing-masing.

Yang jelas ada fakta-fakta yang didadah, yang membuktikan praktek keredaksian Radar Bolmong bukanlah sebagaimana yang dilindungi UU No 40/1999 dan dipandu KEJ. Ujilah fakta ini dan sampaikan secara terbuka bila ternyata apa yang saya tulis tak mendasar. Sekadar menolak dengan klaim tanpa pijakan dan bukti, itu ocehan gagah-gagahan orang mabuk yang biasanya meramaikan pesta-pora para bajingan di novel-novel dan film-film ber-genre petualangan.

Keempat, tuduhan bahwa kritik dan kritisasi saya terhadap kebijakan dan praktek jurnalistik di Radar Bolmong dipandu barisan sakit hati, tak urung memercik ‘’gatal hati’’. Dari mana pula dugaan ini dipetik? Sekali pun hal-ihwal menduga ini sesungguhnya tak mengejutkan. Telah lama saya cermati Grup MP adalah kelompok penerbit yang sungguh gemar menggunakan ‘’diduga’’ di banyak tulisan dan pemberitaannya. ‘’Diduga Ada Penyelewengan Dana APBD’’; ‘’Diduga Pilkada akan Tertunda’’; ‘’Diduga Ada Pungutan di Seleksi PNS’’; dan banyak duga-duga yang lain. Sebagai Korlip, Idham Malewa boleh mengecek isi medianya sendiri.

Penggunaan ‘’diduga’’ itu juga menunjukkan kerja jurnalistik yang serampangan dan setengah hati. Wartawan kok menulis dugaan mirip tukang gosip di kedai kopi. Kerja jurnalistik yang benar adalah beranjak dari dugaan, menelusuri, mengumpulkan fakta, menguji semua fakta, meminta konfirmasi dari pihak-pihak yang terlibat dalam isu yang disorot, kemudian menuliskan dengan berimbang. Dengan begitu, dari penjudulan sebuah berita saja, katakanlah seperti ‘’Ada Penyelewengan Dana APBD’’; ‘’ Pilkada akan Tertunda’’; ‘’ Ada Pungutan di Seleksi PNS’’; kualitas isi dan isunya sudah mengundang kepercayaan pembaca.

Pertanyaan saya: Kapan Korlip MP menanyakan pada sesiapapun yang diduga barisan sakit hati (eks-eks wartawan yang keluar atau dikeluarkan dari Grup MP), bagaimana perasaannya terhadap institusi tempat mereka pernah bekerja? Pula, di bagian manakah dari tulisan-tulisan saya yang mengindikasikan, menyiratkan, atau menyuratkan kesakit-hatian dan ada barisan sakit hati yang menjadi sumber.

Idham Malewa, menduga-duga itu zalim. Jauh berbeda dengan menuliskan fakta, terlebih melawan penganiayaan terhadap kemanusian, sebagai ikhtiar menjaga kewarasan dan keberadaban kita. Bahkan bila diperlukan, menganiaya para pezalim cukup dapat diterima akal sehat manusia modern yang beradab. Mungkin tepat bila saya sitir BBM seorang kawan, wartawan Harian Jurnal Nasional, yang tak ada angin dan hujan, Jumat pagi (11 Oktober 2013), mendadak mengirimkan kutipan Pramoedya Ananta Toer (Anak Semua Bangsa, (1980), ‘’Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung. Kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana.’’

Kemanusiaan saya tersinggung mengetahui nasib jurnalis-jurnalis Grup MP yang institusinya menerapkan neraka cash in lewat praktek jurnalistik ‘’bbi’’, ‘’bbk’’, dan advertorial. Saya bersimpati dan berempati pada mereka yang masih bekerja maupun yang ‘’ditendang’’ atau ‘’menendang dirinya’’ keluar dari kelompok penerbitan ini. Nah, Anda berdiri di sisi yang mana menyikapi fakta yang demikian? Di antara orang-orang yang berperasaan, berpikiran waras, dan tersinggung; atau orang gila dan mereka yang memang berjiwa kriminil?

Kelima, apa dan kepada siapa Pemred Radar Bolmong memiliki moral obligation? Moral obligation seorang Pemred adalah berkhimat pada profesinya, kewajiban, dan tanggungjawabnya. Menetapkan kebijakan dan menegakkan praktek jurnalistik yang menjunjung kaidah-kaidah dan etika jurnalisme. Dia bukanlah pedagang kelontong atau debt collector yang sibuk mengerahkan tenaga pemasaran atau tukang tagih demi memenuhi, bahkan melampaui, target mengalirnya bertumpuk-tumpuk uang.

Wujud moral obligation seorang Pemred adalah mengelola news room dari hulu ke hilir dengan disiplin tinggi, inspiratif, serta mendukung kekebebasan dan kreativitas para jurnalis menghasilkan tulisan dan berita yang berkualitas dan layak dipercaya. Dia menjadi garda terdepan menjaga produk-produk jurnalistik media yang dipimpin agar bebas dari segala intervensi (termasuk dari pemilik modal dan elit-elitnya sendiri) dan hanya berpihak serta melayani kepentingan publik.

Adakah keluhuran jurnalisme seperti itu masih diajarkan di Grup MP? Pemred Radar Bolmong, Budi Siswanto, dan Korlip MP, Idham Malewa, pasti lebih fasih menjawab dan menjabarkan.

Dan keenam, korelasi perilaku Pemred, kebijakan, dan praktek jurnalistik Radar Bolmong dengan fakta lapangan, Bapak Korlip Harian MP, tampaknya hanya tak dapat dilihat dan didengar oleh mereka yang buta hati dan menulikan inderanya. Lihat saja tulisan dan berita yang dimuat koran ini setiap hari. Tidak cukup? Bagaimana dengan berombongannya jurnalis Radar Bolmong meninggalkan tempat mereka mengabdi, bahkan termasuk wartawan seperti Sumitro Dolot yang sudah melampaui satu dasawasa mengabdi di Grup MP.

Saya tidak akan mengungkap bagaimana siasat, trik, dan upaya para pewarta Radar Bolmong supaya sumber berita mengkontribusi kebutuhan cash in semaksimal mungkin. Membuka fakta-fakta yang saya temukan hanya mengakibatkan kerusakan ikutan yang tidak perlu. Bagi saya mereka adalah korban dari sebuah sistem rusak dan tak beradab, yang didisain sepenuhnya menghamba pada penyedotan dan penumpukan kapital demi kemakmuran sebesar-besarnya untuk perusahaan, ‘’para dewa’’, dan elit-elit di atasnya.

Idham Malewa, Anda Korlip media yang menjadi induk kelompok penerbitan yang mengklaim terbesar di Sulut. Anda punya pengetahuan, kecakapan, sumber daya, dan perangkat menggali lebih dalam korelasi yang dipertanyakan itu. Bila itu dilakukan, saya berani bertaruh hasilnya bakal membuat jengah akal sehat, nurani, dan hati kecil Anda.

Begitula. Namun yang saya tuliskan ini baru tahap icip-icip seberapa lezat ‘’menu’’ induk Radar Bolmong. Dan mari kita tutup dengan pertanyaan sebagai PR kecil untuk Korlip MP: ‘’Sejak kapankah onani menjadi ‘isme’? Bolehkah saya menyematkan ‘onanisme’ pada jurnalis dan media yang hanya memuaskan diri dengan fantasi liar sendiri, seolah-olah mempraktekkan jurnalisme tapi nyata-nyata mengangkangi prinsip-prinsip dasarnya?’’

Jika boleh, ‘isme’ itu memang anutan yang pas untuk praktek jurnalisitik, jurnalis, dan grup media Anda.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

APBD: Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah; bbi: Berita Berbayar Iklan; bbk: Berita Berbayar Koran; BBM: BlackBerry Messenger; Korlip: Koordinator Liputan; MP: Manado Post; Pilkada: Pemilihan Kepada Daerah; Pemred: Pemimpin Redaksi; PNS: Pegawai Negeri Sipil; PR: Pekerjaan Rumah; dan Sulut: Sulawesi Utara.