Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, October 2, 2013

Berita Marka, Kutipan Pembatas, Ternyata Rambu Lalu Lintas


POLITISI, birokrat, dan warga Boltim memang selalu penuh kejutan. Kali ini bukan datang dari tokoh utama tukang bikin geger, Bupati Sehan Lanjar, yang ide, cerita, dan gaya bertuturnya kerap menghenyakkan khalayak; melainkan Plt Kadishubkominfo, Zulfaki Gaib, sebagaimana yang diwartakan Harian Radar Bolmong, Marka Jalan Moat-Atoga Raib, Rabu 2 Oktober 2013.

Berbeda dengan membaca pernyataan Eyang di media atau bereriungan langsung yang suka membuat saya mengeleng-ngelengkan kepala sembari terbahak; menyimak Plt Kadishubkominfo lebih seru: saya terpiuh-piuh hingga melelehkan liur dan airmata sembari membentur-benturkan kepala ke meja kerja. Saya yakin, kalau ada kontes pernyataan kontroversi dari birokrat dan pejabat negara, kutipan-kutipan dari Plt Kadishubkominfo yang dilansir Radar Bolmong itu bakal terpilih sebagai ‘’Yang Terlucu di 2013’’.

Wartawan yang melaporkan memulai dengan menulis, ‘’Proyek pelebaran jalan meninggalkan kesan tak baik. Marka jalan yang digunakan selama proyek dibiarkan terlantar di jalan.’’ Walau agak janggal, terutama kalimat kedua, secara keseluruhan alinea pertama kreasi pewarta Radar Bolmong ini masih dapat dicerna akal sehat.

Pembaca yang lebih teliti tentu bertanya-tanya, bagaimana mungkin marka jalan bisa terlantar? Tetapi apa itu marka jalan? Tidak perlu membuka kamus teknik transportasi. Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Markah_jalan) sudah menjelaskan dengan memadai apa itu marka jalan, yaitu: ‘’Suatu tanda yang berada di permukaan jalan atau di atas permukaan jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong, serta lambang lainnya yang berfungsi untuk mengarahkan arus lalu lintas dan membatasi daerah kepentingan lalu lintas.’’

Penjelasan Wikipedia itu masih memerlukan sedikit suntingan agar lebih tegas, bahwa marka (sesuai petunjuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional dan Balai Pustaka, 2005, boleh juga menggunakan ‘’markah’’) jalan melulu berurusan dengan garis dan tanda. Biasanya garis-garis yang juga dikenal sebagai marka non-mekanik dibuat dari cat (berwarna putih), thermoplastic, dan cold-plastic; serta marka mekanik berbentuk paku jalan yang dilengkapi reflektor. Selain marka, di seluruh jalanan (kecuali jalan tanah yang kerbau pun enggan melewati), ada dua penanda lain: rambu lalu lintas dan lampu lalu lintas.

Kembali ke soal ‘’marka jalan yang terlantar’’ sebagaimana penggambaran wartawan yang menulis, boleh kita duga yang dimaksud mungkin catnya telah memudar, garis-garisnya tidak lagi sesuai aturan, atau barangkali paku jalan dengan reflektor yang dipasang tercerabut dan berceceran ke mana-mana. Tapi di Boltim, yang listriknya pun masih dilayani ‘’perusahaan kunang-kunang’’ dan ruas-ruas jalannya masih terseok dinaik-kelaskan, jenis marka yang terakhir ini pasti tak bakal ditemukan.

Dengan memahami ‘’mahluk’’ marka jalan dan jenis-jenisnya, alinea kedua tulisan yang kita bahas ini segera meletupkan tawa. Penulisnya dengan bombastis menjabar: ‘’Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dishubkominfo, Zulfaki Gaib, mengakui akibat perkerjaan banyak marka jalan yang rusak, bahkan hilang. ‘Saya sendiri sempat melihat marka jalan dibiarkan begitu saja di pinggiran jalan, sehingga secara pribadi saya langsung mengangkatnya. Karena itu adalah tugas kami dinas perhubungan,’ ujarnya.’’

Ya ampun, saya membayangkan Plt Kadishubkominfo Boltim sungguh sakti, setara Herkules, sang dewa berdaya tahan dan berkekuatan super dari mitologi Yunani. Mengangkat serakan paku jalan yang dilengkapi reflektor memang tidak sulit, kendati setelah itu tetap saja membuat lutut, pinggang, bahu, dan kedua lengan perlu ditempeli koyo dan dibaluri panimbur.  Terlebih kalau paku-paku jalan itu benar-benar berceceran sepanjang Moat hingga Atoga.

Bagaimana dengan marka yang melekat di atas permukaan jalan? Mungkinkah Plt Kadishubkominfo mengangkat dan memindahkan bongkahan-bongkahan aspal yang masih dilintangi cat, yang menunjukkan itu bekas marka jalan? Berapa besar dan berapa banyak bongkahan-bongkahan yang dipindahkan?

Prasangka yang mendadak membekap kepala saya mencurigai, jangan-jangan jurnalis yang menulis tidak mewawancarai Plt Kadishubkominfo? Jangan-jangan nara sumbernya adalah Thor yang mampu mengupas permukaan jalan dengan kapak Mjolnir-nya; Superman yang memindahkan bongkahan sebesar bukit hanya dengan tiupan; atau Iron Man yang dilengkapi dengan aneka peralatan berteknologi tinggi? Atau, jangan-jangan yang dimaksud bukanlah marka jalan, tetapi pembatas jalan atau rambu lalu lintas?

Kalau pembatas jalan dan yang terbuat dari kayu, cukup masuk akal Plt Kadishubkominfo berinisiatif segera memindahkan dari pinggiran jalan. Paku yang digunakan merangkai kayu pembatas jalan berpotensi menimbulkan bahaya ketika terlindas roda mobil atau sepeda motor; juga ancaman tetanus pada siapa saja yang tak awas menjaga pijakannya. Tapi bagaimana dengan pembatas jalan yang kini umumnya terbuat dari plastik keras atau beton bertulang? Tetap saja bisa, namun Plt Kadishubkominfo tentulah penggila fitness dan tercatat sebagai atlet atau mantan atlet angkat berat.

Jadi, satu-satunya yang dapat diterima kewarasan kita, ‘’barang’’ yang digambarkan sebagai marka jalan oleh Radar Bolmong itu tak lain dan tak bukan adalah rambu lalu lintas. Tafsir ‘’rambu lalu lintas’’ ini saya rujuk dari sepotong alinea terakhir, ‘’Mantan Kadis Capil itu menambahkan dengan adanya marka jalan sebenarnya mempermudah warga mengetahui keadaan dan situasi dari jalan.’’ Tidak ada keraguan lagi, yang ditulis sebagai tomat, dengan mengutip mangga, ternyata adalah adalah manggis!

Siapakah yang harus didudukkan sebagai ‘’tersangka’’ dari kekeliruan beranak-pinak itu? Plt Kadishubkominfo karena kutipan-kutipan pernyataannya menunjukkan ketidaktahuan parah masalah paling dasar di lingkup pekerjaannya? Sebab dia tak bisa membedakan marka jalan, pembatas jalan, rambu lalu lintas, dan lampu lalu lintas? Sekalipun berstatus Plt, saya meragukan Kadishubkominfo mengeluarkan pernyataan bengkok seperti itu. Sungguh celaka Pemkab dan warga Boltim bila Kadis yang bertanggungjawab untuk urusan perhubungan, komunikasi, dan informasi, ternyata buta perhubungan, ngawur dalam berkomunikasi, dan ujung-ujungnya menyebarkan informasi sesat.

Patut diduga yang harus didudukkan di kursi pesakitan adalah wartawan yang menulis, redaktur yang mengedit, redaktur pelaksana yang mengawasi operasi ruang berita sehari-hari, dan pemimpin redaksi yang bertanggungjawab terhadap seluruh isi koran. Dan saya pun hilang kata-kata untuk menggambarkan kebodohan tingkat dewa dari tulisan itu, kecuali, ‘’Sungguh amat terlallllllluuuuuuuuuuuuuuu...!’’***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Capil: Catatan Sipil; Hubkominfo: Perhubungan, Komunikasi dan Informasi; Kadis: Kepala Dinas; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; dan Plt: Pelaksana Tugas.