Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, October 5, 2013

Ngerinya Gulag ‘’Radar Bolmong’’ (2)


SAHIHKAH informasi praktek premanisme Pemred Radar Bolmong seperti yang saya tuliskan itu? Ada penjelasan dari beberapa orang (bukan hanya salah seorang) yang ‘’membangkang’’ dari instruksi memutuskan hubungan dengan saya, bahwa praktek dan terjemahan cash in tidaklah seperti yang saya pahami dan beberkan.

Yang sebenarnya, ungkap sumber (frasa ‘’ungkap sumber’’ ini telah jadi kata sakti di kalangan media di Sulut sebagai pengganti pengertian ‘’sebenarnya tak ada sumber yang diwawancarai’’) itu, karena kekurangan SDM maka wartawan di biro-biro diberi kewenangan menjadi perpanjangan tangan perusahaan. Akan halnya wartawan yang diiklankan harus menyelesaikan piutang, karena mereka terlanjur menggunakan dana tagihan iklan atau advertorial demi kepentingannya sendiri.

Mari kita uji kebenaran penjelasan itu. Apakah kewajiban cash in hanya melekat pada biro-biro, tidak untuk para wartawan di wilayah Kotamobagu di mana Radar Bolmong berkantor pusat? Bukankah di Kotamobagu ada bagian iklan yang langsung dapat berhubungan dengan semua pengguna jasa komunikasi koran ini? Faktanya tidak demikian. Seluruh wartawan, kecuali Pemred, wajib memikul cash in ke mana pun dia pergi, dengan jumlah sesuai kasta dan jabatan. Mereka yang ada di biro yang paling bongkok karena wajib menyetor sekitar Rp 30 juta setiap bulan. Yang lain, bervariasi, minimum Rp 5-10 juta per bulan untuk reporter dan fotografer serta pos liputan dan redaktur Rp 10-15 juta per bulan.

Koreksi terhadap pengertian cash in yang melawan fakta itu, tentu menggugurkan pula penjelasan yang lain. Terlebih, bukti-bukti yang saya dapatkan menguatkan bahwa kewajiban tersebut ditegakkan dengan tangan besi, termasuk SMS atau BBM dari Pemred yang mempersilahkan siapapun yang tidak mampu menyetor cash in untuk angkat kaki saja.

Waduh, Radar Bolmong ini masih kantor media atau sudah bersulih jadi koperasi jadi-jadian dan perusahaan investasi bodong yang menipu anggotanya ratusan miliar hingga triliunan? Yang tokoh-tokohnya gendut dan makmur sementara para anggota nyaris jadi gila memikirkan dan memperjuangkan duitnya yang raib entah kemana.

Mohon maaf pemegang saham, direksi, jajaran manajemen, dan redaksi Radar Bolmong, bila saya terpaksa menyatakan membuka counter pulsa telepon lebih terhormat dan fair ketimbang menjadi wartawan di media Anda. Berdagang pulsa telepon, apalagi elektronik, hanya memerlukan modal secukupnya dan kegigihan bekerja. Dari setiap nilai tertentu pulsa yang terjual, ada yang wajib disetorkan ke provider dan selebihnya menjadi keuntungan yang halal. Tidak perlu tanda pengenal gagah seperti ‘’kartu pers’’, standar pengetahuan dan ketrampilan tertentu, dan yang terpenting merdeka dari keterhinaan.

Logika jurnalisme apa yang digunakan untuk mewajibkan seorang wartawan, hanya dengan berbekal kartu pers, mesti memburu dan menulis berita sekaligus menjadi mesin pengumpul uang untuk media tempat bekerjanya. Berapa salary dan benefit apa saja yang diterima hingga sukarela menghamba dan menggadaikan profesi yang begitu mulia ini? Fasilitas apa pula yang diberikan agar kerja rodi ini sukses? Maaf (sekali lagi dengan penuh hormat), kawan-kawan pewarta di Radar Bolmong, Pemred Anda memang pomponu, tetapi kalian lebih trenginas lagi levelnya.

Bagaimana Anda tetap tegak menghadapi sumber berita yang diam-diam di belakang punggung merepet, ‘’Dorang so bukang cari berita, tapi ba kumpul doi.’’ Nara sumber yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sembari menghitung-hitung berapa dana ‘’bbi’’ atau ‘’bbk’’ yang harus dikeluarkan dari setiap kalimat yang dikutip. Serta, yang terpenting, sampai berapa lamakah Anda, sebagai jurnalis, mampu membohongi nurani serta bersiasat mengulur waktu dari rongrongan rentenir, tempat meminjam dana menurupi kewajiban cash in, karena pencairan biaya iklan atau advertorial dari Pemkab terlambat sebagaimana khas birokrasi Indonesia bekerja?

Praktek jurnalisme dagang berita yang dimotori Budi Siswanto, saya pastikan adalah perbuatan kejahatan terhadap kewarasan publik. Juga penghinaan terhadap kemuliaan media dan profesi kewartaan. Kejahatan dan penghinaan itu bahkan lebih buruk dari yang dipraktekkan oleh rezim Uni Sovyet dengan Gulag-nya, yang belakangan menjadi istilah dan kerap dilekatkan pada institusi-institusi yang memperlakukan manusia dengan kekejaman setara perilaku hewan pemangsa.

Gulag adalah riwayat tentang satu insitusi birokrasi di zaman Uni Sovyet, Glavnoe Upravlenie ispravitel’no-trudovykh LAGerei atau Administrasi Utama Kamp Kerja Kolektif (yang kemudian disingkat Gulag). Kantor ini berwenang dan bertanggungjawab terhadap kamp kerja paksa di seluruh wilayah Uni Sovyet, tempat di mana tahanan politik dan para pembangkang terhadap ideologi negara, dipekerjakan melewati kondisi yang mampu dipikul tubuh dan pikiran manusia.

Kamp yang dioperasikan Gulag, tulis Gulag History (www.gulaghistory.org) yang didedikasikan Center for History and New Media, George Mason University, untuk isu ini, ada di seluruh Uni Soviet, tetapi yang terbesar terletak di wilayah geografis dan iklim yang paling ekstrim, dari utara Arktik ke Siberia Timur dan Selatan Asia Tengah. Menjadi tahanan di kamp-kamp Gulag berarti terlibat di berbagai kegiatan ekonomi yang tidak memerlukan keterampilan, manual, dan sangat tidak efisien. Kombinasi dari keadaan itu, yang meliputi kekerasan endemik, iklim yang ekstrim, kerja keras, kekurangan makanan, dan kondisi tidak sehat, menyebabkan angka kematian yang sangat tinggi di antara para pesakitannya.

Kekejaman Gulag terungkap dan membuka mata dunia ketika penulis peraih Nobel Sastra 1970, Aleksandr Isayevich Solzhenitsyn, mempublikasi The Gulag Archipelago (1973–1978). Terdiri dari tiga volume, karya yang sangat mengguncang ini mengubah Gulag dari nama organisasi birokrasi menjadi kata yang identik dengan kekejaman dan kebiadaban.

Setelah kematian Stalin pada 1953, Gulag secara radikal mengurangi kamp dan tahanan yang dikerja-paksakan. Namun institusi ini dan fasilitas-fasilitasnya masih dipelihara dan baru berakhir saat Michail Gorbachev naik ke tampuk pemerintahan, memaklumatkan perestroika dan glasnost, dan mengakhiri era Uni Sovyet yang kini terbagi menjadi puluhan negara yang berdiri sendiri. Tapi Rusia –induk dari Uni Sovyet— belajar dari masa lalu agar tak mengulang ketidak-beradaban yang pernah dipratekkan. Sejak 2009, The Gulag Archipelago menjadi bacaan wajib pelajar sekolah menengah atas di negeri ini.

Para jurnalis di Radar Bolmong bukanlah tahanan politik atau pembangkang ideologi negara dan media ini juga masih berada di wilayah RI yang Pancasilais. Kalau mereka bersedia diperlakukan lebih buruk dari pesakitan Gulag, saya hanya bisa bersimpati. Itu urusan rumah tangga Radar Bolmong, termasuk Pemred-nya yang karena cuma mampu mengurusi pemasaran koran, tentu belum pernah tahu apa itu Gulag, kekejam, dan kebiadaban yang menyertainya.

Urusan saya, sebagaimana pembaca yang lain, adalah media dan para pewartanya bekerja independen, profesional, kompeten, kredibel, dan etis, hingga apa yang ditulis dan disajikan adalah fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawaban. Kalau toh ada media yang memang memilih menjadi koran ‘’bbi’’ dan ‘’bbk’’, saya yakin pembaca juga tidak keberatan. Tapi demi etika dan transparansi (yang selalu gigih dijadikan senjata oleh para wartawan dalam melaksanakan tugasnya), maka umumkan secara terbuka: ‘’Koran ini adalah media ‘bbi’ dan ‘bbk’. Harap dimaklumi dan dimengerti.’’

Di luar itu, bagi saya pribadi, ada urusan lain yang berada di atas segala kepentingan, yakni terus memburu penista nama kakek buyut sampai kemana pun.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

bbi: berita bayar iklan; bbk: berita bayar koran; BBM: BlackBerry Messenger; Pemred: Pemimpin Redaksi; RI: Republik Indonesia; SDM: Sumber Daya Manusia; dan SMS: Short Message.