Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, October 10, 2013

Kearifan Bukan Hanya Tentang Kelemah-Lembutan


BELAJAR adalah pengelanaan sepanjang hayat. Di usia yang melewati empat dasawarsa, keawasan saya mengajarkan apa yang menjadi kelemahan kerap membawa kita menemukan kekuatan dan hakikatnya.

Chendri Mokoginta, sejawat dalam ide dan wartawan Radar Bolmong yang urung rembuk menulis di blog ini, kelemahan saya adalah tidak takut membuka diri dan pikiran terhadap apapun. Ini menyakitkan, sebab saya tidak pernah mampu berhenti menelisik, menetapkan zona nyaman, dan membebaskan pikiran dari tanda tanya. Saya tahu pula, kelemahan itu mendatangkan kekuatan yang justru lebih menakutkan, karena setiap yang kokoh, berenergi siaga, dan tidak dengan sadar dikontrol, selalu menghasilkan kerusakan.

Kalian, generasi kini yang berjarak era dengan saya, mungkin lebih mudah mengkonklusi mengapa kita mesti menakuti kekuatan yang datang dari proses memahami kelemahan itu lewat Coach Carter, film inspiratif berlatar kisah nyata sepenggal riwayat pelatih bola basket Richmond High School, Ken Carter. Dibintang-utamai aktor kakap Samuel L Jackson, sepanjang film yang di-realese 2005 ini kita menyaksikan Coach Carter tidak sedang mengajari bagaimana para pemain basket yang dia latih membuktikan keberanian di lapangan, tetapi memahami ‘’ketakutan terbesar’’ bila kekuatan yang mereka miliki tak ditata dan dikendalikan.

Dan jawaban itu dilontar dari salah satu anak didik Carter, Timo Cruz (diperankan aktor Rick Gonzalez), yang mengklimaksi tontonan ini dengan pernyataan, ‘’Our deepest fear is not that we are inadequate. Our deepest fear is that we are powerful beyond measure. It is our light, not our darkness, that most frightens us. Your playing small does not serve the world. There is nothing enlightened about shrinking so that other people won't feel insecure around you. We are all meant to shine as children do. It's not just in some of us; it is in everyone. And as we let our own lights shine, we unconsciously give other people permission to do the same. As we are liberated from our own fear, our presence automatically liberates others.’’

Ahmad Alheid, kawan lain dari masa romantis booming media cetak di Sulut, yang hari ini (Kamis, 10 Oktober 2013) menulis Untuk Idham dari Seorang ‘’Kroni’’, bagai mengingatkan agar saya tetap menakuti magma kekuatan yang menggolak di kepala dan siap menyembur bersama kata dan kalimat di blog ini. Narasinya yang serupa suara rendah (hampir-hampir mendekati solulokui) tetapi mengintimadasi, membuktikan yang tampak lemah-lembut pun mampu mengekpresikan geram. Dia menabalkan kembali makna kearifan yang kadang, sengaja atau tidak, terlupa.

Ya, Chen (saya selalu menyapa Anda dengan panggilan ini), kearifan kerap kita identikkan dengan kelemah-lembutan. Pada suara serak-serak basah karena usia tua menuju uzur, lekak-lekuk keriput di jidat, rambut dan jenggot memutih, pula langkah yang kian pelan dan hati-hati. Tidak. Kearifan bisa pula gemuruh suara Coach Carter memerintah running suicides pada anggota tim basket Richmond High School hingga mereka tersungkur di lapangan.

Kearifan adalah tentang bagaimana belajar, mengintisarikan yang ditapak, mengajarkan, dan mengingatkan sesuatu yang penting bagi setiap orang (saya, Anda, kita semua) agar menjalani dan menegakkan jalan hidup yang dipilih dengan konsisten. ‘’I came to coach basketball players, and you became students. I came to teach boys, and you became men,’’ raung Coach Carter.

Tulisan-tulisan saya di blog ini tidak sedang mengajari supaya Anda menjadi jurnalis profesional dan Radar Bolmong menegakkan marwahnya sebagai lembaga berita yang bertanggungjawab dan berpihak pada publik. Saya hanya mengingatkan Anda dan media Anda agar menjadi pewarta profesional dan lembaga pemberitaan yang kredibel. Saya memilih jalan berteriak, Ahmad Alheid dengan berbisik, dan publik mungkin mengekspresikan dengan diam-diam meleceh koran yang Anda terbitkan.

Chen, kritik dan kritisasi saya sejak awal memang bukan berdasar dan didasarkan pada pelecehan marga dan nama kakek buyut saya. Penistaan itu hanya salah satu dari banyak temuan yang menunjukkan ada yang bengkok dari laku Pemred, kebijakan, dan praktek keredaksian di Radar Bolmong. Sesuatu yang teramat dasar kita hasilkan ketika mencari tahu dengan panduan pra syarat pemenuhan kelayakan sebuah berita: 5W + 1H. Sebab itu, mari kita simpang yang pribadi dalam ruang sendiri. Kita kedepankan segala yang memang menjadi kewajiban jurnalis, praktek jurnalisme, media, dan kita semua sebagai pertanggungjawaban pada posisi dan porsi publik yang dipilih.

Tersebab itu tulisan-tulisan saya juga difokuskan pada Pemred, kebijakan, dan praktek keredaksian yang dia ditegakkan di news room Radar Bolmong. Lengkap dengan kembang-kembang dan bunga-bunga. Bahwa ada perasaan hingga tukang sosapu lante pun terhantam ‘’bom’’ yang saya jatuhkan, itu collateral damage yang tak terhindarkan. Itu pun cuma perasaan (hal mustahak yang siapa sanggup melarangnya?). Ibarat Radar Bolmong adalah sebuah kapal, ketika dia dilayarkan, segala kebijakan yang diputuskan dan wajib dijalankan awak-awaknya, berkonsekwensi pada semua makluk hidup dan benda mati yang ada di atasnya. Jangankan tukang sosapu lante, semut yang ikut menumpang pun turut menanggung risiko ketika bahtera karam digulung ombak.

Orang per orang di Radar Bolmong, sesuai dengan level struktural, fungsi, dan tanggungjawab, identik dengan institusinya. Ketika keluar dari pintu kantor, tak hanya dalam konteks bekerja profesional, Anda bukan lagi sekadar Chendry Mokoginta. Anda, juga jurnalis dan support system hingga jajaran terbawah di pohon manajemen, adalah representasi Radar Bolmong.

Mungkin saya harus mengingatkan, dari media pula publik belajar mengeneralisasi identitas pribadi dan profesional seseorang. Buka-buka kembali Radar Bolmong, cermati bagaimana, misalnya, kerabat seorang korban kecelakaan dikutip dan ditulis ‘’ menurut keluarga korban’’, ‘’dari informasi keluarga korban’’; atau yang ekstrim terhadap seorang tersangka tindak pidana, seperti frasa ‘’bantah keluarga pelaku’’ atau ‘’kata kakak tersangka pembunuhan’’.

Tidak usah panas hati. Setiap profesi dan lembaga punya resiko identitas sendiri-sendiri. Sebagai jurnalis dan masih bekerja di Radar Bolmong (demikian pula tukang sosapu lante yang kita sitir), Anda berhak membela bendera tempat bernaung, tetapi tentu dengan menyodorkan bukti-bukti dan fakta yang kredibel dan sahih; atau menjadikan kritik dan kritisasi itu jalan masuk mengubah kebijakan dan praktek yang salah, keliru, bengkok, dan lancung.

Di luar itu, perkara apakah sejauh ini saya menggertak saja, nanti pada waktunya kita buktikan bersama. Yang jelas, dengan menjunjung kesadaran takut pada kekuatan yang dimiliki, saya masih terus menulis dan tak bakal berhenti menelisik, mendadah, membedah, serta membeberkan segala sesuatu yang tidak pada tempatnya dari kebijakan dan praktek keredaksian Radar Bolmong sebagai lembaga berita. Kalau yang saya lakukan adalah perlawanan, ya, ini perang terhadap kebobrokan. Kalau dipersepsi sebagai kampanye, ya, dia adalah advokasi menyadarkan media, para pewarta, dan publik bagaimana semesti profesi orang-orang mulia (para penjaga ‘’pilar keempat demokrasi’’) dan produknya melayani tanggungjawab dan fungsinya.

Selebihnya, terutama derasan tausiah respek terhadap nilai-nilai yang diluhur dan dihormati di kebudayaan dan tradisi Mongondow terhadap Budi Siswanto, belum akan saya sentuh. Ada sesi tersendiri yang disiapkan untuk pelajaran pentingnya perhormatan pada lokalitas sebagai elemen penting yang mesti diindahkan media dan para jurnalisnya, di mana dia berada dan menjadi bagian integral dari publik setempat.

Lalu saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan berterima kasih karena Chendry Mokoginta sudi mengingatkan, sebagai pesilat yang memamah-biak berjurus-jurus latihan setiap hari, saya mesti menakuti mereka yang mahir menggunakan belati. Anda benar, Chen. Ketakutan terbesar saya bukanlah siapa dan seberapa paripurna kemahiran si ahlul belati, tetapi di bagian mana bilah tajam mengkilap itu harus disarangkan di tubuh pemainnya sendiri.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

5W + 1H: What (Apa), Who (Siapa), When (Kapan), Where (Di mana), Why (Mengapa), dan How (Bagaimana).